Selasa, 31 Agustus 2021

Pada Suatu Pagi dan Cerita Tentang Rumah Bibi di Gunung


 

Pada suatu pagi, aku ngebuka jendela kamar yang menghadap kebon. Di sana uda ada siluet pohon yang tinggi besar, tapi warnanya masih item. Di sela-sela daunnya menyeruak sinar matahari pagi pukul 06.00 WIB. Harum basah tanah masih menyelimuti pagi itu di sebuah desa. Desa tempat pak suamiku dibesarkan dulu. Dan kini orangnya sedang tidur bersama 2 beiby kami. Sementara di dapur, ibu sudah meneriakkan aku supaya cepat keluar dan minum teh hangat manis karena Beliau sudah mengadonkannya untuk kami sekeluarga. 




Tapi ngomong-ngomong soal pohon itu, pada setiap pergerakan waktunya, setelah kuamat-amati warnanya memang selalu berubah. Kalau di pagi hari masih kelihatan item, nanti perlahan menuju siang akan menjadi oranye. Mungkin sudah mulai memasuki masa meranggas. Aku terus bertanya-tanya dalam hati bahwa pohon apakah itu? Tapi itu katanya sih Pohon Ketepeng. Pohon yang menghasilkan buah kecil-kecil warna merah dengan kulit luar sangat keras tapi bijinya kalau sudah digongso kerasa geseng-geseng enak. Namanya kalau ga salah sogok telik. Bahkan di jaman SD-ku dulu, makanan ini dijual seplastik kecil seharga Rp 100-an. Ya, walaupun waktu ngegletakin kulitnya itu berasa PR banget ya, soalnya keras. Tapi kalau udah nemu bijinya, alamaaak serasa dapat jackpot.






Pagi di desa memang suasana terasa damai. Hari itu ibu memasakkan semur daging sapi dan tahu goreng kesukaan kami. Tahu beli di Pasar Kutoarjo siang-siang tempo hari. Sama Tamas dan anak-anak. Yang mana tadinya mau beli tahu, tempe, telur, tapi jadinya beli tahu doang, wkwkkw. Tahu yang kuning itu loh. Tahu yun yi namanya. Dibumbui pake bawang putih garem aja udah enak. Tapi itu sebelum digoreng ya. Digorengnya ga usah terlampau garing, biar tuh tahu masih kerasa menul-menul di dalam mulut, hehehe. Kalau tempe goreng yang ada di piring belinya di bakul ider.

Sebenarnya waktu ke Pasar aku ga cuma beli lauk sih. Malah tergoda beli pisang ambon di bakulan buah. Ya soalnya pisang ambonnya ayu-ayu sekali walau di situ ga cuma ada pisang ambon, tapi juga ada pisang kepok, barangan, dan lainnya. Lalu ada sirsak beberapa, ga cuma satu. Sirsaknya besar banget, cuma karena orang rumah ga ada yang tahan sama acemnya, ya udah ga jadi beli deh aku. 





Terus ngiter-ngiter lantai atas mandeg lagi ke tempat jajanan dan juga krupuk, beli aja krupuk putih agak banyakan sama mie kremes rencengan. Lumayan kan buat cemilan selain juga beli chocholatos buat panganan manisnya. 

Pulang-pulang, seperti biasa melintasi setapakan desa yang pinggirnya kali. Di sana ada kawanan bebek yang sedang baris, saling menyosor ikan atau sekedar bunyi kwek-kwek ramai banget. Ya, walaupun kalinya sedang asat ya karena sedang panen padi. Mau aku fotoin tuh bebek tapi bebeknya getap banget, mereka jadi jalan cepet sehingga aku hanya bisa memfotonya sambil tak-zoom aja jadinya ngeblur, wkwkkw.







Di seberang kali yang sudah masuk pematang sawah, tumbuh liar bunga-bunga kenikir orange yang berayun pelan digoyang angin. Sesekali kumbang dan capung datang menghinggapi menambah syahdu suasana. Rumpun bambu pun tak kalah berisik menggesek-gesekkan dedaunan menimbulkan bunyi-bunyian yang cukup misteri. Sawah di seberang sana sudah menghampar luas, menyajikan pemandangan serba kuning beradu dengan sisa panas matahari yang mulai turun dari peraduan. Hari itu ditutup dengan sampainya aku di rumah, sambil leyeh-leyeh ingin membagikan sebuah cerita masa kecil lagi karena sama-sama masih bercerita seputar desanya.









Nostalgia Rumah Bibi di Gunung

Ehem...dimulai dari mana dulu ya? Kali ini aku akan mendongeng, tapi bukan dongeng fiktif ya, melainkan ini kisah nyata

Jadi, ibuku itu adalah beberapa bersaudara cewek semua. Yang paling bungsu itu aku inget banget saat aku masih kelas 1-2 SD, masih single. Maksudnya masih pacaran sama seorang calon mantunya simbah yang rambutnya agak keriting gondrong ada kumisnya. Aku sebut dia Om Bambang. Om Bambang ini termasuknya agak lama ya pacaran sama Tanteku itu karena sampai didapuk jadi pendamping wisuda segala, sehingga album wisudanya Tante justru pendampingnya adalah Om Bambang. Doi juga sering ngapel pas aku dititipin nginap di rumah Simbah, sehingga pas Tante dan Om Bambang kencan, ga jarang aku dibawa. Lho...Embul jadi obat nyamuknya dong? obat nyamuk bakar yang uwer-uwer itu, Wkwkwkkw...Ya ga sih. Soalnya Tanteku itu orangnya suka anak kecil begitu pula Om Bambang, jadi mereka malah sering ngajakin aku ikut walaupun sebenarnya mereka lagi pacaran. 

Yang paling kuinget banget adalah saat sore-sore sekitar pukul 15.00 WIB, aku diajakin ke salah satu supermarket yang lumayan gede dan ada patung donal bebeknya (aduh tapi aku samar-samar antara inget dan ga inget). Di situ Tante dan Om Bambang sengaja beliin aku es krim yang enak banget sehingga memoriku tentang es krim, Tante, dan Om Bambang adalah supermarket itu. Tapi terpaling paling ingetnya ya sama es krimnya. Soalnya es krimnya disendokin. Beda sama es krim yang ada stiknya dan dijual di toko-toko~biasa Ibu membelikannya di Toko Rakyat.

Ga cuma di situ aja, karena malamnya kami singgah lagi di warung tenda yang jual bubur kacang ijo madura yang ada roti tawarnya, juga beli sate madura sekalian. Itu tuh memori ngebekas banget, jadi akhirnya aku selalu kelingan dengan yang namanya bubur kacang ijo dicelup roti potong dan dikasih sirup jambon namanya bubur madura...huhu.

Tapi, mungkin semesta berkata lain. Karena uda lama pacaran nyatanya tak membawa Om Bambang nikah sama Tanteku. Soalnya abis itu kan Tante kerja di instansi dan ia berjodoh sama kawannya yang satu kerjaan juga.. Jadilah tak berapa lama kemudian mereka menikah dengan aku yang jadi patahnya alias yang tukang ngipas. Didandani pake sanggul dan kebaya sambil bawa kipas bulu-bulu, aduh waktu aku kecil pas didandanin gitu berasa cantik banget, hihihi #monmaklum namanya juga pikiran masih bocah.

Singkat kata, karena masih pengantin baru dan ditugasin yang agak nggunung sedikit....jujur aku lupa nama gunungnya apa cuma kayak ada situs petilasan atau air terjunnya segala sih dan itu nanjaaaaaaak banget sampai suasananya dipenuhi pepohonan dengan bunyi garengpung aka tonggaret yang menyahut-nyahut di sela-selanya. 

Nah, suatu kali aku dibonceng ibu naik motor mau nengokin si Tante dan Om yang baru manten anyar ini nih. Jadi kami sempatkan mampir untuk mendaki gunung lewati lembah....eh itu mah lagu ninja hattori ya, jadi inget anjing Shisimaru yang kayak gajih itu deh aku hahhaha...Okey, sampai mana tadi? Sampai aku dan ibu motoran nuju ke tempat Tante setelah stay agak lamaan di tempat Simbah sebelumnya. Kami ke sana di suatu siang yang agak panas tapi ya ga kerasa wong udah daerah gunung. Kanan kiri tuh pepohonan dan hutan. Singup banget. Pohon apaan tau aku ga apal nama-namanya. Begitu sampai di rumahnya, barulah aku tahu kalau itu adalah rumah dinas yang harus Tante dan Omku tempati. Rumahnya sederhana, cenderung rumah tua. Dalemnya masih rada berantakan sih, mungkin karena baru pindahan. Banyak kado-kado mantenan yang njogrok di lantai dan kebanyakan berupa alat masak, piring gelas, sendok sepasang, seprei, dan lainnya. Aku menjelajahi rumah Tante ini ya sambil penasaran tapi agak-agak merasakan aura-aura kesunyian gimana gitu. Maklum belakangnya langsung hutan. Banyak rumpun bambu juga yang kalau kena angin terkesan misteri ya. Terus sumber airnya masih pake pompa manual. Seorang anak laki-laki kurus yang mungkin orang dari desa itu tiba-tiba muncul, memang sering dipanggil Tante untuk sedikit bantu-bantu termasuk bagaimana cara menjalankan pompa air untuk mengisi bak di kamar mandi. Lalu aku perhatikan cara dia memompa cukup berat juga, tapi aku cobain setelahnya ternyata aku bisa. Keluar air dari mulut tuh pompa, berasa hatiku senang. Horeee! Padahal waktu itu aku masih kelas 3 SD lho, hihi. Tapi kuat juga mompa kayak Tokoh Satsuki dan Mei dalam My Neighbour Totoro.

Setelah lupa waktu karena keasyikan main air, akhirnya aku dipanggil ke dalem buat makan. Nasinya baru mateng diceklekin dari magic com baru hadiah mantenannya Tante. Lauk dan sayurnya sederhana banget cuma sama oseng tempe kalau ga salah inget. Aduh lupa sih sebenernya hihi. Abis makan, antug, boboook, grooooook....#bener-bener ya si Mbul ini tukang bobok banget anaknya, hihihi. Tapi tidurku itu kayak ga nyenyak gitu deh, soalnya di tempat asing kan suka gitu, hawa gunung emang sering bikin kita mikir yang agak gimanaaaaa gitu, haha.

Beranjak sore usai tidur siang yang agak merasakan hawa-hawa tak biasa, aku pun bangkit dari tidurku. Aku jalan ke halaman depan yang emang tanahnya agak tinggi ya dari jalan aspalan di depannya. Nah, di situ ternyata aku baru menemukan sesuatu yang cukup mencengangkan hati. Elahhh timbang nemu pohon aja aku sampek tercengang ya. Bukan! Bukan karena nemu pohon untuk dipanjat karena Mbul jelmaannya koala ya, tapi karena aku baru sadar saat mencium aroma daunnya. Iya, soalnya samar-samar aku hapal betul dengan aroma dari daun ini. Takingat-ingat lagi tapi mulutku kelu...Tak bisa kumengatakannya. Mengatakan nama daun ini maksudku. Terus saat Bapak datang menjemput di sore hari, beliau bilang ini sih daun kayu putih. Oh, pantas lah aku kayak hapal banget sama baunya tapi susah mengatakannya gimana, hihi. Seger-seger semriwing. Jadi sejak dari rumah Tante di gunung itu aku jadi tahu dengan yang namanya pohon kayu putih dan bagaimana daunnya, hehe...

Tapi beberapa tahun setelahnya Tante dan Omku ditugaskan ke luar Pulau Jawa yaitu Nunukan, Kalimantan dimana masih banyak terdapat hutan di sana. Tapi untuk tetap menjalin silaturahmi, kami masih sering berkirim surat sambil sesekali kirim foto agar selalu tahu kabar masing-masing.

Sekian cerita dariku kali ini.

See you and bye bye!