Kamis, 25 Januari 2018

Pregnancy Diary : Pengalaman Melahirkan Caesar (SC) Part 1



"Moga-moga sesuk bisa lahiran normal yo." 

Kata-kata ibu tiba-tiba terngiang sejenak di kepala manakala aku dan Pak Su baru saja menerima 3 opsi tanggal lahiran yang harus dilakukan melalui operasi caesar. Aku dulu sering mendapatkan saran ini dari ibu (atau bisa dibilang doa untuk melahirkan normal) jauh-jauh hari sebelum mendekati hari H. 




Alasannya kurang lebih masalah budget dan mungkin juga pemulihan pasca lahiran. Ibu uda pasti khawatir karena operasi caesar di kota (apalagi bawaan rumah sakit swasta pastilah mahal, sampai belasan juta, itupun untuk kelas yang paling bawah. Belum termasuk obat-obatan ya). Sudah begitu caesar itu kan identik dengan pemulihan yang lama, istilahnya enak di awal, namun kurang enak di akhir. Beda dengan normal yang sakit di awal namun enak di akhir....Ya, ini sih karena kondisi fisik maupun psikis tiap orang beda-beda ya, tergantung siapa yang menjalani. 

Sebagai salah satu putrinya yang kini memutuskan untuk menjadi full time home dan menggantungkan hidup dari nafkah suami (ini pun dilakukan demi fokus pada promil yang kala itu harus menunggu 'tiket hamil' hampir 3 tahun lamanya), kadang aku seperti sudah hapal betul dengan jalan pikiran ibu. Takut putrinya ini kekurangan finansial. Ya, wajar memang karena ibu mana yang tak khawatir dengan masa depan putrinya yang mendadak resign dan ingin fokus pada keluarga. Lalu sumber pemasukan hanya ada pada 1 kepala. Namun dengan komunikasi yang santun, aku dan Pak Su kerap memberikan pengertian pada beliau bahwa : sejauh ini kami baik-baik saja. Semua aman terkendali. Istilah jawanya ngayem-ngayemke pikiran orang tua.

Kataku : "Ibu tenang aja. Ini semua udah jadi tanggung jawab Pak Su, masalah mahal enggaknya, ya standar. Pastinya nikah hampir 4 tahun masak kan kami ga ada planning. Tentu tabungan udah well prepared, termasuk juga buat keperluan kalo tiba saatnya nanti menuju lahiran. Insyaalloh semua siap. Kami cuma minta doanya aja. Karena kan doa ibu paling mujarobah." 

Case close?

Haha....
Belum sih.
Hampir.... 
Soalnya tetep diberondong pertanyaan lanjutan. 

"Lha nanti biaya caesare ditanggung kantor suami ga?"

"Capalango ngurus BPJS lho Mbak". 

"Piye, BPJS e wes diurus?"

Dsb

Dsb....

Nama pun juga orang tua ya. Kami sih maklum aja, meski jujur belom sempet ngurus BPJS, ....hihihi...

InsyaAlloh deh misal dikasih rejeki hamil lagi, maunya sih masalah BPJS ini uda beres semua (aminkan ya hehehe).

Nah, balik lagi ke opsi tanggal lahiran caesar dan juga kata-kata ibu yang tadinya pengen aku lahiran normal. Memang sudah sejak penerawangan USG di Trimester ke-2, aku punya firasat bakalan SC. Hal tersebut diindikasikan dengan kondisi placenta yang menutupi jalan lahir plus 2 lilitan tali pusat pada bagian leher bayi sehingga akan sangat riskan jika nekad memutuskan normal. Dokter Iwan Darmawan, Spog--obgyn yang menangani kehamilanku sejak awal--tentu sudah memperhitungkan betul opsi ini dengan harapan jangan sampai udah nunggunya lama, begitu hamilnya 'jadi' dan berkembang dengan baik selama 9 bulan ke depan, eh ujung-ujungnya masak kan harus dikacaukan dengan proses persalinan yang penuh risiko. Jadi untuk menghindari segala kemungkinan buruk seperti pendarahan, ya SC-lah yang dirasa paling logis dan rasional.


Sebelumnya, dari awal hamil sih aku udah banyak baca ya kisah-kisah melahiran itu kayak apa, baik dari segi biaya, proses recoverynya berapa lama, sakit apa enggaknya bagaimana, dsb. Selain itu aku juga uda fasih dengan berbagai case yang tidak semua orang bisa semulus itu untuk melahirkan normal. Jadi ya, ketika dicemlongin (klo mau huznudzon sih lagi-lagi mungkin bahasa alusnya didoain) biar normal ya akunya ga bisa langsung main he-em aja dan memastikan HARUS atau kudu WAJIB 'AIN normal. Karena memang aku ga bisa memprediksi di akhir kehamilan kondisinya akan bagaimana. Bukan karena pesimis sih. Tapi realistis aja sehingga kalaupun akhirnya dokter memutuskan untuk caesar ya aku akan tetep fine-fine aja. Bukan yang modelnya getun atau gelo yang sampe banget banget gimana gitu ketika harus caesar. Apalagi ini bakal anak pertama yang kehadirannya sangat ditunggu-tunggu. Asalkan bayi lahir sehat, sempurna, tidak kurang suatu apapun, juga ibunya dalam kondisi baik, maka aku ga ada masalah dengan model lahiran jenis apapun. Karena kan kalau bukan ibunya yang merawat, siapa lagi? Terpenting, becoz of keputusan caesar ini sudah diinfokan jauh-jauh hari sebelom HPL, maka harapannya sih aku sudah siap secara mental maupun fisik. Lilahitaalla aja deh, serahkan semua pada yang Maha Memberi.


"Jadi gimana Mbak, mau tanggal ini, ini, atau ini nih?", ulang dokter Iwan saat memastikan kami mau ambil tanggal yang mana buat operasi. Kebetulan selain tanggal itu memang dokternya ga ada praktik pagi. Kalaupun mundur bisa-bisa dikhawatirkan uda mules duluan. Dikarenakan ini SC yang terencana, maka sebisa mungkin jangan sampai menunggu mules.

Setelah hitung kancing *perumpamaan aja siii* plus dengan alasan satu dan lain hal termasuk pula restu dari orang tua maupun mertua, akhirnya diputuskanlah tanggal aku bersedia SC. Lagipula opsi yang terakhir itu juga atas pertimbangan biar organ si beby uda mateng semua terutama di sistim pernapasannya. Jadi biar ga ringkih-ringkih banget lah ya begitu menghirup dunia yang ga sehangat dan senyaman kondisi di dalam rahim sini. 

Finally, masuk di uk 38 week aku uda harus siap untuk dioperasi. Prosedurnya adalah Senin konsul dengan dokter anestesi (untuk mengetahui ada tidaknya riwayat alergi antibiotik) plus kontrol terakhir sehari sebelum Hari H untuk CTG. Nah, di sini rupanya udah sekalian nginep juga yang mana kamar udah dipesen jauh-jauh hari sebelum HPL. Pesannya langsung ke bidan PMO, dimana kami langsung diperlihatkan perkiraan biaya masing-masing metode lahiran berikut kelasnya. Oh ya, untuk bisa menempati kamar inapnya, kami harus kasih DP 75% dari total budget yang dibebankan. 

~A Hectic Day~

Heuuuu.....sesiangan berasa omaygaaaad besok uda harus lahiran. Dan aku tiba-tiba ngerasa kayak, apa yang harus gue lakukaaaan? Ahaha, ugat-ugetlah berdua bareng Pak Su mempersiapkan segala sesuatu yang harus dibawa baik itu perlengkapan ibu, bayi, maupun ayahnya. Ya, semuanya dikerjain berdua, karena kebetulan kami memang hidup di tanah rantau, jadi jauh dari orang tua maupun mertua. Tapi alhamdulilahnya punya suami yang siaga, siap antar jaga 24 jam, mwaaaaah :*

Lalu bagaimana kehectican yang dialami? Malam sebelom ke RS aku nyampe bongkar pasang tas saking bingungnya mau bawa apaan. Perasaan uda beli semua yang disarankan bidan PMO saat daftar kamar inap, cuma kok ya asa takut-takut ada yang kelupaan. Ah yang terpenting sih duit ya ama dokumen-dokumen. Paling ga ATM. Biar klo ada apa-apa tinggal gesek. Klo barang lain sih cincaylah kan jarak RS dengan rumah lumayan deket. Cuma berkisar 15 menit misal ga kejebak macet pas jam bubaran pabrik, jadi bisa disiasati gitu. 



Kira-kira sehabis magrib, kami berangkat diiringi dengan tengok kanan maupun kiri, wkwkwkwk...uda kayak mau ngapain aja. Maksudnya mastiin ada tetangga yang lewat ato ga. Takutnya telat aja janjian ama dokternya. Hahaha...Dan begitu mastiin ga ada yang lewat, maka meluncurlah kami menuju ke RS Hermina Tangerang

Di RS, kayak biasanya yang harus dilakukan pertama kali adalah timbang tensi. BB uda gaspol di angka 59,7 kg, sementara tensi 120/80. Normal ya. 

Sambil nunggu nomor antrian dipanggil, centring !!!.... whatsap bunyi. Dari ibu di kampung yang mana beliau rajin banget memantau perkembanganku dari hari ke hari. Ceritanya mastiin keadaanku kayak gimana sekarang. Apakah baik-baik aja ato justru sebaliknya. 



Sebagai bukti bahwa everything's just fine, maka dimintalah kami buat foto sebentar, paling ga buat kenang-kenangan lah sebelum menuju meja operasi haha. Ya udah send foto jeprat jepret jeprat jepret walo dalam keadaan pucet karena hormon tur tegang namun sebisa mungkin kami sembunyikan lewat senyuman. Secara cuma berdua doang dong yah perjuangannya ngurusin segala macam tetek mbengek rumah sakit. Padahal lahiran anak pertama yang mana pada umumnya di orang lain kan seringnya bakal didampingi orang tua atau mertua. Lalu abis kirim foto, ibu lega dan kasi doa plus penyemangat lewat WA. Beliau mengumumkan insyaalloh akan berangkat besok Kamis sore via kereta  sehingga bisa sampai Jumat. Okay deh...

Abis itu konsul bentar sama dokternya buat diberikan surat pengantar operasi. Setelahnya, baru digiring suster buat CTG sementara Pak Su ngurus DP kamar. Begitu DP uda dikasihkeun, aku pikir Pak Su boleh dooong ikut ke ruang CTG #secara aku kan tatud ya boook ke ruang asing sendirian, wkwk. Taunya Pak Su ga boleh masuk. Yawes lah aku nurut. Naek ke lantai atas, copot sepatu atau alas kaki, masuk ke salah satu ruangan yang mana dipannya ada 2. Di sampingnya ada semacam alat yang digunakan untuk memperdengarkan rekam jantung kita berikut frekuensinya. Nah sebelum prosesi CTG dimulai, aku diharuskan pipis terlebih dahulu karena proses CTG berlangsung cukup lama, kalo ga salah sekitar 1 jam. Jadi pasien tidak diperbolehkan bangun sebelum prosesnya selesai. 

Selesai pipis barulah perawat jaga datang dan memangkas habis semua rambut yang berada di area jalan lahir (walau sebelumnya aku uda papras juga sih namun perawat tetep aja ngliat dan merapikan lagi rambutku pada bagian itu, duh tengsin...aku kan anaknya pemalu huhu). Habis itu, perawat melilitkan alat CTG ke pergelangan tanganku dan menanyakan beberapa hal, seperti ini kehamilan yang ke-berapa, ada riwayat alergi ato ga, pernah operasi sebelumnya ato belum, nanti misalnya ada tendangan dari si bayi--tolong dipencet salah satu bagian dari alatnya, perintah untuk berpuasa setelah jam 12 malem, juga uda ada kontraksi ato belum. Yang terakhir jujur aku ga mudeng sama yang namanya kontraksi kayak apa. Tapi perasaanku sih waktu itu biasa-biasa aja ya, ga ada mules sama sekali. Abis itu baru deh alatnya dinyalain. Bunyinya cukup berisik. Kadang agak lambat, kadang teratur, kadang cepet banget. Sampe yang dug-dug-dug kenceng banged. Di situ aku tiduran, sementara perawat jaga entah nulis-nulis apa.  Setelah cukup lama bengong sambil ngedengerin suara detak jantung sendiri yang jatohnya bikin deg-degan dalam hati, akhirnya perawat pun dateng untuk mengambil hasilnya. Begitu diprint dan diteliti, e lha kok ada ekspresi kaget dari air mukanya. Aku jadi panik kan ngliatnya, terus tanya emang hasilnya apaan. Kata dia sih aku uda ada kontraksi. Curigalah beliau jangan-jangan aku uda ada bukaan. Jadi tiba-tiba dia langsung memutuskan : "Coba cek bukaan dulu ya!"

Yang uda pengalaman pasti taulah ya gimana rasanya dicek bukaan itu. Karena kan aku uda pasti mau ngeluarin dedeknya liwat perut, ini ngapa ada acara permisi juga lewat area miss v huhuuuu. Aku kan anaknya pemalu hahahahahah.  Dan setelah dicek ternyata emang blom ada bukaan dong sodara-sodara, tapi tetep aja udah dicek kan. Duh perih pedes rasaku. Sehingga kesimpulannya adalah emang perutku uda ada kontraksi namun blom ada bukaan. 

Tadinya kan aku uda gembira banget ni pengen mamam-mamam dulu bareng Pak Su sebelom bubuk-bubuk manjah di kamar inap, e karena ada kejadian ini maka diputuskanlah untuk nginep sementara di kamar CTG-nya itu. Uda gitu si perawat ada acara nelpon dokternya segala lagi yang mana kira-kira kondisiku ini masi okay engga buat sesar besok pagi ato malah harus dipercepat. Nah, mungkin karena kebetulan hari uda malam juga, jadi dokternya uda istirahat, sehingga telponnya ga diangkat-angkat, yawes agak lama juga nunggu kepastiannya. Katanya sih nanti ada dokter jaga yang sementara gantiin periksa, tapi ga tau juga jadi apa ga. Dan setelah nunggu 1 jam-2 jam-3 jam, blom ada info musti dimajukan apa pegimane, ya akunya kudu tetep setrong dong ya tiduran di situ ga ketemu Pak Su. 

Kesimpulan sementara sih tetep operasinya dijadwalkn besok pagi. Padahal tadinya kan aku disuruh puasa klo uda jam 12 malem teng. Dan malam itu aku blom makan. Perut lapar banget. Aku tanya perawat apa aku boleh makan dulu bareng Pak Su, nyari warung tenda gitu di luar. Ternyata engga boleh keluar klo uda di CTG gini hahaaaaa....Terus apa kabar dong dengan rasa lapar saia qaqanyaaah? Kata perawat sih mau dipesenin nasgor rumah sakit cuma lagi-lagi ya kudu nunggu agak lamaan dikit. Hmmmb begitukah? Cabal eaaa naq....mbul harus menahan hasrat pend memamah biak gini. 

Bhaaaak makan malam ! Bhaaak perut kenyang ati tenang ! Kucedih nda ica berduaan dengan Pak Su malam itu padahal lagi butuh pundak dia banget buat nenangin #lebe jilid 1.

Saat lagi pedih-pedihnya nunggu sepiring nasgor rumah sakit yang diraciknya lumayan lama, tiba-tiba datenglah pasien lain yang hendak di-CTG di dipan samping. Gawatnya adalah beliau uda ada pembukaan jadilah aku harus bersandingkan dengan suara rintihan sepanjang malam. Oh iya waktu itu jadinya si nasgor dateng jam 1-an pagi, hoho... yaweslah karena lapar langsung aku makan. Habis itu, untuk mengusir rasa bosan aku minta tulung perawat suruh panggilin Pak Su buat bawain aku tempat untuk naruh baju ganti, novel (ciye gaya banget kan aku bawa novel segala walo akhirnya cuma buat alas tidur doang), plus nitip cincin kawin biar disimpenin karena pas operasi kan nda boleh pake perhiasan. Pas ketemu Pak Su dalam beberapa menit itu kok ya rasanya bagaikan di drama-drama romantis efek slow motion gitu, gilllls kangen amat yaaak pengennya ditemenin tapi nda boleh...

Oh ya selama semalaman itu entah kenapa batuk yang kurasakan ngiklik banget. Idung juga sendlap-sendlup terus jadi kudu yang bolak-balik harus buang ingus sementara mbak yang di-CTG sebelah juga mengaduh-aduh kesakitan akibat udah bukaan 2 namun tetap akan SC karena posisi bayi sungsang. Dokternya beda sih sama dokter yang akan operasi aku. Jamnya juga beda. Aku pagi, dia siang.

~Finally the big day will come true...~

Tak terasa tiduran di ruang CTG tau-tau uda pagi. Kira-kira jam di dinding uda menunjukkan pukul 07.30 WIB Perawat jaga datang dan segera menggantikanku dengan baju operasi yang berwarna ijo berikut tutup kepalanya. Baju ijo ini pinggirnya cuma ditali, jadi berasanya dingin banget karena emang busana yang tersisa tinggal itu, selebihnya dikresekin dulu dan dioper ke Pak Su termasuk juga bagian daleman. BH dan celana dalam semua dilepas. Bahkan segala macam perhiasan, lensa kontak, kutek, ato gigi palsu lagi-lagi dipastikan ada ato enggaknya karena akan mempengaruhi tindakan operasi. Setelah diceki-ceki semua aman, segeralah aku disarankan untuk berdoa terlebih dahulu dan ketemu Pak Su beberapa menit sebelum detik-detik yang menegangkan itu tiba. Gimana ga tegang coba, sayup-sayup para perawat bilang klo dokter Iwan uda datang. Plus juga dokter anestesi beserta tim...Sementara itu Pak Su emang ga diperbolehkan masuk untuk menemani. Jadi dia dievakuasi ke ruang tunggu buat mengadzani si bayi sesaat setelah dilahirkan nanti, nunggu sendirian...tanpa didampingin bapak ibuk, atau mertua. Bener-bener calon bapak sejati #eaaaa....(soalnya aku sering liat pasien lain yang kerap ditungguin sama rombongan keluarga, nah ini kami cuma berduaan doang mempersiapkan segala sesuatunya).

Oh iya, tanganku juga udah dikasih infus sedari subuh. Kayaknya sih antibiotik atau apa gitu karena sebelom dipasangin selangnya aku juga ditanya dulu apakah ada alergi obat ato ga. Juga kateter yang kayaknya pas dipasang aku ga berasa apa-apa ahahhaa, hamdalah dong yekannnn. Karena yang aku baca-baca di banyak forum bagian ini yang paling menyeramkan, meski emang sesudahnya lumayan bikin senud-senud di area bawah.

Ya, kira-kiranya matahari uda nongol sekitar jam 8-an, aku langsung dipindah ke kereta dorong yang mana proses transfernya harus dibantu beberapa perawat pria karena terhalang selang infus.. Caranya aku kan tetep tiduran, nah badan disuruh miring dulu sambil  geser-geser ke kereta dorongnya. Udahannya kami jalan melewati beberapa bangsal lain yang hawanya beneran dingin dengan background tembok putih-putih. Aku cuma bisa liat langit-langit sih karena rikuh diliatin orang yang sepintasan lewat misal pas melintas di bagian lift haha. 

Tak berapa lama kemudian, tibalah saatnya aku berada di ruang operasi. Tegang banget.... hawa juga mendadak yang jadi dingiiiin banget. Berasa kayak di lemari es bagian freezer, sampe yang gigiku jadi gemeletukan gitu. Aduuuh jangan-jangan aku akan menjadi beku nih #iya membeku karena cintamuw #monmaap lebe jilid 2. Kayaknya sih ini efek antibiotiknya ya atau entah emang ruangan operasi yang emang sedingin ini, aku ga tau. 

Selanjutnya perawat pria tadi lagi-lagi membimbingku buat oper dari kereta dorong menuju meja operasi yang kanan-kirinya udah bertabur alat-alat. Habis itu aku dicek tekanan darah, detak jantung yang biasa kayak kuliat di sinetron-sinetron, juga selang oksigen. Sebelum deal operasi, lagi-lagi perawat tsb juga memastikan apakah aku ada alergi antibiotik, ini kehamilan yang ke berapa, pernah operasi sebelumnya atau ga, dsb dsb. Habis itu kucluk-kucluk-kucluk dokter anestesi datang dengan senyum terkembang seakan-akan berusaha mencairkan suasana biar aku ga tegang-tegang amat. Tegang banget, meski dari luar berusaha menampakkan senyuman setegar mungkin. Hahahaha.. Beliau lalu menyiapkan bius lokal yang akan disuntikkan melalui tulang belakang bagian bawah. Prosedurnya adalah aku diharuskan duduk dengan posisi memeluk bantal, sementara kedua tangan berada di atasnya. Dokter Nauval, dokter anestesi yang menanganiku itu juga sempat membercandai supaya akunya juga agak lemesan dikit. Lemeshin aja shaaaaay. Kata beliau : "Santai aja Mbul, rasanya cuma kayak digigit semut kok." Lalu tiba-tiba njuuuuzzzz...itu suntikan uda nancep aja di bagian tulang belakang. Dan tau ga rasanya kayak apa? Bener-bener caqiiiiiid qaqaaaaaaanyaaaah....* -_____- *.  Ini sama sekali tidak terasa seperti digigit semud tauk dokter ahihihihi. Abis itu, beliau memastikan apakah kakiku masih bisa merasakan sesuatu? Bukan kaki aja sih, lebih tepatnya tubuh bagian bawah. Yap, dari perut sampai ke kaki. Dan, yakkkk !!! Ajaibb !!! Ternyata efek suntikannya langsung bekerja dalam itungan detik. Separuh badanku mendadak mati rasa.

Kulihat dokter Iwan, dan beberapa asistennya mulai menyiapkan alat-alat tempur. Tampak dari mereka hanya seperti ngobrol biasa jadi istilahnya biar ruang operasi ga terkesan kaku. Bagus sih, jadi kan aku tidak spaneng mikirin yang macem-macem. Beberapa kali tim dokter juga mengajakku bercanda jadi agak relax-an lah ya walau sebenernya dalam hati tetep ngedoa-doa juga. Menyerukan segala Asmaul Husna yang aku hapal sambil komat-kamit meminta : "Ya Alloh, tunjukkanlah padaku bayi ini sehat selamat begitu lahir ke dunia. Tunjukkanlah ia selamat dengan suara tangisnya yang kencang, Ya Alloh." 

Area dada ke bawah selanjutnya ditutupi kain hijau berukuran lebar yang berfungsi sebagai penutup proses operasi. Yakali pas dioperasi ini pemandangan mau ditampakkan. Yang ada ntar malah pasien jadi trauma ahahhah.... Jadi ketutup gitu. Tapi aku rada ngliat juga sih, soalnya tepat di atas langit-langit kamar di mana aku sedang berbaring, proses tersebut masih terpantul sedikit lewat lampu operasi. Jyaaaaaah....untungnya sih ga jelas-jelas banget lah ya. Paling cuma liat sepintasan doang merah-merah darahnya kaya gimana hahahhaha....#horor #secara aku kan takut darah #tapi aku teteup kuduk setrong.

Kalo rasanya sih ga kerasa sama sekali ya, la wong dibius gitu area yang dioperasi. Jadi kerasanya cuma kayak digoyang-goyang ama ditarik-tarik gitu bagian perut. Dokter Iwan, dokter Nauval, juga satu lagi yang hadir di situ yaitu dokter anaknya aka dokter Adhani kompak mengajakku ngobrol kayak biasanya aja supaya akunya juga santai. Terus tau-tau langsung bunyi oeeek oeeek kenceng banget. Alhamdulilah si Mungil udah keluar ya Alloh. Ga sampe 15 menit kayaknya ya....pokoknya cepet banget. Tau-tau bayi merah berbobot 2,79 kg itu langsung diletakkan di atas dadaku untuk aku peluk. Terima kasih doaku telah terjawab. Bisa ngedenger suara tangisnya pecah untuk  pertama kalinya sontak membuatku berlinang air mata (walo cuma di sudut-sudutnya) Alhamdulilaaaaaaah !

Setelah IMD singkat itu bayi kemudian dioper ke ayahnya untuk segera diadzani sementara aku masih harus dijahit dan nunggu recovery operasi selesai.

Bersambung....