Jumat, 26 Februari 2021

Kepungan




Assalamualaikum 
teman-teman blog kesayanganku...

Apa kabar? Semoga selalu dalam keadaan baik ya... Hari ini Nita akan menulis tentang kepungan atau yang biasa disebut dengan kenduri, kenduren, atau selametan. Di tempat kalian ada kepungan juga kan? Kepungan atau kenduri ini merupakan suatu bentuk kegiatan kumpul bersama untuk mendoakan shohibul hajat agar memperoleh suatu kelancaraan dalam menunaikan suatu acara atau dalam rangka untuk mendoakan orang yang sudah meninggal yang diakhiri dengan pembagian nasi berkat. Kebetulan kemarin Nita sempat abadikan menu kepungan tahlilannya Akung di desa Nita dan Tamas atau Pak Suami, jadi Nita pindah aja fotonya di blog ini supaya ada kenangannya. 




Kepungan atau kenduri di kampung Nita dan keluarga biasa diselenggarakan oleh sohibul hajat sehabis asyar dengan dihadiri oleh sekumpulan kaum laki-laki dengan diiringi oleh doa yang dipimpin oleh Pak Kyai atau orang yang biasa dituakan. Acaranya singkat saja. Ada sambutan, doa-doa, lalu pembagian besekan. Kalau dulu mungkin pakenya besekan (tempat makan yang terbuat dari anyaman bambu),  tapi sekarang lebih banyak pake cethingan (tempat makan yang terbuat dari plastik dan ada lubang-lubangnya). Kalau mau lebih praktisnya lagi bisa pake kardus. Tinggal modal diklip-klip saja, tapi rawan rembes sih kalau ada sayur yang modelnya kuah. Makanya kalau tempat Nita seringnya pake cething. Ntar Nita tunjukin deh bagaimana gambarnya.

Menu kepungan atau kenduren (kendurinya) sendiri dimasak secara gotong-royong oleh sekumpulan kaum perempuan yang berasal dari kerabat atau tetangga dari pagi hingga menjelang siang, sehingga sorenya tinggal persiapan saja. Kebetulan memang di kampung Nita semuanya masih dikerjakan sendiri by tangan terampilnya ibu-ibu tetangga. Jadi ga pake katering. Ya, istilah kata mengundang tetangga (kaum perempuan yang jago masak untuk lagan). Beli bahan makanannya juga sudah dari beberapa hari sebelumnya di pasar tradisional sehingga pas hari H-nya tinggal eksekusi saja. Kira-kira butuhnya berapa untuk sekian orang yang diundang ya disiapkan dananya sekian. Nanti bahu membahu masak dalam porsi besar. Biasanya kalau tempat Uti masaknya di pawon depan yang areanya lebih luas. Makanya dengan tetangga atau sedulur harus rukun ya...sebab kalau ada apa-apa, mereka lah orang pertama yang bakal tahu dan diperuntukkan untuk bantu-bantu. 

Memang kalau di kampung masih terasa sih ya sifat kekeluargaan macam begini. Ntah kalau di kota tempat Nita merantau. Di kampung saja, tiap masak tiba-tiba kehabisan garam, kita bisa tinggal melongok ke tempat tetangga buat minta garamnya sedikit, atau bahkan kirim-kiriman sayur pake rantang, nanti timbal balik pas kitanya masak apa gantian kirimin juga ke tetangga. Di rantau kok ga ya...huhuhu...







Kembali ke bahasan tentang kepungan atau kendurenan. Di tempat Uti ada sedulur yang piawai banget masak untuk spesialis lagan. 2 orang Bulek yang rumahnya hanya berjarak sekian kilo saja dari rumah Uti. Mereka mukanya mirip. Kayak kembar. Dan sama-sama pintar masaknya. Makanya kalau dipanggil lagan selalu siap di garis depan. Biasanya Beliau-Beliau ini akan datang paling gasik untuk mendapat arahan dari shohibul hajat range-rangean menunya bagaimana. Mereka juga sering datang sambil mengajak cucunya lho. Lalu ga terasa sesiangan bakal uplek di dapur dan Nita cuma bisa bantu dengan doa...

Begitu asyar tiba, acara kepungan atau kenduren tinggal menghitung jam saja. Untung, siang sudah beres semua. Nasi dalam porsi besar sudah diangkat dari dandang, begitupula sayur dan lauknya sudah dipindah ke baskom-baskom besar. Nasi kemudian dituang ke dasar-dasar cething, lalu sayur dan lauknya juga ditaruh di atas nasi dengan menggunakan plastik mika. Kalau jaman dulu sih atas nasinya dialasi daun pisang dan tempat sayur/ lauknya pake takiran. Nah kalau sekarang carinya yang lebih praktis saja dengan menggunakan mika. 

Untuk menu kepungannya ini sayurnya terdiri dari mie goreng jawa, tumis tempe lombok ijo, dan sayur krecek telur puyuh. Lauknya ada tempe goreng yang potongannya agak tebal dan tengahnya digaris-garis, ayam goreng, kerupuk/rempeyek kacang, dan serundeng. Serundengnya yang model keringan sih. Soalnya kan ada serundeng yang model basah ya. Tapi ini pakenya yang kering sih, nanti ada irisan kelapanya juga diantara serundengnya itu yang kemudian ditaruh di plastik-plastik kecil yang ditutupnya dengan menggunakan panas lilin.  Untuk snack kepungannya ada apem, pukis, dan juga lemper kethek. 

Oh iya, sebelum ntek-ntekan, Nita biasanya ngicip dulu loh sebagian buat makan siang, hehehe... Sederhana tapi enak.







Nah, usai kepungan atau kendurenan, barulah sehabis magrib dilanjut dengan acara tadarusan. Snack piringan dan makanan beratnya beda lagi. Kebetulan Nita ada dokumentasi menu pas tadarusan yang dilakukan beberapa kali, nanti Nita gabung jadi satu aja, siapa tahu bisa jadi referensi menu snack tadarusan bagi yang lain. Kalau untuk tadarusan yang pertama, snacknya itu terdiri dari lapis merah putih, clorot, jenang, sosis solo, sengkulun, corobika, cucur, dan jeruk. 

Kalau clorot khasnya itu diputer-puter pakai janur buat bungkus luarnya. Nanti dalamnya itu hampir mirip jenang tapi teksturnya lebih lembut. Kalau jenang kan agak padat dan lengket ya. Kalau clorot ga. Clorot ini salah satu penganan khas Purworejo yang sangat terkenal selain kue lompong. Sayang kemarin mau cari kue lompong tapi ga dapet. 


Jenang pakenya yang jenang klasik. Itu loh yang warnanya cokelat (bukan krasikan) yang bentuknya segi empat dan nanti akan dipotong-potong jadi lebih kecil lagi. Bahan bakunya dari tepung beras ketan, santan kelapa dan gula jawa. Rasanya manis legit.

Kalau sengkulun kalian tau ga? Ini bahan dasarnya ketan. Dan biasanya dipotong kotak-kotak. Bagian atasnya merah jambu. Cantik deh. Dominan pula rasa kelapanya. 

Untuk menu makan berat tadarusan yang pertama kami pakenya lele goreng, lalap dan sambel. Kenapa pakenya lele. Entah lah kayaknya Uti lagi pengen yang praktis aja masaknya. Kan lele tinggal digoreng ini. Lalapnya nanti pake timun dan juga kubis. Sambelnya manteb banget. Resep ala Uti sih ini. Warnanya merah tua. Pedes pol. Cocok dimakan bareng lele goreng juga sayur atau lauk lainnya. Ada soto juga sih, cuma lupa ga Nita fotoin. Tapi sotonya seger banget. Sop juga bikin dadakan. Ini bikinannya Nita sama Uti. Ya, biar tamu yang dah pada sepuh-sepuh bisa dahar yang ada kuahnya. 













Kalau untuk tadarusan berikutnya, snacknya itu ada apem, pukis, pisang rebus, dan lemper kethek. Khusus untuk lemper kethek ini pesan di tempat Pak Lek yang ada di Kethug. Kethek ini cara baca 'e'-nya kayak baca semangka. Dia dibuat dari minyak ampas kelapa. Warnanya cenderung cokelat keabu-abuan. Rasanya manis. Sekilas kalau dari luar mirip lemper biasa. Tapi pas dibuka mirip lemet cuma kalau lemet kan dari singkong. Nah ini dari minyak ampas kelapa. Pak Lek yang di Kethug ini lah yang paling jago bikin lemper kethek, terutama karena tiap Lebaran juga selalu ada di meja tamu. 

Untuk snack lainnya, belinya di pasar tradisional. Senengnya adalah dapet apem dan pukisnya yang menul-menul, hehe. Apemnya bentuk bunga dan bintang (tapi sayang ga dapat yang warna pink (waduh penting gitu warnanya harus pink, itu mah kepengenannya Nita aja kali ya, heheh). Jadi apemnya dapatnya yang warna cokelat, tapi ga pa pa, lha wong sama-sama enaknya). Pukisnya juga gede-gede. Sekali makan kenyang :D.

Untuk menu beratnya ada opor ayam. Ayamnya nyembelih sendiri. Ayam kampung poenya. Jadi dagingnya mirip ingkung. Tapi ada tambahannya lagi deng selain ayam, yaitu tahu kuning dan telur rebus. Nanti tinggal dilengkapi lagi dengan sambel goreng yang rasanya mantul banget.





















Demikianlah cerita yang bisa Nita bagi kali ini. Semoga bisa menjadi referensi menu kepungan atau kenduri juga snack piringan saat pengajiannya ya. 

Sampai jumpa lagi di postingan Nita selanjutnya.

See you and bye bye

Kisses

Nita