Selasa, 13 April 2021

Review Supernova Petir by Dee Lestari




Sinopsis Supernova Petir, Dee Lestari


Judul buku : Supernova Petir
Karya : Dee/Dewi Lestari
Cetakan pertama : April 2012
Cetakan kedua : April 2012
Penerbit : Bentang Pustaka
Hlm : x+286 hlm, 20 cm
ISBN : 978-602-8811-73-6
Pernah terbit dengan judul yang sama pada 2004



Di sudut Kota Bandung, tersebutlah seorang gadis keturunan Tiong Hoa bernama Elektra. Ia tinggal bersama ayah yang biasa disebut sebagai Dedi dan juga kakak perempuannya Watti. Mereka hidup dalam kesederhanaan di sebuah rumah bergaya Belanda, Eleanor. Rumah tersebut bukannya terlihat megah, malah lebih mirip sebagai gudang raksasa karena memang sehari-hari dioperasikan sebagai tempat servis barang elektronik bernama Wijaya Elektronik. Mungkin, dari situlah nama Elektra dan Watti bermula. Satu, berkaitan dengan istilah elektronik pada nama Elektra, satunya lagi berkaitan dengan satuan watt pada nama Watti. 

Duo adik-kakak Elektra dan Watti sedari kecil sudah dibiasakan hidup sederhana. Terlebih mereka juga piatu sejak lama, menjadikan Dedi harus bisa berperan sebagai ayah sekaligus ibu. Memang jika dibandingkan dengan anggota keluarga lainnya yang masih dalam satu keturunan yang sama, keluarga Wijaya lah yang kelihatan paling ngenes. Jika sepupu-sepupu Elektra dan Watti disekolahkan di SD swasta bergengsi lalu besarnya paling tidak harus menginjakkan kaki ke luar negeri, maka tidak dengan mereka. Elektra dan Watti terpaksa disekolahkan di sekolah negeri yang SPP-nya jauh lebih murah ketimbang sekolah swasta. Meski di sana, mereka kerap mendapatkan perlakuan berbeda lantaran kulit mereka yang tak pernah gosong meski dijemur terik matahari.  

Elektra dan Watti juga tak pernah sekalipun mencicipi mainan baru, sebab mainan lama mereka selalu berhasil disulap Dedi menjadi baru. Ya semua itu berkat tangan dingin Dedi yang memang ahli reparasi. 

Elektra dan Watti juga sering berseberangan pendapat tentang berbagai hal, terlebih karena sifat Elektra yang pasif, sementara Watti adalah kebalikannya. Jika Elektra mengibaratkan diri sebagai 'penonton', maka Watti ia ibaratkan sebagai pemeran opera sabunnya karena sifatnya yang kadang terlampau reaktif dan berlebihan. Mungkin bahasa gaul anak sekarang disebut sebagai lebayatun. 

Saat kecil, Elektra sangat suka bermain dengan hujan. Sambil bertelanjang kaki, ia tampak menikmati kilatan petir yang menyalak di angkasa. Dedi dan Watti tentu saja tidak mengijinkan anak itu berhujan-hujanan. Bila tiba saatnya hujan sudah menggelayuti langit, maka cepat-cepat Elektra dikurung di dalam kamar. Ia pun hanya bisa memandangi hujan beserta petirnya dari balik kaca jendela yang bergetar. 

Pernah suatu kali Elektra tersetrum listrik tegangan tinggi tapi tidak sampai koit. Watti mengira Elektra kerasukan iblis sehingga harus segera disucikan. Tapi Dedi bilang itu karena penyakit epilepsi. Ia marah besar ketika tahu Watti tidak cepat menolong Elektra pada saat kejang-kejang karena disangkanya adiknya itu kerasukan iblis jahat ketika sedang disembuhkan oleh seniornya di persekutuan yaitu Nelson. Dedi jelas tidak percaya dengan sesuatu hal yang irrasional, meskipun ia sendiri pernah menjalin ikatan suci dengan listrik setelah moment tersetrum listrik tiga fasa dari juntaian kabel telanjang yang ajaibnya membuat badannya menyala ketika ditempeli test pen.

Selang beberapa tahun kemudian, saat Elektra dan Watti beranjak dewasa, Dedi terkena serangan stroke. Beliau meninggal dengan sangat tiba-tiba hingga menyebabkan Elektra sangat terpukul. Terlebih kala itu Watti sedang disibukkan dengan rencana pernikahannya dengan Kang Atam, orang yang membuatnya sampai rela pindah agama sebagai syarat untuk memasuki kehidupan keluarga besarnya. Cukup tragis memang, mengingat pernikahan akhirnya tetap dilangsungkan tak lama setelah kematian almarhum meski kemudian Watti diboyong Kang Atam ke Tembagapura dan meninggalkan Elektra dengan segala piutang Wijaya Elektronik yang tak tertagih. 

Elektra pun mumet dan memikirkan segala cara agar bagaimana caranya ia bisa bertahan hidup. Ia juga paling ogah menuruti saran Watti yang menjodohkannya dengan Napoleon  (Bonaparte) Hutajulu kenalan Kang Atam yang masih menjadi koas. Berani samber gledeg lebih baik hidup susah di Bandung ketimbang menuruti saran kakaknya yang cerewet itu. Ya, meski iming-iming cerita tuan putri ala negeri dongeng yang akhirnya menemukan pangeran kaya dan sanggup menghidupinya tanpa perlu bekerja sempat merecoki pikiran Elektra, meski toh akhirnya ia tak sudi menyanggupinya.

Hari-haripun berjalan. Tak dipungkiri Elektra kian merasa kesepian. Ia tinggal di rumah besar yang sudah sangat usang dengan segala macam perabot yang ada khususnya barang elektronik bekas yang bertumpuk bagai gunungan dan menjadi penyebab utama rumahnya kelihatan sempit meskipun aslinya besar. Terlebih tabungannya kian menipis dan piutang Wijaya Elektronik tidak ada yang bisa ditagih. Setiap hari ia hanya makan telur dan telur saja. Cara memasaknya pun begitu-begitu pula. Diceplok lagi dan diceplok lagi. Sementara persediaan mie instan juga semakin menipis. Tak jarang, dengan keadaannya yang semakin memilukan itu ia pun menjadi sering sakit-sakitan.

Suatu hari, hujan turun dengan derasnya disertai dengan petir yang menyalak-nyalak. Ia pun memiliki kesempatan emas untuk mengenang masa kecilnya yaitu berhujan-hujanan dengan kaki telanjang. Mumpung tidak ada Watti dan Dedi. Ia pun berjalan keluar rumah dan tampak bahagia sekali bahkan menari-nari sampai akhirnya sebuah petir datang sekelebatan dan menyambar pohon asam yang ada di sudut kebun hingga terbelah jadi 2. Tukang warung dan kenek angkot yang lewatpun sampai bergumam :  Apakah yang barusan itu tarian pemanggil petir?





Untuk bertahan hidup dan bisa makan, sebenarnya Elektra sempat tebar jaring kemana-mana dengan melamar pekerjaan di sana-sini, namun entah kenapa ujungnya selalu berakhir pahit. Misalnya ia diprospek dalam sebuah MLM yang ia rasa tidak cocok untuk dirinya karena harus mencari downline atau kaki-kaki. Ia juga pernah terbersit ide untuk menjual saja rumah peninggalan Dedinya ini walau akhirnya belum menemukan pembeli yang pas karena berbagai macam alasan. 

Suatu malam, ia mendapati sebuah surat dari STIGAN (Sekolah Tinggi Ilmu gaib Nasional) yang menjadikannya kandidat sebagai Asisten Dosen. Elektra bingung bagaimana caranya surat itu bisa sampai di bawah kolong pintu rumahnya. Tapi karena sudah saking putus asanya ia menganggur, maka ia pun sempat berpikir untuk melamar posisi Asdos tersebut meski sebelumnya harus memenuhi sejumlah persyaratan tertentu. Diantaranya adalah menyiapkan barang-barang klenik agar nantinya surat lamaran tersebut bisa dijemput oleh kurir gaib. Karena awam dengan hal beginian, maka pergilah ia ke salah satu toko barang-barang klenik yang sejak kecil sering dikiranya sebagai rumah nenek sihir. Ternyata pemiliknya adalah sorang ibu paruh baya berdarah india dan kelihatan sangat relijius bernama Ibu Sati. Selain menjual perlengkapan klenik di tokonya, ia juga ternyata seorang yogini.

Elektra juga iseng ingin bertanya kepada orang pintar perihal waktu pengiriman lamarannya ke STIGAN karena ditulisnya menggunakan tahun saka. Ia pun mendatangi seorang dukun sakti bernama Ni Asih, atas saran dari mantan ART-nya yang kini telah sukses menapaki karir dalam bisnis MLM, Yayah dan Mimin. Ni Asih ini meski dari luar terkesan sebagai nenek-nenek yang kalem, tapi ternyata di setiap prakteknya, ia selalu berubah menjadi satu sosok lain yang teramat sangat garang. Namanya adalah Aki Jembros. Singkat kata, setelah diberitahu waktu penyerahan surat lamarannya adalah malam jumat, maka Elektra pun menyertakan pertanyaan tambahan kenapa nasibnya jelek terus terutama ketika menyangkut pekerjaan. Aki Jembros yang konon katanya sedang meminjam raga Ni Asih kemudian menjabarkan serangkaian asumsi bahwa selain sifatnya yang malas, Elektra juga diincar roh jahat sehingga sebisa mungkin harus cepat dikeluarkan supaya ke depan nasibnya berubah menjadi lebih baik. Namun karena metodenya membuat Elektra syock, maka tanpa sengaja ia pun melawan dan malah menyetrum dukun sakti tersebut.

Untuk mencari suasana baru, Elektra berinisiatif menata kembali interior rumahnya. Seluruh barang elektronik bekas yang tidak nyala kembali ia buang bahkan dinding yang kusam pun ia cat ulang. Lumayan menguras tabungan juga proses renovasi tersebut. Maka tak heran hari-harinya kembali dihiasi dengan makan telur sampai tak terasa muncul bisul di sana-sini. Suatu ketika ia tak sengaja berjumpa dengan teman SMA-nya Beatrix yang punya bisnis warnet. Ia lalu diiming-imingi Beatrix sebuah kegiatan baru yang menyenangkan yaitu berselancar di dunia maya. Dari mulai dibikinkan email, dijamu dengan beraneka macam bonus makanan pengganjal perut seperti indomie goreng telur juga teh botol sosro Elektra akhirnya seperti kesirep dengan internet. Chatting dengan berbagai macam akun di milis-milis dan latihan bergaul dengan kenalan baru dari berbagai belahan dunia. Hampir setiap hari ia menyambangi warnet Beatrix. Nongkrong di situ berjam-jam sampai tak tahu waktu. Akhirnya ia kelelahan dan jatuh sakit. Beruntung, Ibu Sati datang merawatnya seperti anak sendiri. Memasakkannya berbagai macam makanan sehat seperti tumis sayur-sayuran dan melatihnya bermeditasi. Ia juga menyarankan Elektra untuk coba memikirkan sesuatu dengan komputer tanpa harus pergi ke luar rumah. 

Elektra lantas diajak Kewoy (penjaga warnet di tempat Beatrix) untuk pergi ke pameran komputer. Di sana ia tergoda dengan seperangkat komputer canggih seharga Rp. 17 juta yang akhirnya dibeli begitu saja meskipun hal tersebut membuat Kewoy tepok jidat. Ibu Sati juga menyarankan Elektra agar membayangkan di rumahnya itu tidak hanya ada satu komputer. Melainkan berjajar-jajar komputer yang bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah. 

Review Supernova Petir, Dee Lestari

Jatuh Cinta pada Tokoh Elektra tanpa Berpikir Dua Kali

Berjodoh dengan sang waktu, akhirnya aku bisa menamatkan Supernova Petir  Karya Dee Lestari ini setelah sekian lamanya terseok-seok menata mood untuk membaca kembali. Memang ini bukan kali pertama aku merampungkan Sekuel Supernova yang ke-3 setelah Akar dan Ksatria, Putri & Bintang Jatuh, tapi sudah sejak SD atau SMP aku membacanya meski cuma dapat pinjam dari rental bacaan samping sekolah kakak yang ada di Kabupaten sana. Iya, aku memang sudah baca buku ini di usiaku yang masih piyik~~yang covernya bukan kayak yang sekarang. Dulu covernya belum seseragam 6 sekuelnya yang lain dan cuma berbeda simbol. Yang dulu itu meski covernya sama-sama hitam tapi tengah-tengahnya seperti ada gambar petir yang menyerupai mata. Kertasnya juga tebal warna semi kuning dengan font yang sangat nyaman di mata sehingga aku membacanya sebagai sebuah karya yang megah karena ternyata aku juga sangat menyukai ceritanya. 

Dibanding dengan sekuelnya yang lain, Supernova Petir paling 'meremas-remas' hatiku meskipun jalan ceritanya sangat sederhana. Jauh lebih sederhana dibandingkan dengan sekuel Supernova lainnya yang kebanyakan ditempeli bahasa scientifik di sana-sini. 

Yang ini, aku merasa tokoh utama perempuannya cukup representatif untuk diriku. Sulit dipercaya memang, sebab biasanya aku tidak cepat jatuh cinta dengan tokoh utama perempuan sebuah novel kalau bukan karena faktor 'x'. 

Biasanya aku butuh waktu lama (bahkan kadang tidak jadi memutuskan suka karena satu dan lain hal). Karena bisa dikatakan mayoritas novel yang pernah kubaca seringnya menggambarkan tokoh utama perempuan dengan begitu paripurna,  baik dari segi fisik maupun psikis, sehingga i'm just like.. wow...kok kayaknya ga sesuai banget dengan pribadi yang sedang baca #dalam hal ini aku, hahaha. 

Sementara ketika menjumpai tokoh yang kurang lebih agak jauh dari ciri-ciri seorang primadona tentu aku merasa lebih tertarik, karena mungkin related ya. Lebih 'manusiawi' istilahnya. Ga digambarkan terlalu 'angel' begitu.

Contohnya ya di Supernova Petir ini. Aku berhasil dibuat kesengsem dengan tokoh utamanya yaitu Elektra yang merupakan si anak nomor dua (yang kebetulan kok ya sama-sama nomor 2-nya denganku di keluarga~~dan lagi-lagi juga sama-sama lulusan S1 ekonomi-nya, sama-sama sempat desperate juga pas awal-awal mencari pekerjaan saat fresh graduate tiba.

Nah, satu hal pula yang menjadikan Elektra ini begitu membius perhatianku, yaitu karena karakter polosnya yang kebangetan. Asli...polos banget. Ya polos, ya koplak, ya lugu... kalau orang Bandung bilang bodor

Banyak sekali part yang mengungkap betapa polosnya seorang Elektra, sampai aku  bisa membayangkan jika tokoh ini divisualisasikan mungkin kira-kira tampangnya akan menyerupai sesosok tokoh dalam komik atau manga yang memiliki 'mata malas' lalu di sudut keningnya muncul tetesan peluh, sementara di belakangnya ada garis-garis hitam. Very comical, but in totally innocent mode on...

Mungkin part yang bikin aku sampai melongo adalah bagian ia cuma bisa berkata 'hoi' pendek tatkala mendapati seorang remaja tanggung tengah netek di atas dada kakaknya yang baru menginjak usia pubertas lalu narasi selanjutnya berbunyi bahwa ia akhirnya mengantongi kartu As kakaknya supaya berhenti bertingkah rese seperti yang biasa dilakukannya selama ini. 

Part lainnya lagi adalah saat ia mulai menjadi manusia milenium dan kecanduan internet berkat sering nongkrong di warnet temannya Beatrix. Di situ digambarkan dengan sangat lugu betapa Elektra yang mulanya seperti berada dalam zaman dinosaurus~~ tidak tahu apa-apa ketambahan jarang bergaul, akhirnya bisa menjelajah dunia dan seisinya dalam satu kali klik. Chattingan dengan berbagai manusia dari banyak milis, membayangkan punya kawan akrab dari dunia maya, sampai bolak-balik ngendon di internet, begadangan, sampai persediaan tabungan nyaris habis, tinggal satu celengan ayam semasa kecil untuk bertahan hidup dengan diakali dengan cara mengkonsumsi telur ceplok dan mie instan dari hari ke hari. Sungguh nelangsa. Tapi anehnya diceritakan dengan sangat koplak. Tiap-tiap majasnya banyak sekali yang merujuk betapa polosnya si Elektra ini.

Kepolosan Elektra sebenarnya sudah dibangun sejak awal-awal cerita, dimana potret Elektra kecil selalu dirivalkan dengan saudarinya Watti yang lebih ia sebut sebagai pemeran opera sabun, sedangkan dirinya adalah penontonnya. Nuansa penceritaan semasa kecil itu membawaku berimajinasi tentang keduanya, juga sang Dedi yang sama lempengnya dengan Elektra. Keluarga kecil yang hidup dalam rumah besar yang menjelma bagai gudang raksasa. Sumpah nuansa rumahnya, bahkan sampai seinterior-interiornya yang meja makannya pun dari bekas meja pingpong yang salah satu kakinya diganjel dengan barang elektronik bekas, juga banyaknya pembukuan laba-rugi yang dihiasi gambar kambing bertanduk seperti devil (by Elektra) dan peri yang di atas kepalanya terdapat halo (by Watti) yang terbayang dalam benakku saat membacanya ya memang jelas adanya. 

Pun setelah semuanya mendewasa, Watti caw ikut suaminya Kang Atam ke Tembagapura dan si rumah Belanda Eleanor disulap menjadi Elektra Pop, aku sampai bisa membayangkan seberapa detail isinya ketika sudah ditata menjadi zona-zona. Pun demikian dengan penggambaran nasgor dan indomie goreng telur racikan Mang Yono. Benar-benar suatu gambaran setting tempat yang lovable meski terkesan vintage sampai-sampai seorang jompo bernama Pak Simorangkir yang sudah pikun sering nongkrong di situ dan mendapat julukan baru sebagai hantu terbaiknya Elelanor, bukan lagi the invisible man.

Cinta tanpa Diungkapkan Kenapa Bisa Seromantis ini ?

Meski Supernova Petir core-nya lebih ke potret seorang Elektra yang bergelut dengan kelebihannya di bidang listrik, tapi justru yang paling kunikmati adalah bagian percintaannya. Memang dimanapun ditemukan, cerita yang lebih aku tingkatkan konsentrasinya justru pada bagian ini. 

Meski dikatakan sangat singkat dan seperti nyempil di halaman menuju akhir, tapi bagian ini selalu bisa menjadi bumbu. Bahkan bagian Elektra-Watti, Elektra-Sati rasa-rasanya pengen aku baca dalam format cepat saja karena aku lebih tertarik dengan Elektra-Mpret alias Toni yang seperti aku bilang tadi mampu 'meremas-remas' hatiku. 

Bentuk cinta diantara keduanya (atau malah baru dari satu pihak saja ?) kedengarannya kok nothing to lose banget sebab tidak pernah diungkapkan lewat kata-kata. Tidak pernah mengharapkan balasan. Cuma bisa bertindak sebagai seseorang yang siap diandalkan kapan saja jika orang yang disukai butuh bantuan. That's it! Kedengaran sangat naif bukan? Tulus atau malah nelangsa....ah... Tapi kok ya anehnya malah membuat darahku cukup berdesir-desir begini ya, bagaimana aku malah sanggup merasakan keintiman diantara keduanya yang sempat berada dalam zona mitra bisnis---konco nongkrong aka konco celelekan----diem-dieman karena salah paham ----sampai kemudian salah satu diantaranya mengetahui bahwa yang satunya lagi ternyata memendam perasaan suka tanpa pernah mengungkapkan. 

Ya, ini terjadi pada saat Mpret ulang tahun dan segenap warga Elektra Pop sepakat membikinkan pesta balita yang diawali dengan ribut-ribut kecil karena Mpret, si Boss Kurus yang punya 'mata berbicara' ini ternyata phobia badut. Lalu setelah dengan teramat sungkan memulangkan badut itu, gantian Kewoy yang mengaju-ajukan Mpret supaya mau diberdirikan rambutnya oleh Elektra dengan kemampuan listriknya. Ya buat iseng-iseng saja. Nah, karena caranya adalah dengan menempelkan pergelangan tangan, maka secara otomatis gerakan ini langsung mengantarkan Elektra pada kemampuan membaca pikiran Mpret. 

Ya, bahwa selama ini Mpret yang ia kenal slengehan dan cuek bebek itu ternyata menaruh perasaan padanya. Suka dalam diam yang tak pernah diungkapkan. Dan bloonnya lagi adalah cuma Elektra seorang yang ga sadar padahal semua konco laki di Elektra Pop sudah tahu akan hal itu. Sampai Miun saking gemasnya bilang, semua hal tidak selalu harus diungkapkan dengan kata kata kan, tapi bisa juga dengan tindakan. 

Sebenarnya ini part klimaksnya sih dimana rasa penasaranku akan kemisteriusan seorang Mpret aka Toni yang ternyata ada keturunan Italia-Bandung ini memuncak. Ya gambaran Mpret dari sisi personalnya. Mpret yang ternyata lulusan ITB dan dulu idola banyak cewek walaupun tak ada satupun yang dipacarinya. Mpret yang jago bisnis dan punya solidaritas tinggi terhadap teman. Mpret yang kurus, galak, perhitungan (walau itu hanya asumsi Elektra saja yang tadinya belum mengenal Mpret lebih jauh, padahal kan sebenarnya ia care banget....). Mpret dengan kaus kucelnya dan sering ngangkot di pinggir pintu tapi siapa nyana dia adalah seorang hacker kelas wahid. Mpret dengan bola matanya yang indah dan berkarisma hingga seorang banci di salon langganannya sebegitu ngefansnya dengan dia walau akhirnya banci tersebut memutuskan untuk berubah menjadi macho dan beralih profesi menjadi kurir atas saran Mpret. Ah memang sungguh misterius si Mpret ini. Semisterius kisah cintanya yang akan dibawa kemana aku tak tahu. Apakah akan tetap seperti itu? Atau berkembang di sekuel selanjutnya. 

Tapi sesungguhnya part tergemasnya ada pada saat mereka diem-dieman. Jadi ada suatu masa, si Mpret tiba-tiba mengajak rapat umum pemegang saham karena ada sesuatu yang tidak ia setujui yaitu setelah dibukanya klinik pengobatan Elektra via setrum listrik. Mpret merasa itu sudah tidak masuk dalam perjanjian awal dan malah mengurangi jatah pemasukan zona PS karena tempatnya dipakai Elektra praktek. Dari situlah ketegangan bermula. Elektra menuduh Mpret perhitungan dan tidak menyetujui misi sosialnya menyembuhkan orang. Walau ketika dirunut ke belakang ternyata Mpret bukannya tidak setuju atau pelit, justru ia mengkhawatirkan kesehatan Elektra yang sehabis praktek sangat kelelahan dan tak jarang tumbang. Sayangnya Elektra tidak menyadari hal itu hingga akhirnya keduanya perang dingin. Itu dari kaca mata Elektra saja sih. Sementara dari kaca mata Mpret, bahkan di balik sikap dinginnya itu, diam-diam ia sangat melindungi Elektra. 

Memang ceritanya sangat mengalir, meski part cinta-cintaannya menurutku terlampau kesedikitan. Aku berharapnya bisa lebih, karena kalau kata bahasa anak sekarang terkesan uwuwu banget. Kesan cinta yang manis dan tulus dari seorang yang cukup misterius. 

Ya, Supernova Petir bisa dikatakan yang menjadi ujung tombakku untuk mulai menyukai kegiatan membaca saat aku masih kecil dulu. Belum ada satu pun buku yang bisa menyamai rasa antusiasku selain membaca Supernova Petir ini. Maksudnya untuk buku karya penulis lokal ya. Rasanya tidak pernah bosan bagiku untuk membacanya lagi dan lagi hingga kadang berimajinasi sendiri andai suatu saat nanti Supernova Petir bakal difilmkan rasanya aku ga bakal rela jika pemainnya tidak sesuai dengan imajinasiku, hihi...Soalnya kadang kepolosannya itu mirip dengan diriku sih, hahahaha...

Ya begitulah review iseng-isengku dengan buku favorit sepanjang masaku, Supernova petir. Jauh dari cara blogger buku membuat resensi memang. Tapi beginilah caraku. Mohon dimaklumi kalau masih serampangan, tapi yang jelas i do love this book so much, love this book to the moon and back #ciyeeeeh. 

Oh ya, bagi yang belum baca, kalau mau baca digitalnya di ipusnas sudah ada...kalau ga di blognya Dee Lestari juga ada. Aku sendiri selang-seling kadang pas mau tidur baca buku fisiknya sebagai pengantar bobok, kadang kalau lagi di jalan baca versi digitalnya. Yang jelas aku seneng banget akhirnya bisa memberikan kesan-kesanku terhadap buku favoritku ini. Paling paling paling favorit diantara yang lain. 

Kalian sendiri sudah pernah baca Supernova Petirkah? Kalau sudah bagi pendapatnya dong, terserah mau dari sisi ceritanya boleh, dari sisi tokoh-tokohnya boleh, atau apapun itu deh? Diskusi aja yuk. Aku pengen tahu pandangan kalian tentang Supernova Petir ini?