Terbangun dari tidur, aku mendapati daun jendela telah terbuka. Sinar matahari pagi mengintip malu-malu lewat teralisnya yang separuh karatan. Pagi itu, kebun pisang yang ada di samping rumah sudah basah oleh sisa-sisa hujan semalam. Daun-daunnya digoyang angin, meliuk melambai, membuat pagi pukul 05.30 WIB ini terasa begitu gelap.
"Hoaaaammmh!"
Kedua tangan kurentangkan ke atas membentuk gerakan streching, menggeliat seperti kucing malas yang hanya berpindah posisi namun mata tetap terpejam. Tidurku semalam rupanya tidak ada manis-manisnya sama sekali. Sebentar melungker, sebentar telentang dengan posisi kepala tertutup bantal. Entah kenapa sering sekali aku melakukannya. Padahal kalau diteruskan bisa bahaya. Kalau sudah terlanjur tidur, tahu-tahu seperti mimpi tidak bisa nafas atau gelagapan. Paling bisa terbangun kalau sudah mimpi jatuh atau terjungkal. Ya, terkadang melakukannya karena reflek saja, karena tidak ingin kesilauan. Jadi biar terasa lelap begitu, seakan mata tertutup sesuatu, meskipun sebenarnya tidak boleh ya #salahkan hawa subuh di kampung yang begitu menggigit. Jadi kalau sudah temu bantal guling, rasanya ingin berkasih mesra saja dengan mereka, hahaha...
(Baca: dinginnya benar-benar menegaskan bahwa musim ketigo sudah mulai kulonuwun pada pertengahan Bulan Mei tahun 2012. Pantas keinginan ngeblug sudah mulai menguasai hari-hari).
![]() |
Menu Lebaran hari pertama di tempat Pak Suami khasnya tahu kupat |
Kembali kubuka mata dengan lebih niat.
Kali ini 5 menit untuk duduk mengumpulkan nyawa, lalu tangan secara otomatis mulai melipat sarung dan merapikan seprainya dengan menarik bagian ujungnya agar permukaannya lebih kencang.
Selanjutnya, kuberjalan keluar kamar, dan mendapati suasana rumah telah sepi. Tembukur satu tembukur dua, dan tembukur tigaku tercinta masih ada di alam mimpi di ruang tv. Sepeda mini yang tertambat di muka sumur juga sudah tidak ada lagi. Rupanya ibu sudah pergi berbelanja di pasar yang letaknya sekian puluh kilometer dari jalan desa. Pagi-pagi, Beliau otw untuk menyetok calon pengisi lemari es selama sepekan mendatang. Kuprediksikan akan ada bahan makanan yang bisa dijadikan hidangan beberapa hari selebihnya paling sayuran biasa supaya tidak jenuh karena setiap hari bersinggungan dengan daging atau ayam.
Sebenarnya ini adalah tulisan 2 hari sebelum Lebaran. Jadi saat tulisan ini diketik, masih ada 2 kali puasa dan juga kesibukan menyusun menu Lebaran. Ada beberapa opsi menu untuk jeda hari yang berbeda. Hari pertama dan kedua kami tetapkan sebagai hari kupat tahu nasional meski kupat tahu yang kami bikin tidak sebanyak tahun-tahun sebelumnya. Kami yakin akan jarang ada tamu mampir di musim pandemi seperti sekarang. Sebenarnya ini untuk pantes-pantes saja sih sebab kalaupun seminimal-minimalnya ada sedulur datang, ya minimal tetap ada lah menu berat yang pantes menjamu tamu, selingannya paling sayuran biasa macam tumis kangkung juga lauk beli (dapatnya ceker dan kepala krispi).
Sementara hari ketiga lain lagi.
Rencananya, di rumah kilen juga akan dikirimi rica-rica entog yang dimasak oleh Tanteku. Biarpun entognya hasil piaraan kami, tapi yang masak bukan ibu. Jadi, si entog ini akan dijemput Tante pada 2 hari sebelum Lebaran. Nanti, di hari Lebarannya, entog tersebut akan diantarkan lagi dalam bentuk masakan matang. Beliau sengaja ambil basor supaya dagingnya lebih banyak. Biarpun wuled daripada si betina, tapi nanti ia akan diempukkan lagi dengan menggunakan metode presto. Kutanya Ibu, kok tumben tidak minta dibuatkan Mbak Umi yang biasa dipasrahi untuk merica-rica entog. Kata ibu, bikinan Tante tidak kalah lebih enak lo dari masakan Mbak Umi. Lagi pula Tante yang jadwalnya lebih santai ini tentu akan lebih maksimal saat memasaknya ketimbang Mbak Umi yang sedang kerepotan menerima pesanan kue-kue Lebaran juga. Kami sendiri memilih terima beres, karena rica-rica termasuk masakan yang agak rumit. Jadi kami cari praktisnya saja, supaya ibu tidak sampai kelelahan memasak dan menyebabkan tensinya naik, hehehe..
Sebenarnya ada satu menu lagi yang cukup otentik menghiasi meja makan rumah kami saat Lebaran. Tak lain dan tak bukan adalah paru sapi goreng. Ya, ini adalah menu andalan keluarga kami yang tak pernah absen hadir di atas meja makan semenjak aku masih kecil dulu.
Biasanya ibu akan memesan paru sapi dari kelompok tani/ternak yang diampu ibu supaya harganya lebih murah. Ibu akan ambil 1-2 kilo untuk selanjutnya diolah dan dimarinasi sendiri di rumah dengan menggunakan bumbu ikan yang penuh kunyit dan bawang putih. Juga tak lupa salam untuk menghilangkan bau amisnya. Paru diiris-iris tipis macam parunya masakan Padang, meski cara menggorengnya tidak segaring paru masakan Padang. Sebab paru ala kami masih digoreng dengan memperhatikan betul teksturnya supaya terasa lebih menul-menul empuk. Nanti, bagian luarnya akan dicelup terlebih dahulu dengan menggunakan adonan tepung beras supaya lebih gurih dan kemriuk. Biasanya kami menggunakan merek Rosebrand yang sudah terbukti kualitasnya.
Kedengaran agak berbeda ya dari menu orang-orang pada umumnya yang cenderung memilih opor ayam sebagai menu utama. Mungkin karena opor bikin cepat mblenger kali ya, jadi kami pilih skip opor. Sebab memang santan banget. Meskipun ada satu sih yang suka betul dengan opor, hihihi. Sedangkan yang lain cocoknya yang agak pedas. Pedas merica tapi yang bikin semangat begitu. Kebetulan lagi di rumah juga ada piaraan entog, jadi ya sudah rica-rica entog sudah jelas tidak akan ditolak secara aklamasi.
Ngomongin tentang entog, ibu pernah berkata bahwa Beliau kadang agak jenuh juga dengan unggas yang satu ini. Inginnya sih mbibit ayam kampung lalu dibiakkan di kandang. Tapi setelah dipikir lagi, sayang kalau entognya tidak diteruskan. Sebab telurnya juga bagus. Bahkan ibu bilang ada yang sehari bisa bertelur dua kalu. Mana entognya sehat-sehat lagi dan pantatnya ebot-ebot seperti admin blog ini. Jadi advice agar entognya terus tetap jadi opsi. Pernah sih dulu piara ayam yang disandingkan dengan entog, tapi entognya galak. Jadi kadang ya ditarung, hihihi. Susah juga untuk bisa mengakurkan unggas beda varietas. Kecuali kalau bebek dan entog, bisa-bisa malah kawin, hahaha..
Kembali pada hari-hari sebelum Lebaran. |
H-2 itu masih disibukkan dengan acara membuat tape ketan. Ketannya dapat kiriman dari Paklik yang tinggal di beda desa. Pakliknya AyankSuamik. Beliau memang rutin mengantarkan ketan setiap jelang hari raya. Kirimnya bisa setengah karung sendiri (mungkin sekitar 3 kg). Nanti terserah kami akan membuatnya jadi apa. Seringnya sih kepakai buat tape.
Sebanyak 3 kg ketan yang sudah dikukus kemudian digelar di atas tampah yang dialasi daun pisang. Ketan diberi 3 keping ragi yang telah dihaluskan. Sebelumnya ketan juga sudah diberi warna hijau yang berasal dari pasta pandan supaya terlihat cantik dan eye cathcy. Untuk menambah cita rasa manis, sesekali ketan diaduk dengan menggunakan centong nasi dimana diantara layernya ini akan diuwuri dengan gula pasir. Centongnya dibungkus plastik karena ketannya agak lengket. Ketan kemudian kami masuk-masukkan ke dalam wadah mika kecil berpenutup. Tidak memakai daun pisang lagi karena alasan lebih praktis juga tidak cepat bocor yang menyebabkan lengket dimana-mana. Ketan beragi yang sudah dimasukkan ke dalam wadah mika dibiarkan dalam kondisi tertutup rapat sampai benar-benar berair. Biasanya dia akan jadi setelah 2-3 hari.
Tape ketan adalah salah satu penganan paling diburu di rumah kami ketika Lebaran. Rasanya yang manis, terlebih yang sudah disajikan dalam keadaan dingin, tentu maknyess sekali jika disantap siang-siang. Warnanya yang hijau semakin menarik hati hingga jika sampai tak hadir di meja selalu menjadi pertanyaan.
Sebenarnya tanpa dikasih gulapun ketan yang sudah diragi akan manis dengan sendirinya. Ya, manis asam lah, walau bisa dikatakan manis asamnya itulah yang membuat segar tenggorokan. Cuma memang tape kami tetap dikasih gula. Supaya manisnya itu lebih dominan ketimbang asamnya. Tape yang manis tentu banyak meninggalkan kesan kangen bagi siapa saja yang mencicipi. Meskipun Lebaran kali ini akan sangat jarang ada tamu (kecuali beberapa kerabat yang terbilang sangat-sangat dekat), tapi kegiatan membuat tape akan selalu ada dan diagendakan. Ya, minimal jika tidak ada yang makan bisa dicemal-cemil sendiri untul isi-isi kulkas, he he he.
Aku sangat menggemari tape sedari kecil. Teringat jaman-jaman SD dulu, penganan satu ini selalu dibuat setahun sekali, minimal jelang Lebaran. Sudah seperti penganan wajib istilahnya, meski tidak ada yang mewajiblan sih. Soalnya dimana-mana ada. Di rumah ada, di rumah tetangga ada, di rumah simbahku ada, begitu pula di tempat-tempat Tanteku. Paling jossnya itu biasanya di tempat Alm Mbah Buyutku. Rasa manis tape yang di sana itu benar-benar mencerminkan tape yang sudah jadi. Biarpun wadahnya kelihatan alum sebab masih menggunakan tum-tuman daun pisang yang dibiting lidi, tapi setelah dibuka, jangan tanya tentang rasanya. Manis, segar, dam berair. Kebetulan adik kandung Mbahku itu banyak. Yang menempati rumah pokok peninggalan Alm Mbah Buyut ya Mbah paling ragil adiknya Mbah. Usianya masih muda, sepantaran dengan Ibuku Kami sering menyebutnya dengan sebutan Mbah Oyo. Nah, karena masih regeng itulah, maka kesempatan untuk bikin penganan Lebaran yang by tangan sendiri itu jauh lebih besar ketimbang beli. Salah satu yang sering kami cari dan tanyakan saat sowan itu ya piring isi tapenya. Meski tapenya putih dan tidak hijau seperti buatan kami, tapi tape 'keluarga Tersidi' ini seperti yang kukatakan tadi manisnya lain dari biasanya. Manis yang pas. Isinya pun pas, tidak kebanyakan, tidak pula kesedikitan. Satu tum-tuman itu bisa beberapa kali sendok tapi diperkirakan pas untuk porsi cemal-cemil. Kadang ibu minta dibungkuskan beberapa tum untuk dibawa pulang dan didinginkan dalam lemari es. Entah kenapa moment Lebaran selalu terasa paling euforia untuk bebikinan sesuatu meski di hari biasa sebenarnya ya sah-sah saja andaikata niat bikin, hihihi.
Tape bikinan sendiri terasa lebih nikmat dibandingkan dengan beli yang ada di supermarket. Kupikir di sana ada 'nilai effort' yang kita dedikasikan sekian persen~~ dari awal pembuatan sampai detik-detik menjelang jadi. Kadang kala aku berpikir kenapa ibu-ibu kita begitu telaten membuat penganan seperti ini dengan hasil akhir yang nyaris selalu sempurna. Jarang ada gagalnya. Tape yang akan disajikan untuk suguhan tamu selalu manis. Berbeda denganku yang jika terjun sendiri belum tentuk sukses di percobaan pertama. Tidak hanya tape, tapi di hampir semua penganan. Makanya, ketika ada moment bebikinan sesuatu, aku lebih nyaman ketika ada partnernya seperti ini, yang dalam hal ini adalah ibu.
Dan kenapa warnanya selalu hijau? Karena khasnya di tempat kami memang demikian. Simplenya ya supaya kelihatan lebih cantik, begitulah.
Resep Tape Ketan
Bahan-bahan :
3 kg beras ketan putih
air
3 sdm pasta pandan
3 keping ragi
Beberapa sdm gula pasir (opsional)
2 gelas air panas
Daun pisang untuk alas tampah
Bungkus mika berpenutup
Cara Membuat :
Cuci beras ketan hingga bersih
Rendam semalaman beras ketan yang telah dicuci tadi dengan air dan pasta pandan
Setelah beras ketan berubah warna menjadi hijau, kukus sampai mengepulkan uap panas
Siram beras ketan setengah matang tadi dengan 2 gelas air panas, aduk hingga rata. Tunggu kira-kira 15 menit sampai benar-benar matang dan dingin.
Haluskan ragi
Susun beras ketan yang sudah matang dalam tampah yang sudah dialasi daun pisang.
Tabur ragi di atasnya bersamaan dengan gula pasir.
Timpa dengan beras ketan di atasnya.
Tabur lagi ragi dan gula pasir di atasnya
Masukkan tape setengah jadi ke dalam wadah mika kecil-kecil, tutup rapat dengan penutupnya Biarkan hingga 2-3 hari sampai tape benar-benar berfermentasi.
Beranjak siang, cuaca penuh dengan matahari. Siang yang ngejepret. Tidak semendung waktu pagi. Perlahan matahari mulai merangkak di atas kepala, membuatku yang melintas sejenak di area belakang rumah mendadak mendapatkan pemandangan baru yang bisa dibilang indah. Pemandangannya seperti yang ada dalam gambar. Langitnya berwarna biru muda dengan gumpal awan putih yang berarak, lalu bawahnya ada tanaman perdu yang entah apa namanya, tapi yang jelas siluet rantingnya cantik bukan? Letaknya di pinggiran jalan kampung berbatasan dengan gundukan tanah sebelum sungai. Jalan kampung ini agak berdebu. Aslinya jalan kecil diantara pohonnya ini masih dalam proses perbaikan karena ada beberapa bagian yang retak. Tapi pengerjaannya belum rampung. Makanya kalau ada kendaraan roda empat yang melintas lumayan agak PR karena areanya yang sempit hanya bisa dilalui satu arah.
Jika melihat dari foto, jalanan yang menuju ke kiri sebenarnya tidak sepanas kelihatannya. Di sana terdapat rumpun bambu yang biasanya kami sebut sebagai terbis. Rumpun bambu inilah yang membuat adem suasana, terlebih ketika angin berhembus dan menggesek daun-daunnya. Rasanya akan terdengar seperti nyanyian alam. Beberapa kali aku lewat di sini, entah pagi, siang, sore ya rasanya adem saja. Kecuali kalau malam yang hawanya peteng, tentu aku lumayan kicep, takut tahu-tahu ada penampakan, ha ha ha. Sebenarnya rumpun bambu ini masih termasuk ke dalam pekarangan yang dimiliki orang tua. Tidak hanya bambu saja yang ada di sana. Ada pula pohon jambu air, pohon pisang, tananam nanas, pepaya, pepaya jepang dan juga blumbang ikan. Sayang blumbang ikannya agak rungkut jadi lumayan gelap bawaannya. Sementara pohon rambutan yang ada di sebelahnya sudah merupakan pohon tetangga yang pekarangannya saling bersisihan dengan pekarangan kami.
Hari berikutnya, masih ada jadwal membuat ketupat untuk kelengkapan menu kupat tahu. Ketupat di tempat kami memang disebutnya kupat. Pengganti nasi yang cocok dimakan bersama makanan tertentu seperti sate, sayur labu siam, dan juga tahu. Nah, yang terakhir inilah yang disebut dengan kupat tahu.
Selongsong ketupatnya beli saja di pasar, karena sudah tidak sempat lagi merangkai janur. Beli 2 renceng yang per rencengnya dikenai harga Rp 7000,-. Meski tidak semua selongsong bentuknya bagus, karena beberapa ada yang antar jalinan janurnya kurang rapat sehingga memungkinkan gampang bocor, tapi tetap saja kami antusias mengisinya dengan beras. Nanti, setelah seluruh selongsongnya terisi, ketupat akan didang atau dimasak beberapa lama. Masaknya di pawon alm simbah yang masih menggunakan 'keren' atau tungku. 'Keren' ini huruf 'e' nya dibaca layaknya kata megah. Jadi bukan keren sinonimnya cakep ya. Melainkan Ke-ren....bukan keren, cool begitu...bukan.
Ya, cukup lama juga proses memasak ketupat karena masih dengan cara tradisional, tidak menggunakan panci presto. Nantinya, setelah matang, ketupat akan diangin-anginkan terlebih dahulu dengan cara dijemur seperti layaknya menjemur baju.
Sore sebelum malam takbiran, barulah kami disibukkan dengan agenda mengupas bawang merah untuk kelengkapan kupat tahu lainnya. Kebetulan ibu yang memasrahkan aku untuk mengupasnya. Bayangkan hampir sekilo bawang merah aku kupas sampai hampir berlinangan air mata saking pedasnya. Ya seperti orang mau menangis rasanya karena aku mengirisnya lumayan tipis, jadi tiap lapisan bawang merahnya itu seperti dari mata turun ke hati.........uuups salah, maksudnya dari jari naik ke mata, hihihi. Ya, supaya saat digoreng, bawangnya terasa lebih kranci. Kunci lain supaya bawangnya terlihat cantik dengan tekstur krenyes-krenyes tidak cepat mlempem adalah saat menggoreng, taburkan sedikit bawang gorengnya dengan menggunakan garam kasar. Setelah itu aduk-aduk meski sambil memastikan bawangnya jangan sampai gosong. Pokoknya kalau sudah golden brown, segera angkat dan tiriskan sampai minyaknya tiris.
Fyi, kupat tahu sendiri di tempat kami sangat berbeda dengan kupat tahu Magelang. Yang ini sambalnya bukan sambal kacang. Melainkan gula jawa. Itemnya terdiri dari tahu cokelat yang dipotong kotak-kotak lalu digoreng, kecambah rebus, bawang goreng, irisan daun seledri, irisan kubis dan tentu saja kuahnya yang berupa gula jawa yang direbus dengan menggunakan daun salam, irisan jahe dan beberapa bumbu lainnya. Per itemnya ini akan disajikan sendiri-sendiri dalam piring atau tatakan, nanti ketika akan makan, kami tinggal meraciknya saja dengan susunan paling bawahnya itu berupa potongan ketupatnya, disusul kemudian tahu goreng, kecambah rebus, kubis, seledri dan juga bawang gorengn. Finishingnya tinggal disiram saja dengan kuahnya yang manis itu. Bila suka pedas, tinggal tambahkan saja dengan sambel rawit yang diuleg dadakan.
Saat Lebaran tiba, praktis apa yang sudah disiapkan pada malam sebelumnya sudah siap di atas meja. Kupat tahu okey, menu lain juga okey. Bahkan ada pula tumis kangkung sisa semalam juga lauk ceker dan kepala krispi yang dibeli sebelumnya. Buahnya, kebetulan di pasar nemu pisang ambon berukuran besar. Sementara di hari yang lain ada rica-rica entog ala Tante Rita, paru goreng, mie goreng jawa, dan sop ala ibuku. Buahnya belimbing manis yang dibeli di pameran pertanian dekat kantor ibuku.
Aku bersyukur bahwa Lebaran kali ini tidak harus selalu berjumpa dengan daging--ayam--daging--ayam. Melainkan sayuran biasa juga ada. Mungkin karena sayuran biasa di hari Lebaran justru paling dirindukan ya, hihi. Tapi meski demikian, jujur kuakui rica-rica entog bikinan Tante juga enak. Pake banget malahan. Kuahnya itu kental pekat. Cenderung ke cokelat menuju hitam dengan daging entog yang sudah empuk karena dipresto. Tante dan Om suaminya rupanya pinter juga cara masaknya. Tak kubayangkan sebelumnya. Kupikir bikinan Mbak Umi lebih enak dari bikinan Beliau berdua.. Aku saja begitu ngicip yang pertama, langsung ingin nambah lagi, ha ha ha. Bahkan tulang-belulangnya sampai kisut kuisep-isep. Bumbu rempahnya rupanya meresap dengan sempurna. Parfait!
Untuk non dedagingannya ada mie goreng jawa dan sop daging...eh lha kok? Sop daging? Sopnya ada dagingya juga kan...hihihi... #okey anggap saja sayurannya lebih banyak, karena kan ada wortel, kentang, brokoli dan lainnya juga ya...tidak melulu dagingnya saja. Sengaja bikin yang ada kuahnya supaya tidak seret.
Mie goreng jawa bikinannya ibu atau sekarang seringnya kusapa uti, rasanya enak. Dominan manis khas masakan jawa. Memang bisa dibilang lidah kami sukanya begitu. Demen manis. Pantas saja ya kalau admin blog ini bagaikan ketjup...eh kecap #plaaak! Mie goreng jawanya tidak pakai mie telor melainkan pakai mie instan, sebut saja mereknya Indomie, hihi. Tapi bumbunya asli nguleg sendiri. Bumbu minimalis ala-ala. Standar bumbu mie jawa sih...Pakemnya ada bawang merah, bawang putih, merica, kemiri, dan lainnya. Jadi tetep ya, rasanya mie bikinan sendiri itu selalu lebih enak.
Ada pula tahu kuning yang dibumbu minimalis. Malah sebenarnya cuma digoreng sebentar saja tanpa garam. Meski demikian karena tahu dasarnya sudah gurih, jadi digoreng sebentar juga sudah enak. Tahunya lembut dan bikin ketagihan. Kayak ala-ala tahu Bandung gitu kali ya.
Lain waktu, kucomot juga belimbingnya. Belimbing yang besar-besar dan cukup mulus aku rasa. Meski tidak seoranye belimbing Demak, tapi belimbing hasil beli di pameran pertanian dekat kantor ibuku ini terbilang bagus. Sebagian ada yang masih kuning kehijauan, sebagian lagi sudah mulai kuning keoranye-oranyean. Aku cobain yang terakhir sekalian taste the water rasanya. Kukupas bagian pinggir-pinggirnya dengan menggunakan pisau dan ternyata maniiiiiis banget. Segar. Terlebih kalau sudah dimasukkan ke dalam kulkas. Dingin dingin...nyes. Kadar airnya yang kaya tentu sanggup untuk menuntaskan dahaga.
Bisa kusimpulkan bahwa belimbing ternyata cocok juga sebagai buah penutup makanan berat.
Terakhir, sebagai bonusnya, foto teras yang di bawah ini adalah malam-malam beberapa hari jelang puasa terakhir. Ceritanya ngadem cari angin. Sebab agak lama di kampung, lama-lama lumayan terbiasa juga tanpa AC. Walau sejujurnya sudah rindu AC di rumah pakai banget, hihihi. Ya, maklum kalau di kampung, kami pakainya AC alami. Kalau udah di dalam memang kadang aku merasa kepanasan. Apalagi siang hari. Cuma kalau udah nuju malam ya adem juga. Walau tetep nyamuknya banyak banget. Maklum rumahnya dikelilingi kebon dan pekarangan (tetangga) hahaha...
Lihat saja, peteng-peteng di depan itu ya pekarangan suwung. Ga suwung-suwung banget sih, melainkan ditanami dengan puluhan pohon kelapa. Pohon kelapanya orang, bukan pohon punya kami, hihihi.
Cerita tentang pohon kelapa, aku jadi teringat teman sebangku waktu SD yang hobinya nakut-nakutin orang. Ntah dia yang daya imajinasinya terlalu tinggi atau memang punya indera keenam, tapi beberapa kali dengar sering betul dia cerita seram. Mulai dari pernah bilang bahwa di SD sebelah yang bangunannya bekas bangunan Belanda terdapat lemari yang suka muncul kaki bersepatu hak tinggi jalan-jalan, sampai cerita tentang gupri (gundul pringis). Kata temanku, gupri itu jelmaan kelapa yang jatuh tapi ketika ditengok ternyata adalah kepala manusia yang giginya sedang mringis, hahaha... Sontak saja waktu kecil aku tumbuh jadi anak yang kucur alias penakut, lha wong temanku itu hobi banget cerita hantu, wkwkw...Ntah beneran atau hanya isapan jempol belaka yang jelas kalau malam-malam aku dengar ada bunyi kelapa jatuh pasti otomatis memori langsung teringat dengan ceritanya itu.
Tapi, kalau dipikir-pikir, masa-masa SD kok ya selalu nemu ya teman yang hobinya cerita tentang hantu-hantuan. Iya nggak sih?
Demikianlah update tulisanku kali ini. Lagi-lagi full dengan foto makanan ya, hehehe...
Apakah kalian sudah bosan dengan postinganku yang bertema makanan? Kalau iya, nanti aku selang-seling saja dengan tema lainnya .......
Kalian sendiri paling kemlecer sama apanya coba? Kasih komentar kalian di kolom komenku untuk seseruan boleh loh...