Saat kandunganku menginjak usia ke-4 bulan, ibumertuwa membikinkanku syukuran kecil-kecilan pada Lebaran tahun lalu (tepatnya pada Bulan Juli 2017). Sebenarnya untuk maknanya sendiri aku kurang begitu paham, namun berbekal niat semoga dengan adanya ini akan banyak yang doain, maka ga ada salahnya nyanggupin oke meski sebenernya aku dan Pak Su niatnya bikin pas 7 bulanan aja pake pengajian biasa, wes gitu thok.
Tapi ternyata bumer kekeuh yang terpenting justru 4 bulanannya, jadilah bikin acaranya 2 kali. 4 bulanan di kampung halaman yaitu selepas syawalan atas permintaan ibu mertua, lalu 7 bulanan di rumah kami yang atas inisiatif kami sendiri. Hmmmb... ujung-ujungnya memang menguras budget sih ya haha, walau udah diusahakan sesimpel mungkin, tapi yaudahlaya namanya juga manut orang tua, diniatkan aja supaya jabang bayi sehat lahir batin sekalian melatih sejak dalam kandungan supaya kelak senang berbagi dan berjiwa dermawan amiiin.
Acaranya sendiri full ditangani oleh mertua karena kebetulan pada waktu itu aku dan Pak Su sudah harus balik ke Tangerang mengingat libur lebaran telah usai dan kebetulan sudah dekat dengan jadwal kontrol bulanan yang harus ditangani oleh obgynku langsung. Jadi mau ga mau ya, 4 bulanannya ga ada akunya pas di kampung, melainkan sudah diwakilkan lewat doa-doa para sesepuh, tetangga, dan handai taulan lewat acara kenduri dan among-among.
Tapi memang kuakui, budget acara 4 bulanan di kampung terbilang lebih murah dibandingkan dengan di kota. Kami tinggal menggelontorkan Rp 2,5 juta saja sudah dapat memenuhi 2 jenis konsumsi, baik itu among-among untuk anak-anak tetangga pada siang hari, juga kenduri yang kurang lebih dihadiri oleh warga 1 RT pada malam harinya (ba'da isya). Tentunya dengan jalan masak sendiri yang dihandle oleh para tetangga dengan menu yang juga sudah ditentukan oleh Bumer karena harus sesuai pakem yang aku sendiri ga gitu engeh apa makna tersiratnya, tapi yang jelas manut aja deh ya, biar barokah juga banyak yang doain xixixi...
Menunya sendiri berupa cethingan (wadah nasi yang terbuat dari plastik dan pinggir-pinggirnya berlubang-lubang) khas kenduri atau ater-ater di desa-desa yang terdiri dari nasi, sayur, dan lauk-pauk. Dasar cething dipakai untuk menaruh nasi. Wadah nasi ini diibaratkan sebagai gambaran dari bumi dimana kehidupan makhluk ciptaan Alloh berada yang harus dijaga kelestariannya.
Atasnya dialasi daun pisang yang sudah digunting menyerupai lingkaran dan digunakan untuk menaruh sayur dan juga lauk pauk. Sayur-sayurannya sendiri beraneka ragam, ada kluban (atau biasa disebut dengan urap yaitu rebusan sayur kangkung, bayam, kacang panjang dan juga kubis yang dicampur dengan parutan kelapa berbumbu). Kangkung bermakna jinangkung yang berarti melindung, bayam yang bermakna ayem tentrem, taoge/kecambah yang bermakna tumbuh, kacang panjang yang bermakna pemikiran yang jauh ke depan, serta bumbu urapnya sendiri yang bermakna urip/hidup alias mampu menghidupi keluarga. Sayur kluban ini rasanya sangat khas. Ada pedes-pedesnya juga ada manis-manisnya, terutama kalau campuran cabai di bumbu kelapanya ditaruh agak banyakan.
Selain kluban, sayur lain yang biasa dihidangkan ibu mertua tiap kali acara slametan adalah kubis pedas serta mie keriting goreng. Kubisnya diiris tipis-tipis banget, terus ditumis agak basah dengan minyak dan potongan cabai merah yang banyak. Sayur kubis pedesnya ini yang bagiku juara. Ga ada yang ngalahin resepnya seorang Bude tetangga yang jago urusan dapur sehingga menciptakan sensasi tumis kubis pedes dengan rahasia bumbu yang tak pernah kutahu apa isinya hahaha #cakeeeep. Uh sedaaap....aku sendiri sangat doyan jika harus berhadapan dengan rasa-rasa sayur yang ala-ala kampung halaman ini karena masih ada aroma sangit-sangitnya mengingat proses pemasakannya sendiri masih menggunakan media tungku di pawon tradisional khas Jawa.
Lauknya sendiri terdiri dari tempe goreng dan juga 1 butir telur rebus belum dicopot dari kulitnya. Makna keberadaan telor rebus bulet ngglundung ini adalah manusia diciptakan dengan fitrah yang sama, yang membedakannya paling ketaqwaan dan tingkah lakunya.
Di wadah lain yaitu yang berada dalam plastik tersaji pula kerupuk, peyek kacang, lanthing, kacang tanah sangrai, lepet, kupat, timun, pisang, dan ketan.
Klo secara universal, makna atau filosofi yang aku tangkap dari acara slametan ini sih bukan yang gimana-gimana ya. Sing penting kumpul, mangan-mangan, silaturohim, plus gotong royong bantu-membantu juga saling guyup rukun antar tetangga. Syukur-syukur ada banyak doa terlantun dari mereka yang hadir untuk keselamatan beby dalam kandungan. As simple as thaaat hihihi...
Laaaaff
10 komentar:
Di tempatku juga masih ada mong2 ginian. Pas weton si anak juga di mong2 in biar ga rewel katanya. Meski ga pake kondangan. Biasanya ngundang anak2 kecil trus dibagiin satu2
Ditempatku klo anak 1 aja nit..pas 7 bulan. Mitoni... Pas 4 bln malah ndak ada.
Menunya mirip2 gitu dalam versi asli..cuma sekarang udah pada diganti cake/mentahan --> sembako seperti mie instant, beras, dll..
Di tempatku ada juga..tapi klo pas 7bulanan aja..itupun hanya anak 1.
Pas awal2 aku di sini..menunya juga gitu, gudangan, telur (matang)..sekarang sudah bergeser.. demi kepraktisan mentah (mie instant, telur, beras, gula pasir, dll)
Bumer masih njawani banget mba nit :D
Kadang di desa pun, tradisi semacam ini sudah mulai ditinggalkan demi menghemat budget wkwk
ii sama namanya dgn Ngawi, ater-ater, cething. Tapi menunya bedha dikit. Klo acara berkaitan dgn ibu hamil dan lahiran anak,menunya bothok, kulub (kluban), pelas (bothok biji2an, misal kacang kedelai atau kacang tholo) telor rebus.
aku seneng banget makanan berkatan gaya desa begini
hehe maklum lah merantau boleh tahunan tapi tetep aja orang dusun inside
Itu kayaknya enak banget menu ater2nya. Dah lama ga nemu yang begitu, hihi. Setauku 4 bulanan sebagai wujud syukur atas ditiupkan roh ke si baby dalam kandungan Mba, dan betul biar didoain banyak orang yang sayang :)
Mmg katAnya sih yg terpenting 4 bulanannya. Karena di usia 4 bulan mulai ditiupkan ruh. Btw saya baru tahu lho kalau setiap makanan yg disertakan dlm among2 itu ada filosofinya hehe
Aku pas anak pertama juga ngalamin begini. Di adatku yg batak, biasa 4 bulanan, namanya upah-upah. Tapi kalo di adat suami, ya pas 7 bulanan. Jd kita jg 2x. Tp anak kedua aku emoh. Udh males :p.
Nita, aku sering ke sini tapi silent reader, hahaha. Ini balik lagi meski udah baca kapan hari.
Wah, sego bancakan enak, nih. Jadi pengen. Acara bancakan di kampung halaman lebih rame ya, Nit. Apa2 juga bikin sendiri.
Kalo di komplekku, akikahan banyak yg tinggal dianter aja. Soale meski diadain wiken, yg dateng pada sedikit. Tapi tergantung orangnya sih, aktif bersosialisasi apa ga.
Dan, kalo di tempatku apa2 tinggal pesen. Praktis. Kalo masak, pada ga ada yg bantu.
Jadi kangen bancakan di kampung halaman.
Komentar baru tidak diizinkan.