Sabtu, 09 Mei 2020

Just Mercy (2019)


Emotional dan Mengoyak Psikologis !

Melalui blog ini, kadang aku merasa bahagia tatkala merekomendasikan sebuah film yang harusnya punya kans besar untuk dipuji setelah ditonton. Salah satunya adalah Just Mercy (2019). Sebuah film bergenre biografi, crime, sekaligus drama yang diadaptasi dari memoar seorang penebang kayu bernama Walter 'Johnny D.' McMillian, pria campuran antara Afrika-Amerika yang dijatuhi hukuman mati atas tuduhan pembunuhan wanita muda (18 tahun) bernama Ronda Morrison pada tahun 1986. Kasus yang menggegerkan ini kemudian mendapat perhatian khusus dari seorang pengacara muda lulusan Harvard, Bryan Stevenson pada tahun 1989. Ia berniat membantu Johnny D. McMillian secara cuma-cuma karena yakin adanya upaya salah tangkap setelah adanya kesaksian palsu dari seseorang yang berstatus sebagai terdakwa bernama Ralph Myers. Myers sendiri dicurigai telah melakukan kebohongan karena bisa jadi ia mendapatkan tindakan intimidatif dari pihak-pihak tertentu agar Johnny D tetap kekeh dijadikan kambing hitamnya. 



Judul film : Just Mercy 
Genre : drama hukum 
Negara : Amerika Serikat
Sutradara : Destin Daniel Cretton
Pemain : Michael B. Jordan, Jamie Foxx, Rob Morgan, Tim Blake Nelson, Rafe Spall, Brie Larson.
Tanggal rilis : 10 Januari 2020 (Amerika)
Bahasa : Inggris
Nominasi : Penghargaan Screen Actors Guild untuk Aktor Pendukung Terbaik, NAACP Image Award untuk Penulis Naskah Terbaik, NAACP Image Award for Outstanding Breakthrough Role in a Motion Picture

Dengan dibantu sejawatnya Eva Ansley, Stevenson kemudian mendirikan Equal Justice Initiative yang lebih banyak berkecimpung di bidang sosial dan penegakan hukum yaitu mendampingi para terpidana mati yang berasal dari kalangan tidak mampu (dimana contoh-contoh yang ditemuinya kebanyakan berasal dari kulit hitam yang sebenarnya tidak bersalah). Semacam ada sistim yang menjadikan orang-orang ini ditangkap, diberi putusan final yaitu hukuman mati, tapi bukti otentiknya itu tidak pernah ada. Selain Johnny D, ada pula rekan selnya yang lain yang tak kalah apesnya yaitu Antony Ray Hinton dan Herbert Rhicardson. Ketiganya kini menjadi sohib yang kompak karena merasa senasib dan sepenanggunang yaitu ditimpakan hukuman mati atas kesalahan yang sama sekali tidak mereka perbuat. Sungguh ironi bukan?

Perjuangan Stevenson dan rekannya Eva, bisa dibilang tidak mudah. Padahal bukti-bukti yang memberatkan Johnny D sebagai pelakunya sama sekali tidak ada. Anehnya, ada sesuatu yang dirasa sangat berpengaruh yang menjadikan orang dari kalangan mereka layak diperlakukan bagaikan sampah. 

Seperti tidak ingin menyerah begitu saja sebagaimana pengacara yang menangani Johnny D sebelumnya, Stevenson tetap giat mempelajari kasus tersebut sampai menemui beberapa orang yang diyakini mampu menjadi kunciannya. Pertama, ia mendatangi jaksa Tommy Chapman untuk meminta berbagai keterangan yang sekiranya dapat membantu, walaupun  ujung-ujungnya pahit karena Chapman sendiri dengan cepat menolaknya, bahkan tak sedikitpun melirik berkas-berkas yang diajukan oleh tamunya itu. Selanjutnya, ia juga mendatangi keluarga McMillian yang salah satu diantaranya, yaitu Darnell Houston. Kabarnya, Houston bisa memberikan kesaksian bahwa pada saat kejadian Myers sedang bersamanya dan minum-minum sehingga mana mungkin ia melihat Johnny D di TKP. Lagipula ada juga yang mengatakan bahwa pada saat kejadian, Johnny D memiliki alibi yang sempurna karena sedang berada di sebuah restoran dimana sang kokinya sedang menggoreng ikan dan itu bisa disaksikan oleh orang-orang yang masih bisa ditanyakan keterangannya. Sayangnya, Houston yang sedari awal tampak ragu ikut membantu memberikan kesaksian, suatu ketika malah diintimidasi oleh polisi. khirnya ia batal datang untuk bersaksi.

Jalan satu-satunya yang kemudian diusahakan Stevenson adalah mencoba berbicara empat mata kepada Myers untuk mengubah kesaksian sebelumnya. Mulanya hal tersebut ditolak mentah-mentah oleh Myers  karena ia sendiri tidak ingin dilibatkan lagi dengan kasus Johnny D. Tapi, kemudian pada saat persidangan berlangsung, hatinya tiba-tiba tergerak untuk meluruskan segala kebohongannya terdahulu. Dijelaskannya bahwa ada semacam ancaman dari pihak-pihak tertentu yang tidak segan-segan akan menyetrumnya di atas kursi listrik jika tidak melaksanakan apa yang diperintahkan yaitu mengkambinghitamkan Johnny D. Meski seisi pengadilan langsung heboh karena penyataannya itu, tapi tak berapa lama kemudian Hakim malah seperti kena sirep karena tidak mengindahkannya sama sekali. Palu tetap diketok. Dan Johnny D tetap dinyatakan bersalah. Keterangan terbaru Myers yang menjadi antitesis dari kebohongannya di masa lalu seolah tidak mampu membuka mata hati hakim. Johnny D pun tampak histeris (walaupun tidak ditunjukkan secara nyata layaknya yang ditampilkan oleh anak lelakinya di muka hakim dan pengadilan). Tapi setelah kembali ke sel, sangat terlihat bahwa ia frustasi dan berpikir seolah sebentar lagi akan menyusul rekannya Herb yang sudah lebih dulu dieksekusi.

Gongnya adalah Bayang-Bayang Kursi Listrik !

Ada satu bagian dari film ini yang menurutku begitu memantik emosi. Yaitu pada saat eksekusi mati Herb, rekan sel Johnny D yang aku ceritakan pada paragraf sebelumnya. Herb sendiri adalah seorang veteran perang berkulit hitam--sama seperti kebanyakan penghuni penjara di Alabama yang menjadi setting film ini. Ia digambarkan sebagai seorang lelaki tua yang mengidap penyakit mental PTSD dan merasa ditimpakan kesalahan yang tak pernah ia lakukan. Sayangnya, pengadilan tetap memvonisnya bersalah dan ia harus meregang nyawa di atas kursi listrik dengan disaksikan langsung oleh beberapa orang termasuk Stevenson yang gagal melepasnya dari jerat hukum. Pada adegan ini, terlihat sekali naik turunnya emosi (bahkan yang menonton yaitu aku dan juga Pak Suami), mulai dari sehari sebelum hari-H, detik-detik menuju eksekusi matinya, sampai pada saat pelaksanaannya.

Sehari sebelum hari naas itu tiba, Herb sangat emosional dan melankolis. Ia meratap dari balik sel yang kemudian ditenangkan oleh Johnny D dan juga Hinton. Johnny D bahkan memberikan sedikit sisi romantismenya sebagai seorang teman agar Herb tidak terlalu tertekan. Layaknya seorang praktisi hypnotherapy, ia mempersuasi Herb supaya bisa bernapas dalam-dalam dan menciptakan pemandangan di sekelilingnya terdapat pepohonan supaya hati Herb terasa sedikit lebih baik. Namun, pada saat Hari-H itu tiba, tetap saja sisi emosional dari film ini kembali mengaduk-aduk perasaan. Herb yang sudah pasrah walau dalam hati tidak terima--lantas digambarkan meminta ijin untuk memberikan salam perpisahan kepada teman-temannya. Ia kemudian berjalan menuju ruangan lain untuk dicukur habis rambut serta alisnya, dipakaikan seragam eksekusi mati, ditanyai apa permintaan terakhirnya yang kemudian ia jawab ingin diputarkan lagu kesukaannya. Setidaknya untuk yang terakhir kalinya sambil dikode Stevenson untuk menyuarakan isi hatinya yang sebenarnya. Bahwa sebenarnya ia tidak bersalah. Gongnya adalah...ketika lagu kesukaannya itu diputar, tali pengikat kursi dieratkan, arus listrik dinyalakan, pada saat itu pula, seluruh teman-teman selnya memukulkan panci yang menjadi tempat makan mereka ramai-ramai sampai terdengar di pengeras suara dan meneriakkan kata-kata dukungan, mereka semua ada bersama Herb. Sungguh dramatis sekali. Bagi yang ga kuat, bisa saja menontonnya sambil menangis. Aku saja menontonnya sambil tutupan bantal saking kebayang adegan sadisnya kayak apa. Ya bayangkan aja, seseorang disetrum di atas kursi listrik. Padahal sesungguhnya ia tidak bersalah. Gimana hati rasanya ga kayak diiris-iris?

Dari situlah Stevenson merasakan patah hati luar biasa. Hatinya terkoyak karena ketidakadilan yang ia saksikan di depan mata. Ia pun tergugah untuk tetap mengupayakan nasib kliennya satu lagi yaitu Johnny D. Ia tak ingin Johnny D bernasib sama seperti Herb. Akahkah misinya ini berhasil ? Yang jelas sejak adegan kursi listrik Herb itu, alur semakin maju layaknya berlari cepat dan penonton seolah diajak serta untuk menebak-nebak bagaimana akhir dari kisah pilu ini sebenarnya.



Source pict : hollywoodreporterdotcon



Just Mercy (2019) adalah film yang menurutku ceritanya sangat berat. Saking beratnya, sampai-sampai aku dipaksa untuk mempreteli segala teka-tekinya tanpa jeda (walaupun dominasi keterpaksaannya itu lebih ke proses menikmati ya). Dalam hal ini, aku merasa kayak ada sensasi menyenangkannya juga saat menyaksikan filmnya secara utuh (tidak terpotong-potong atau mencoba untuk diskip-skip). Terlebih, saat tahu bahwa konflik ke belakang semakin runcing. Penonton diajak merasakan betul seberapa berbobotnya film ini (bukan...bukan maksudku lebih sering nonton film berat biar dibilang keren bukaaaan, bukan juga antipati sama film ringan....bukan, tapi lebih ke membangun habit aja agar melatih otak biar ga gampang lupa. Apalagi setelah menonton, kan aku sering mengulasnya di blog, jadi rasanya biar agak lebih berfaedah dikitlah otak ini dipergunakan, hehe). Dan, buatku yang aliran filmnya cenderung ke horror thriller sementara Pak Suami lebih ke action, maka biasanya yang menjadi tengah-tengahnya adalah genre crime invertigation. Kalau biasanya kami eyel-eyelan mau nonton yang mana, apakah filmku yang horror thriller atau filmnya Pak Suami yang pure action, nanti tau-tau keputusannya adalah nonton bareng yang genrenya ini, wekekkeke...

Melalui film ini, kita dihadapkan pada beberapa kenyataan bahwa di ranah hukum kadang ada saja pelaksanaan yang tidak berimbang di lapangan. Bila yang berwenang salah memutuskan sesuatu, maka bisa-bisa hal tersebut akan menentukan hidup-matinya seseorang. Nyawa seolah hanya permainan lotere saja. Tak jarang ada yang diperlakukan dengan sangat diskriminatif, meski ada pada jalur yang benar. Hanya karena dianggap tidak lebih tinggi atau kaya atau berpengaruh dari yang lainnya, maka sistim bisa memperlakukannya secara semena-mena. Melalui Just Mercy, ketidakadilan harus diperjuangkan. Meski jalannya harus berliku-liku, cenderung babak belur dan ditolak di sana-sini, tapi jika ada keyakinan bahwa diri sendiri adalah benar, ya apapun upayanya, terasa sangat whort it saja untuk mengembalikan sebuah nama baik.