Kamis, 30 Juli 2015

Test Pact itu Sempat Positif




Ramadhan dan Syawal kali ini harus kulalui dengan skenario yang berbeda dari biasanya. Semacam tragedi kalau diibaratkan drama dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Masih ingat tulisanku tentang 'kado spesial buat suami' di postingan sebelumnya? Ya, kado janin yang dititipkan Alloh sejak sepekan sebelum hari jadi kami itu rupanya harus bertahan hingga 3 bulan saja.




Kalau ditanya bagaimana rasanya? Entahlah, aku sendiri cukup bingung mendefinisikannya. Mungkin di depan orang-orang yang kutemui saat mudik-- pun yang bertanya kepo 'sudah isi atau belum' padahal dia sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi -- aku hanya bisa menjawabnya dengan nafas tertahan juga sedikit air mata yang menggenang. Boleh jadi aku tersenyum. Tapi mata ini tidak bisa bohong. Biar bagaimanapun test pact itu sempat positif. Dua garis merah jelas (bukan samar-samar lagi), tercetak rutin per tanggal 23, 24, 25, 26, 27,28, sampai 29 Mei 2015 dimana waktu itu aku sudah telat haid 1 minggu. Kebayang dong, gimana getolnya aku sampe test pact tiap hari karena ada rasa bahagia yang membuncah manakala 2 garis itu bertengger manis pada tiap strip-nya. Resminya, kata-kata hamil itu sudah meluncur dari mulut dokter saat cek up pertama dan itu menjadi kado terindah buat suami yang ultah sekaligus di bulan yang sama. 

Hari demi hari kulalui dengan ekstra hati-hati. Maklum ini kehamilan pertama. Aku masih sangat awam. Aku tak mau kesalahan sedikit saja bisa berakibat fatal. Jadilah aku memprioritaskan kandunganku dan menomorduakan pekerjaan. Aku jadi sering telat karena menunggu kereta paling sepi supaya tak ada baku hantam dengan penumpang lain. Memang di kereta ada kursi prioritas. Tapi aku trauma. Seringkali, saat pantatku baru saja mendudukinya, begitu kloter kereta berikutnya datang menyerbu, lalu jika ada golongan prioritas lain yang kebetulan menghampiri, biasanya mereka akan tak percaya melihat perutku yang masih kempis. Walau sudah kujelaskan, tapi begitu ada petugas lain yang lewat selalu saja ditanya apa sedang hamil? Begitu seterusnya. Jujur capek sekali ngejelasinnya. Makanya hasil test pact dan buku kehamilan selalu kuselipkan dalam tas sebagai bukti kalau-kalau ada yang tak percaya aku termasuk golongan prioritas. 

Masalah makanan juga aku awas betul. Bahkan buat nenggak teh manis saja musti aku hindari. Karena konon teh banyak mengandung tehin yang kurang bagus untuk janin. Aku lebih memilih air putih hangat yang kukonsumsi bergelas-gelas hingga aku rajin pipis di sela-sela waktu. Makanan mentah, bakar-bakaran, atau yang biasanya jadi pantangan ibu hamil aku stop. Pernah waktu itu pengen banget makan mie instan dan bakso, ya akhirnya kutahan-tahan aja. Jadi gatel sih lidahnya, tapi buat mendapatkan yang terbaik, apapun rela kulakukan. 

Yang paling sedikit kusesalkan adalah saat Ramadhan tiba. Bukan, bukan aku menyalahkan puasanya. Tapi nekadnya puasa sebelum konsul ke Dsog-ku. Aku memang masih bodoh bab kehamilan. Aku bertanya pada ibu di kampung apa saat hamil muda bisa puasa? Lalu ibu jawab, dulu pas hamil aku, adik, maupun kakakku, ibu enjoy-enjoy aja puasa. Ya selama kondisi badan baik, tidak mual, muntah, pusing atau lemas. Apalagi dengan puasa, janin akan dilatih beribadah sejak dalam kandungan. Berbekal opini itu akhirnya aku puasa juga. Suami juga santai-santai saja. Katanya selama kita niat, insyaalloh kuat. Hmmm...aku masih ragu. Sebab aku pikir kondisi badan tiap ibu hamil berbeda-beda. Aku memang tidak mual-mual banget sih selama awal-awal. Paling 'hoek-hoek' doang cuma pas pagi hari. Itupun ga sampe muntah. Hingga kusimpulkan itu cuma hamil kebo. Apa aja masuk. Mual muntahnya juga dikit. 

Tapi pas kujalani hari kesatu, kedua, ketiga, memang sih rasanya beda. Jadi gampang laperan. Apalagi pas jam-jam makan siang. Parahnya rasa ngidam itu muncul justru di jam-jam itu. Pernah aku pengen makan kue lidah kucing, buah lontar, kue kacang, cakue, bakso goreng yang ada di depan BNI, dsb. Hahahah...ini ngidam apa kemaruk ya?? Sudah gitu pas menjelang magrib juga sering kliyengan. Kondisi jalanan yang macet membuat aku terkadang telat sampai rumah. Alhasil makanpun ikut telat. Aku jadi paham, kondisi yang biasanya gampang kita lewati bisa jadi sangat sulit bagi ibu hamil. Bahkan untuk jalanpun, aku musti menirukan gaya siput. Aku juga anti naik tangga. Duh mungkin aku lebay. Abis takut kenapa-napa kalau kehebohan, heheh...

Pernah ada kejadian yang cukup bikin syock saat awal Ramadhan. Yaitu hari Minggu naas saat akan mengantarkan paket kasur ke kampung via kereta. Tak seperti biasanya kami lewat jalur Mangga Dua. Dari rumah sudah ada firasat sih, kalau itu jalur bakal banyak dilalui angkot dan kontainer. Mana pada brutal-brutal pula. Eh, bener aja, di lampu merah kendaraan kami diseruduk KOPAMI JAYA dengan seenak udelnya. Padahal itu lagi posisi berhenti loh. Bisa-bisanya Kopami tersebut main belok dan menyebabkan kendaraan lain (kayak punya kami dan 1 motor lainnya kena imbas). 

Bunyi jedug keras sempat membuat jantungku hampir copot. Kuelus cepat perut ini dan menenangkan yang di dalam. Semoga tidak terjadi apa-apa. Hmmm....tapi saat menengok ke belakang, kaca dan bagasi sudah ringsek parah. Suami pun mengejar pake ojek tapi Kopami keparat itu kabur. Ya, apa boleh buat dalam kondisi terguncang, namun malas jika mobil harus ditahan di kantor polisi untuk dijadikan barang bukti, kami lebih memilih servis sendiri. Cukup banyak budget yang harus melayang buat memperbaikinya. Belum lagi paketan tipi yang cukup menguras kocek. Lagi-lagi kami sedang diuji. Kami menghibur diri bahwa akan ada rejeki yang lebih besar setelah ini.

Siang berganti malam, dan malampun berganti siang. Satu bulan terlewati. Jadwal kontrol ulangpun tiba. Kami mendatangi RS dan memeriksakan kondisiku ke sana. Kata dokter, usia kehamilanku sudah menginjak 7 minggu. Janin kecil berwarna putih itu sudah nampak dalam kantung kehamilan. Tapi detak jantung belum ada. DEG !!!!! Berasa ada peluru yang tiba-tiba tembus ke ulu hati. Dokter bilang ini udah over borden alias batas maksimal musti ada detak. Mataku mulai berkaca-kaca. Aku pun bertanya dengan nada super lirih dan agak tersendat. Apa ini karena 11 hari puasa yang kujalani saat awal kehamilan? Atau rasa stres dan semacamnya? Dokter bilang tidak ada hubungannya. Kehamilan tidak berkembang bisa disebabkan karena kegagalan kromosom saat pembuahan. Tapi aku disarankan untuk tidak puasa dulu mengingat keadaan janin yang demikian. Akupun mengangguk pasrah. Untunglah suamiku selalu berpikir tenang. Dia mencerna penjelasan dokter dengan logika. Kata-kata dokter yang bagiku tadinya sangat menakutkan, dijelaskan ulang oleh suamiku dengan intonasi yang lebih menenangkan. Akhirnya kami disuruh balik 2 minggu lagi untuk mengecek perkembangannya. 

Dua minggu kemudian, eh...tidak, sebenarnya 11 hari sejak kontrol kedua, kami pun kembali ke RS. USG Trans V pun berulang kali harus kujajal demi mengintip adakah perkembangan yang terjadi. Dan.........kata-kata menggantung (yang sebenarnya lebih banyak sisi negatifnya) keluar dari hasil diagnosa dokter. "Belum ada detak, kemungkinan kalau benar-benar tidak berkembang akan ada flek-flek selama 4-5 hari ke depan. Jadi Mbak nggak usah takut atau merasa bersalah misal pas mudik keluar. Itu bukan karena kecapean. Tapi memang tidak ada perkembangan," jelas dokter. 

Lalu kemungkinan apa yang bakal terjadi setelah itu ????
Satu-satunya cara adalah kuretase. Dokter berkata bulat.

Aku hanya terpaku. Di umur kehamilan ke-10 minggu yang seharusnya sudah dijumpai detak, malah di aku kenyataannya lain. Jikalau memang ini harus diambil, hanya pasrah dan ikhlas yang bisa kuucap. Suami membesarkan hatiku dan tetap berpikir logis. Dia support apapun yang terbaik bagiku. Sebagai jaga-jaga dokter meresepkan obat penguat kandungan (Preabor) dan Folamil Genio (Vitamin) kepadaku. Sebenarnya aku sempat bertanya-tanya, kalau kemungkinan sudah tidak bisa dipertahankan kenapa pula masih diberi penguat? Entahlah...
Sehari menjelang mudik aku layu bagai kuntum yang tak disiram. Seharian tiduran ga jelas sembari menunggu suami pulang dari kantor. Pikiran bengong yang melandaku acapkali membuatku tiba-tiba ingin menangis. Menangis menunggu sesuatu yang menggantung. Menangis mencoba mengumpulkan harapan yang sebenarnya hampir 90% kosong. Menangis karena aku sebenarnya masih sangat bingung dengan ini semua. Memikirkannya, membuat selera makanku drop. Aku pasrah jika di kampung banyak pertanyaan reseh yang menghampiri. Kuputuskan untuk diam saja dan biar suami yang menjelaskan. 

Tiba saatnya kami mudik. Perjalanan ke Stasiun Gambir membuat kami harus diantar dengan mobil. Pak Agus, rekan kantor suamilah yang akhirnya bersedia mengantarkan. Maklumlah kami bawa tipi pesanan mertua yang gedenya minta ampun. Sempet terpikir buat sekalian dipaketin aja pas kirim kasur kemaren, eh suami ngeyel, katanya ga papa dibawa aja, takut rusak kalau kebanting-banting. Ah....sudahlah...aku ga mau tau kalau nanti bakalan susah apalagi bawaan tas kami lumayan banyak.

Di mobil suami menemani Pak Agus di depan. Sedangkan aku duduk di bangku tengah sambil pijakan kaki ini harus berbagi dengan tipi. Sungguh keadaan ini membuatku tak nyaman. Apalagi di luar macet. Rupanya aku sudah mulai mabuk dan berkunang-kunang. Sepanjang perjalanan itu, aku memutuskan untuk tiduran saja. Siapa tahu dengan memejamkan mata rasa pening itu hilang. Ternyata tidak. Aku justru makin pucat dan seperti mau mati. Hmmm....apakah sudah waktunya keguguran? Dalam hati aku terus melafalkan doa supaya mendapat perlindungan dari Alloh.

Syukurlah, jam 5 sore kami tiba di Gambir. Pak Agus pamit pulang. Lalu aku dan suami segera masuk ke stasiun. Waktu keberangkatan sebenarnya masih lama. Aku merengek minta makan karena seharian penuh perut belum keisi. Suami agak ngomel, kenapa aku sampe kelupaan makan. Dia pun mengajakku ke CFC buat makan ayam sekaligus bawa bekal buat malam. Belum 'teng' bedug magrib sih, tapi aku sudah makan duluan hehehe, sementara suami tetap melanjutkan puasa sembari menunggu waktu buka.

Selesai makan, perut lumayan mual. Ya rasanya agak-agak seperti mau dapet gitu. Buru-buru aku ngibrit ke kamar mandi buat ngecek CD. Takutnya ngeflek. Alhamdulilah ternyata belum. Akupun ambil air wudhu sekalian sholat Magrib dijamak Isya.

Kereta Taksaka yang kami naiki masih amat lama datangnya. Sekitar jam 9 malam. Sambil menunggu akhirnya kami pilih duduk di lantai sembari mengamati para pemudik lain.Tak kupungkiri rasa mabok ini sebenarnya masih menggelayuti badan, tapi demi melihat kebahagiaan suami pulang kampung, ya aku ikut. Lagipula mungkin di kampung nanti aku bisa curhat pada ibu tentang kesedihanku ini. Kuharap dengan berkumpul dengan orang-orang terkasih aku bisa lekas move on dari kehamilanku ini.

Detik-detik menjelang kedatangan Taksaka, tiba-tiba satpam stasiun mencegat kami di pintu masuk. Apa pasal? Tipi segede gaban itu masalahnya. Katanya terlalu besar dan melebihi kapasitas muat. Mau ga mau harus ditinggal. Hmmm...bingung kan? Kan? Kan?? Kubilang juga apa. Akhirnya Tipi tersebut dititipkan ke penitipan barang. Besok biar Mas Bro, saudara suami yang ambil buat dipindah ke Ekspedisi di Stasiun Senen. Ah...aku mah sebodo teuing...kan uda kusaranin jauh-jauh hari biar dipaketin sekalian sama kasur. Hoho...ngeyel sih :*

Tiba saatnya kami naik kereta. Hmmmm...baru sekalinya aku naik yang eksekutif kayak gini nih, heheheh...Ya jelas aja nyaman. Kursinya aja bisa dimaju mundurin. AC-nya ga sedingin yang kelas bisnis maupun ekonomi, dan di tiap-tiap kursi sudah disediakan bantal juga selimut. Sepanjang perjalanan suami banyak menghiburku dan membesarkan hati supaya di kampung aku tidak larut dalam kesedihan. "Pokoknya dedek berada di bawah lindungan tamas, ukey??? Dia mengelus kepalaku dengan sayang. 

Dua pekan berada di kampung, kami sepakat ganti-gantian tempat menginap. Dua hari di tempat mertua, dua hari di tempatku. Tiga hari di tempat mertua, tiga hari di tempatku. Begitu seterusnya. Biar adil gitu. Maklumlah tempatnya deketan. Cuma beda kabupaten tapi persis di perbatasan masing-masing kota. Jadi sama-sama enak. Bisa menikmati kebersamaan dengan masing-masing keluarga secara lengkap. 

Lebaran di 2 tempat yang berbeda membuatku sedikit banyak belajar hal baru. Kebetulan hari pertama dan kedua diputuskan untuk masuk ke lingkungan suami. Duh...yang aku kaget, sholat Ied-nya pagi banget. Sebenarnya 2 kali Lebaran sih ngalamin di sana. Tetep aja, ada efek lumayan aneh karena musti mandi jam 4 pagi dan setengah 6 sudah harus tiba di masjid. Walhasil aku rada ngantuk dan sedikit masuk angin karena suhu di kampung bener-bener duingiiinnnn. Sementara di tempatku biasanya sih jam setengah 8 baru mulai dan setelah bubar ada bagi-bagi sodaqohan (makanan yang dimasak warga buat dituker-tuker). Ini sih yang aku kangenin selama 2 kali ga lebaran di rumah. 

Di tempat suami makanan kasnya tahu kupat. Di tempatku malah kali ini bikin bakso sama pepes nila. Terus kalau masalah muter silaturahmi, hmmmm.... lebaran kali ini lebih banyakan di tempat suami. Sedih sih, sementara di tempatku uda kelewat karena baru ke sana pas Lebaran ke-3 dan ke-4 dimana yang berkunjung uda makin sepi. Yang sama adalah pertanyaan atau basa-basi yang muncul waktu kami maen ke kerabat. Duh.....tetep ya yang ditanya : "Uda isi belum?" La la la.....

Guys kalau aku boleh teriak sambil nangis kenceng-kenceng si uda aku lakuin tuh... mang pada ga tau aku lagi dirundung kesedihan karena diagnosa dokter yang mengatakan bahwa aku bakal keguguran sewaktu-waktu???

Mang pada ga paham aku sedang digantung bab kehamilanku bisa selamat atau ga??? Pun flek yang ternyata ga datang-datang paska dinyatakan akan keluar setelah 4-5 hari dari kontrol ketiga???

Tapi aku cuma diam. Diam. Diam. Dan diam. Dalam hati, inilah saat aku harus berdoa sebagai hamba yang teraniaya akibat pertanyaan yang tanpa sadar bisa melukai orang lain itu. Untunglah, suamiku selalu berada di garis depan untuk melindungiku. 

Selagi di kampung, kami tak mau putus usaha. Kami ingin mencari second opinion dari dokter lain. Walhasil, surveylah kami ke RS yang dirasa cukup bagus di Purworejo, yakni RS Kasih Ibu. Ditemani dengan ibu dan suami, kami meluncur ke sana. Setidaknya buat jaga-jaga dan menenangkanku jika hasilnya tetap sama dan langsung kuretase di tempat. Yang ingin kupastikan lagi adalah kenapa belum ada flek juga sementara kata dokter yang pertama ketika janin dinyatakan sudah berhenti berkembang akan luruh dengan sendirinya disertai dengan flek atau pendarahan sejak seminggu yang lalu. Kedua kami masih mencari keajaiban, siapa tahu detak janin sudah ada.

Lama kami menunggu antrean panjang di lobi RS. Akhirnya tiba juga namaku disebut. Suami ikut ke dalam, karena biasanya kalau sudah berhadapan dengan dokter aku blank dengan apa yang seharusnya mau aku tanyakan. Nanti suami saja yang menjelaskan point-point hasil periksa sebelumnya. Setelah cerita ngalor ngidul gimana kronologinya, akhirnya dokter langsung mempersilahkan aku USG. Kali ini USG perut. Bukan TransV lagi seperti yang dilakukan kemarin-kemarin. Jujur aku malah jadi pesimis, karena USG perut ini kan tidak sejelas Trans V. Apa boleh buat, namanya juga usaha buat memastikan. Sebelum final benar-benar dilakukan kuretase aku harus memastikan janinku ada detak atau tidak. Ga mau kan kecolongan?

Lama perut ini diotak-atik. Dan....mungkin inilah yang disebut ujian naik kelas. Dokter kedua ini lebih banyak mengacu pada hasil dokter pertama. Meskipun dia punya 2 kemungkinan. Jika aku salah sebut tanggal mens, bisa jadi kehamilanku (sesuai USG masih normal yakni 8 minggu). Tapi jika aku yakin dengan tanggal mens terakhir, maka hasil USG tidak sesuai dengan umur kehamilanku yang sebenarnya sudah mencapai 12 minggu. Dia mengembalikan keputusan kami dan kembali ke dokter pertama, karena yang menangani kami dari awal adalah dokter pertama. Alhasil, sekarang kami ikhlas dan pasrah menunggu apa yang terjadi selanjutnya. 

Tanggal 25 Juli kami kembali ke kota via pesawat. Kami tahu, minggu-minggu sangat riskan untuk pergi jauh-jauh dari dokter pertama.

Tindakan kuretase akhirnya menjadi jawaban. Semalam, tertanggal 29 Juli 2015, kami sepakat cek up sebab siangnya sudah kutemui spot-spot coklat dalam CD-ku. Meski sudah kuantisipasi akan hal ini, tetap saja rasa tegang hinggap menjalari. Bahkan alergiku kumat meski tak sampai parah ke sekujur tubuh. Kami berangkat pukul 8 malam selepas sholat isya. Dalam doaku, semoga ini adalah yang terbaik. 

Semula kami pikir paling habis kontrol, kutretase baru dilakukan 2 hari kemudian. Paling tidak Jumat saat Dsog ku praktek. Ealah dugaan kami salah, mengingat keadaan sudah genting paska usg trans v yang terakhir, akhirnya diputuskan besok pagi harus kuret. DEG !!!!! Kebayang dong gimana pucatnya aku sebab seumur-umur aku tak pernah rawat inap kecuali saat umur 5 tahun karena diare, heheee.. Ditambah lagi aku takut darah dan jarum suntik. Tapi setelah mendengar penjelasan dokter bahwa ini solusi terbaik supaya bisa lekas hamil lagi dengan keadaan rahim bersih, akhirnya aku buang jauh-jauh rasa takut itu. 

Malam itu juga sang suami tercinta sudah siap siaga pesan kamar. Segala bentuk administrasi diurusnya dengan tanggap. Aku diminta tenang dan jangan memikirkan yang tidak-tidak supaya proses operasi berjalan lancar. Sembari menunggu beres, aku digiring suster untuk diambil darah. Haaaaaa..... aku paling takut urusan beginian. Dalam hati terus kuucap Surat Al Ikhlas untuk meredam rasa tegang.

Saat diambil darah, aku sengaja tutup mata. Suster sampe ketawa karena polahku yang mirip bocah. Pas kuceritakan hal ini, tamas malah makin ngakak. Katanya aku cemen. Disedot darahnya aja mringis-mringis. 

Lalu kami menuju lantai atas. Tau ga? Ternyata malam itu juga aku musti bobok di ruang bersalin. Hmmmmm...1 ruangan ada 4 dipan. Awalnya sih kosong. Cuma gimana ceritanya kalau nanti ada pasien lain mau lahiran??? Bisa-bisa aku tegang karena denger orang mules-mules. 

Jam 10 malam, suster memberiku nasi goreng dan air minum supaya nantinya bisa menelan obat untuk membuka rahim. Suster bilang, jangan panik kalau nanti bakal mules dan pendarahan. Sebab memang itulah fungsi obat induksi. Hohooo...aku pasrah menantikan rasa melilit itu datang. 

Saat suami pamit ke bawah cari makan, tiba-tiba ada rombongan pasien lain masuk. Seorang ibu paruh baya yang sedang hamil besar. Sekelebatan kudengar ini kehamilannya yang kelima. Dan tanpa suami, sebab suaminya sudah tiada. Hanya ditemani ibu dan mungkin anaknya yang besar. Dalam hati aku bersyukur, sungguh suamiku selalu ada setiap saat dimanapun saat aku membutuhkan. 

Tapi, tunggu??? Duh.....gawat. Apa ibu itu akan melahirkan di sebelahku??? Aku sudah harap-harap cemas. Apalagi saat paramedis itu langsung melakukan tindakan dimana dari balik tirai aku harus mendengar suara mengejan. Untunglah itu cuma tahap persiapan untuk mengetahui kondisi dalam. Selanjutnya ibu itu pindah ruangan dengan diantar kursi roda.

Belum cukup lelap aku mencoba terpejam, rupanya dipan sebelah kiriku diisi lagi oleh ibu yang berbeda. Kali ini kasusnys pendarahan namun janin masih bisa diselamatkan. Hmmm...di bilik ini aku jadi fasih kasus-kasus kehamilan, heheee... Sayangnya karena rada berisik, akhirnya aku agak kurang bisa istirahat dengan tenang. Ditambah batukku yang memperparah suasana juga alergiku yang semakin gatal. Jam 1 an malam, dimana aku sudah mulai puasa untuk operasi besokannya, tiba-tiba rasa mulas yang luar biasa itu datang. Oh sudah tiba waktunya pendarahan, aku terus berdoa dalam hati.

Pagi-pagi saat pipis, benar saja darahku sudah membanjir. Suster datang dan memberiku infus. Huft lagi-lagi harus ditusuk sana-sini. Beginilah kodrat seorang wanita ternyata. Belum apa-apa, pengorbanannya sudah luar biasa. Lalu kudengar suster sedang bertelepon dengan dokter tentang kesiapanku untuk operasi. Sebelumnya aku disuruh buka semua dalaman dan ganti baju operasi yang pinggirnya cuma ditali. Lalu aku dikenai periksa dalam, dimana suster mengecek rahimku dengan jari supaya tahu apa sudah terbuka atau belum. Mungkin karena ga relax, suster bolak-balik kepayahan. Dia bilang supaya pahaku jangan tegang-tegang. Duh, gimana ga tegang, namanya juga lagi diobok-obok bagian bawah. Huhuhuhu......

Jam 8.47, aku dioper ke kereta dorong untuk dibawa ke bilik operasi. Rasanya udah kayak di film-film nih....orang-orang di luar sampe ngelihatin cuma aku pasrah aja bentar lagi mau dioperasi. Hmmm....tegang dan super tegang. Akhirnya suster malah ngajakin selfie biar aku relax dikit, hahaha....

Setelah diukur denyut jantung, tekanan darah, dan dipasang selang oksigen, dokter masuk beserta asistennya. Dua orang suster mengatur posisi pahaku agar mengangkang sempurna. Lagi-lagi aku merasa ga nyaman, sampe berulang kali suster bilang, yang relax aja ya pantatnya...huhahaaaaa. (maaf pantatnya susah diajak kompromi, sus). Lalu seorang asisten dokter memberikan bius total dalam infusku, hingga dalam sekejap aku tak sadarkan diri agar bisa segera dilakukan tindakan.

AJAIB!!!! Cukup singkat kuretase dilakukan. Mungkin hanya dalam hitungan menit dan tau-tau kereta dorongku sudah dipindah ke kamar lagi. Sisa kantuk masih menggantung, sementara sama-samar kulihat suster membawa plastik berisi jaringan yang tadi dikeluarkan untuk diteliti dan diambil Patologi Anatominya. Hasilnya akan keluar 7 hari lagi. Sambil menunggu kesadaranku pulih, suami beberes biaya administrasi.

Makin siang makin banyak pasien lain yang menyambangi kamar bersalin. Lalu Om dan Bulek suami datang membesuk. Sementara itu pula, tepat saat jam makan siang nasiku datang sebagai perantara minum obat. Tadinya nasi goreng lagi, tapi karena itu buat makan pagi akhirnya diganti dengsn yang baru yakni nasi putih, sayur buncis wortel, seiris daging juga jeruk. Suster juga memberiku 3 jenis obat yakni paracetamol, antibiotik, dan pereda nyeri dan pendarahan pasca kuret. Kutanya suster, berapa lama pendarahan yang akan terjadi? Katanya sekitar 3 sampe 7 hari. Awal-awal banyak tapi nanti akan reda sendiri seperti mens biasa. Benar juga sebab waktu pipis, darahku masih mengucur segar sampe-sampe aku tak berani menengok kloset saat menyiram. Ngeriii. Alhamdulilahnya sih ga sakit....

Setelah Om dan Bulek pulang, lalu 3 obat tadi sukses kutenggak, suster datang sembari mencabut segala macam atribut medis yang melekat dalam tubuhku. Aku dipersilakan memakai dalaman dan baju lengkap untuk bersiap pulang. Dengan dibantu kursi roda aku diantar ke lobi sampai mobil stand bye di depan. Alhamdulilah semua berjalan dengan lancar. Aku tahu, Alloh sangat sayang padaku dan tahu aku bisa melewati ini semua dengan ikhlas.

Aku juga berniat rehat dulu dari dunia kerja. Aku ingin kehamilan yang sehat di hari-hari ke depan. Tanpa stress, tekanan atasan, jauhnya kantor, polusi, asap knalpot, kemacetan, dll. Aku ingin kehamilan yang bahagia sehingga minim bahkan tak ada risiko. Doakan supaya kami cepat dapat ganti yang jauh lebih baik ya teman-teman.......Amiinn.


Artikel ini diikutsertakan dalam #GiveAwayLebaran yang disponsori oleh Saqina.com, Mukena Katun Jepang Nanida, Benoa Kreati, Sanderm, Dhofaro, dan Minikinizz