Kamis, 09 Juli 2020

Rumah yang Selalu Dirindukan



Oleh : Dedek Mbul

Karena harus ubyang-ubyung ikut mengurus prosesi pemakaman Simbah, maka Pak Suami memilih untuk mengantarkan aku dan si bayi ke rumah kilen dulu lantaran tempat mertua dipastikan kosong dan semua orang bakal sibuk bantu-bantu di rumah duka yang berada tak jauh dari situ. Nah, berhubung aku masih ada urus 2 bayi, jadi Pak Su merasa kasihan kalau aku sampai kether (riweuh). So, terpaksalah aku ga ikut mengantarkan alm simbah sampai ke peristirahatan terakhir..



Kami berkemas dengan cepat karena akan jalan ke rumah sekitar jam 2 siang. Dengan membawa perlengkapan seadanya, kami langsung tancap gas saja menggunakan kendaraan yang semula sudah dicuci bersih oleh Pak Agus. Karena semula rencananya akan balik ke kota. Tapi berhubung siangnya ada berita lelayu, jadi ya akhirnya cancel. Skenario pun berubah total. Dengan mengirimkan pesan whatsap ke ibu yang masih dinas di Kabupaten, akhirnya kami langsung otw aja ke rumah walaupun isi pesannya belum centang biru alias belum dibaca. Toh di rumah juga ada kakung ini (baca : bapak red) yang emang udah pensiun dan pekerjaannya emang santai-santai aja di rumah selain juga masih aktif ternak teri (anter anak-anter istri). 

Jarak tempat mertua yang berada di Desa Wetan dengan tempat orang tuaku sebenarnya cukup dekat. Hanya berselang setengah jam saja namun memang sudah beda kabupaten yang dipisahkan oleh kali. Jadi termasuknya kami ini nikahnya model 'peknggo' alias ngepek tonggo (ngambil tetangga). Tonggo bedo deso lan kabupaten (tetangga beda desa dan kabupaten). Tapi lokasinya masing-masing udah di perbatasan kabupaten semua, jadi ya sama aja berdekatan, alias kayak tetanggaan aja istilahnya, xixixix... 





Dalam perjalanan ke rumah, sebenernya suasana hati kami sedikit kemrungsung. Soalnya takut slisiban dengan kedatangan mobil jenazah. Jadi asemnya malah barang ga kebawa semua. Botol susu pun yang keangkut cuma 1. Lah iki piye le mimik nanti wong uda ga ada yang nenen semua, hahhahaa.... Duh ya ngalamat musti ada acara balik dulu karena bocah ga bisa minum kalau tanpa comotomo tercintah..wkwkk

"Lah piye sih Bulll, takkirain tadi udah dicepak-cepakke semua," gerutu Pak Su yang udah membawa kami sampai separuh perjalanan dan kini titik lokasi kami sudah berada di area Pasar Kelapa. 

"Lah karan ubrug...yo piye maneh, jadinya aku lupa deh ama apa yang mau dibawa, hoho."

Tapi ya sudahlah daripada balik lagi, ntar malah keburu ketemu mobil jenazah yang uda jalan dari Banjar sana. Toh ini juga udah hampir sampai ke rumahnya.

Benar saja, tak berapa lama kemudian, kami sudah sampai di deket rumah. Tapi sebelumnya mampir dulu ke Indomaret buat beli sesuatu sekalian isi pulsa. Maklum hengphone aing kan suka skate-kate ga ada pulsanya gegara di Tangerang kebiasaan pake wifi, hahaha...





Oke lanjoooot..

Begitu nyampe rumah, Kakung yang baru dapat kabar dari ibu kalau Simbahnya Pak Suami yang ada di tempat Bulek Ning sana meninggal dunia, langsung tanggap dan mempersilakan kami (aku dan bayik) untuk didrop sementara di situ, baru besokannya dijemput lagi buat balik kota. Yah, walaupun nylemurke anakku yang nomer satu itu agak Pe er ya, sebab doi emang nempelnya ama bapaknya ...jadi biar ga tantrum atau engeh pas bapaknya ke tempat almarhum, ya kudu dialihkan pake sesuatu. Sesuatunya itu apakah gerangan ? Jawabannya adalah kucing-kucing kakung.

Kucing-kucing Kakung

Kakung memang seorang pecinta kucing. Udah ada beberapa generasi kucing yang pernah kami pelihara dan semuanya diopeni dengan baik oleh kakung. Di umurnya yang sudah menginjak 62 tahun ini (walaupun menurutku masih terlihat awet muda), kakung emang telaten ngurus 'anak-anak' keduanya ini mulai dari beliin pindang atau ikan gesek yang diuled pakai nasi sebagai pakan mereka, memandikan kalau wayahnya mandi, mengobati kalau sakit/korengan, dsb. Kalau yang terakhir sih tugasnya uti selaku mantri hewan. Ya, kalau kakung sih urusan teknis sehari-harinya kucing lah. Sedangkan uti emang ga begitu pati-pati seneng kucing. Paling turun tangan pas ngobati aja. Suka batuk ama bulunya soalnya. Eh rambut dong ya harusnya, kalau bulu mah bangsa aves hihihi... Beda dengan kakung alias bapakku yang emang eman banget ama kucing. Emannya itu tulus sampai kucing-kucing liar pada berdatangan sendiri dan minta dipelihara #eh gimana gimana?. Ya, sebab semula kucing-kucing yang ada di rumah itu emang kucing liar semua.





"Lumayan nggo rame-rame Nit, ben omah ga patio sepi, kan anak putu wes podo merantau kabeh," begitu ujar Kakung suatu kali.

Kalau kuhitung-hitung, yang sekarang ini berarti masuknya udah generasi ke-4 atau 5 dari kucing-kucing itu. Soalnya terakhir kali ngelihat ya masih dalam bentuk cemeng alias anak kucing yang baru dilahirkan oleh babonnya yang ebot-ebot kayak gw itu. Eh la kok sekarang udah pada jadi kucing remaja. Emak-emak pendulunya udah pada mati semua, bapaknya sih kucing tetangga aja atau kucing liar yang biasanya nongkrong di rumah.... tapi semuanya uda pada jadi kucing tua, beberapa malah ada yang pergi tanpa kembali....(kucing mah gitu ya, kalau sekiranya udah usia pasti ngilang, kayaknya emang ga mau ketahuan Tuannya andai udah deket ama ajal, hiks hiks). 

Nah, jadi si kucing-kucing ini akhirnya bisa jadi pengalih perhatian anakku biar ga ngeh kalau bapaknya udah cabs ke tempat simbah lagi, hihihi. Tapi lumayan lah, dia bisa belajar bagaimana cara ngempanin kucing setelah sebelumnya di tempat mertua belajar ngempanin ayam (tanpa takut ditlabung sedikitpun kayak emaknya, ckckck).













Keterangan caption foto nama-nama kucing Kakung :

Foto 1 (dari kiri atas ke kanan bawah) : Coky (kucing tetangga), Bundel (anaknya Nining--dinamain begitu karena buntutnya bundel, Nining (babonnya Bundel and Srunthul), Srunthul (kembarannya Bundel, dinamain begitu karena hobinya nyelonong)
Foto 2 : Sapi (anaknya Srunthul kalau ga Bundel, lupa gw, cucunya Nining)
Foto 3 : Bunda Nining dan anak pertama Bundel
Foto 4 : Bundel dan ketiga anak Srunthul (Sapi, si Putih, dan si Hitam)
Foto 5 : si Kuning
Foto 6 : Budhe bundel dan 3 keponakannya, Srunthul suka males ngasuh anaknya
Foto 7 : Bluwek alias Tuwewek (suaminya Nining), entah bokapnya Bundel n Srunthul atau bukan, soalnya Nining juga suka kumpul ama Coky si kucing kembang asem milik tetangga
Foto 8 : Nining alias Tunining alias Markening alias Ebot-Ebot
Foto 9 : Bundel dan keponakan
Foto 10 : Bundel dan keponakan (egein)
Foto 11 : Coky...

Ngadem 

Selain rumah pokok kami di kota, tak ada yang lebih menentramkan djiwa selain rumah ortu alias rumah bapak ibuku yang udah menjadi bagian dalam hidup (sejak kanak-kanak hingga sesaat sebelum merantau ke kota demi melanjutkan kuliah strata 1). 

Rumah ini udah mengalami beberapa kali renov, dari yang awal-awal aku kecil masih pake dinding bata dan lantai tegel (cor-coran semen), sampai tambah memanjang dari tahun ke tahun karena sekalian menghabiskan sisa tanah yang ada untuk beberapa spot. 

Seperti bagian samping yang dibikin area santai dengan penempatan meja kursi panjang yang menghadap ke kolam kecil di mana di atasnya membentang kanopi pohon jeruk, di belakangnya lagi ada kolam ikan dalam bentuk bak-bak, sedikit lahan untuk tanaman yang bisa dipakai untuk pelengkap sayur seperti belimbing wuluh, kucai, salam, kemangi, dll. Ada pula tanaman sirih yang merambat dengan suburnya sebelum nyampe di koloni pralon yang dijadikan media tanam kangkung dan juga pokcoy. Paling belakangnya lagi, ada kandang ayam lama yang pagarnya sudah diganti dari yang semula bambu menjadi teralis besi hasil las-lasan. Yang terbaru, ada juga kandang entog yang ternyata lumayan banyak. Ada sekitar 10 entog yang dipelihara. Makanannya sama sih kayak ayam, bekatul gitu deh. Kata Uti sih kalau cucu-cucu pulang mau disembelihin beberapa ekor buat di dimasak santan, hihi... Selain itu aku juga pernah nyobain yang namanya nyeplok telur entog yang ceritanya sudah pernah aku tuliskan sebelumnya (silakan tinggal klik aja tulisan yang warna merah).
















Pohon Alpukat Depan Rumah

"Mbak, kowe wes weruh wit alpukat sing neng arep omah durung?", ujar ibu suatu kali yang slerep-slerep kuperkirakan akan memamerkan pohon alpukat asuhannya. 

Ahaaaa ! 

Pohon alpukat ? 
Kok aku belum tahu ya?

Segera saja aku berlari untuk memastikan keberadaannya. Bener apa ga hasil ngendikane ibu tadi. Pohon alpukat tapi nanem sendiri. Biasanya kan tinggal beli ya di pinggir jalan. Nah ini nanem sendiri. Dan benar saja, space halaman yang tadinya menjadi milik si mendiang pohon rambutan (yang sekarang sudah ditebang dari kapan tahu) akhirnya kini menjadi milik si pohon alpukat yang sebenarnya berbodi ramping itu. Ya, tidak seperti halnya pohon alpukat besar yang sering kutemui di kantor pertanian seberang jalan raya (yang sekarang udah menjadi RSUD--kalau ga salah), pohon alpukat yang ada di rumah masih terbilang belum terlalu tinggi. 

"Ini alpukat apa Bu?", tanyaku memastikan.

"Alpukat mentega Mbak, ibu dapat mbibit dari koncone ibu, njerone apik banget loh...kuning cantik, ra pernah entuk sing bosok, " jawab ibu sumringah. Terpancar jelas dalam matanya, betapa si pohon alpukat yang tadinya kecil sekarang sudah tumbuh dan berbuah lebat berkat hasil tangan dinginnya. 

"Jajal takunduhe beberapa."
"Buat ngejus lumayan," ibu menambahkan. 

Lalu terdengar bunyi mak 'grel-grel-grel' dari sebilah genter (bambu yang ujungnya dikasih penyangga untuk mengunduh buah yang telah matang) dan kami dapat 8 biji ukuran sedeng (yang jadinya untuk dibawa pulang Tangerang). Belum terlalu matang sih, karena memang luarnya masih keras. Tapi ga masalah, karena tinggal diperam beberapa hari saja udah langsung mateng. Benar saja setelah kami peram dengan metode mengimbuh alpukat yang pernah kutulis sebelumnya, begitu matang dan buahnya kami belah...tadaaaa !!!! Dalemnya cantik-cantik banget seperti kata Uti, hihihi....