Rabu, 01 Desember 2021

Sinopsis The Chase (2017)




Oleh : G Nita 

Suatu hari hujan turun dengan derasnya. Di sebuah rumah kecil yang kumuh, seorang kakek tua tampak sedang batuk-batuk. Suara batuknya membahana seperti batuk rejan. Rumahnya sudah sangat memprihatinkan. Atapnya bocor dimana-mana hingga baskom bertebaran di atas lantai untuk menampung tetesan air hujannya. 

Tiba-tiba tampak seorang berbusana hitam sudah berdiri di sana. Si kakek tua yang hendak minum air putih dari dalam cereknya tiba-tiba dicekik dari belakang. Pelakunya tak  tampak bagaimana rupanya tapi yang jelas ia mengenakan topi hitam. Usai korbannya tewas, ia tata kembali posisi gelas dan cereknya seperti semula supaya tidak menimbulkan kecurigaan. Mayat kakek itu juga dirapikan lagi seakan-akan terlihat seperti sedang tertidur. Kepalanya dialasi bantal, tubuhnya diselimuti, dan tangannya ditelungkupkan di atas perut. Ia pun tak lupa membersihkan apa yang tersisa supaya tidak meninggalkan jejak. Kota pun masih diguyur dengan hujan yang dari kejauhan tampak bercahaya karena lampu-lampu. 



Film : The Chase
Native Title: 반드시 잡는다
Juga dikenal sebagai : Aridong, Bandeusi Jabneunda
Sutradara : Kim Hong Sun
Screenwriter: Yoo Kab Yeol
Genre : Mystery, Drama (Murder, Serial Killer, Diadaptasi dari A Webtoon, Detective Male Lead, Cold Male Lead, Skilled Killer, Investigation, Thriller
Negara : Korea Selatan
Type : Movie
Tanggal Rulis : 29 November 2017
Durasi : 1 jam 50 menit

***

Keesokan harinya, kehidupan berjalan seperti biasanya. Sebuah kereta tampak melintas di rel. Dan pagi itu,  langit tampak cerah dengan latar belakag sebuah apartemen bobrok milik seorang Pak Tua. Seperti biasa, tiap memulai aktivitasnya, ia selalu menggosok giginya dengan khidmat dan streching sebentar. Setelahnya, ia memeriksa kesehatannya dan mengenakan jaketnya karena akan pergi ke suatu tempat. Tak lupa ia membawa 2 batang cokelat untuk bekalnya di jalan. 

Saat akan meraih helmnya, tiba-tiba ia perhatikan parkiran rusunnya penuh dengan sepeda dan kendaraan lain. Ia pun menuju ke salah satu rumah yang disewa oleh Paman berambut kelabu bernama Choi. Rupanya paman tersebut sedang kedatangan 2 orang petugas dari lembaga sosial. Pak Tua tadi masuk usai dipersilakan Paman Choi. Tak tahunya hari itu ia akan menagih uang sewa bulanan yang naik dari $250 dengan total tunggakan $1000 dengan sikap ketus. Ia mendamprat Paman Choi di depan kedua petugas wanita tadi. 

Paman Choi sendiri saat ini sedang kesusahan dan belum dapat pekerjaan. Ia meminta keringanan agar diberikan waktu untuk membayar tapi Pak Tua itu tidak mau tahu. Ia menyuruh Paman Choi tetap membayarnya lalu berseloroh kenapa ia tak menjual saja trucknya itu untuk mendapatkan uang. Tapi Paman Choi menolak karena itu satu-satunya sumber pendapatannya saat ini. Pak Tua itu kemudian menyindir lagi apa anaknya yang tinggal di Amerika sekarang tahu kehidupan ayahnya saat ini. Melihat Paman Choi disudutkan, maka salah satu dari petugas wanita tadi ikut nimbrung. Ia bilang perkataan Pak Tua itu terdengar sangat kasar. Ia memang pemilik rumah sewa ini tapi ia juga diminta untuk menaruh belas kasihan sedikit terhadap orang yang sedang kesusahan. Bukannya luluh, Pak Tua itu malah menadahkan tangannya ke arah petugas wanita tadi. Ia bilang, apa kalian yang akan membayarnya? Membawa makanan sebanyak ini, dipikirnya kedua petugas wanita itu pastilah mempunyai cukup uang. Pak Tua itu kemudian mengultimatum Paman Choi supaya bagaimana caranya, entah meminjam atau mencuri yang penting ia harus membayar uang sewanya. Kedua petugas sosial tadi pun mengumpat betapa jahatnya Pak Tua itu. Sungguh pelitnya melebihi Paman Gober...

Sim Deok Su. Begitulah nama Pak Tua pemilik apartemen yang berdiri sejak tahun 1950-an. Ia memiliki banyak properti di Kota Aridong. Ia pun memulai patrolinya dengan mengendarai motor tuanya melintasi gang-gang penuh turunan di kota itu. Ia memiliki watak yang sangat arogan dan pemarah sehingga orang-orang selalu menghindarinya. Bahkan seorang Bibi yang sedang menjemur dagangannya di aspal diterabas motornya begitu saja tanpa perasaan bersalah sama sekali. Ia tetap mengendarai motornya dengan PD-nya. Saat berhenti di lampu merah, ia sekilas memperhatikan dari kejauhan, sebuah kedai kopi milik seorang wanita. Padahal lampu bangjo sudah berganti warna, tapi ia tetap diam saja sampai diklakson kendaraan belakangnya beberapa kali. Ia pun melanjutkan perjalanannya hingga sampai di sebuah jembatan yang bawahnya adalah sungai. Sungai itu sedang ramai dirubung warga. Banyak mobil polisi berjajar di situ. Tampak pula garis kuning yang melingkari satu area. Rupanya sedang ada penemuan mayat hingga membuatnya penasaran juga. Tanpa rasa empati ia malah berseloroh bahwa kenapa orang itu harus mati di tempat ini karena hal tersebut akan menurunkan nilai jual properti saja. Salah seorang petugas polisi kemudian mendekatinya. Ia menegurnya supaya tak usah menambah masalah. Ia pun berteriak pada warga lainnya supaya tidak mengganggu TKP karena Tim Forensik akan segera datang sehingga tidak ada yang boleh menyentuh apapun di TKP. Saat akan pergi, Pak Tua itu tak sengaja melihat gadis manis melintas di kejauhan. Gadis itu begitu melihat si Pak Tua langsung menunduk dan hendak pergi. Tapi kemudian Pak Tua memanggilnya Apartemen 205!. Ia mencegatnya karena dipikir gadis muda itu akan lari darinya. Tapi gadis muda itu bilang kenapa ia harus lari dari si Pak Tua. Tak lama kemudian Pak Tua itu menadahkan tangannya sambil bilang uang sewa. Gadis itu pun menjawab taktis bahwa saat ini belum ada dan ia akan membayarnya besok. Pak Tua itu pun menggerutu. Katanya kau tak pernah membayar tepat waktu wahai Apartemen 205. Lalu dengan muka polosnya yang masih seperti bocah, gadis itu protes supaya ia jangan dipanggil begitu karena ia punya nama. Namanya adalah Ji Eun. Lalu ia pamit undur diri hingga membuat si Pak Tua bertambah sewot saja.


***

Pak Tua tadi kemudian menambatkan motornya di halaman parkir apartemennya. Ia lalu melanjutkan aktivitasnya memperbaiki kunci pintu dan menyerahkannya pada seorang anak muda.

Di tempat yang lain, seorang anak kecil yang sedang bermain bola tiba-tiba saja bolanya itu terlempar ke halaman sebuah rumah bobrok. Nah, saat jendelanya didekati, ia melihat sesuatu yang aneh karena banyak lalat yang hinggap di sana. Ia pun mengetok kaca jendelanya hingga lalatnya bubar, tak tahunya ada pemandangan yang sangat mengerikan di sana. Seorang kakek tua terbujur kaku dan sudah setengah membusuk dipenuhi ulat. 

Pak Tua yang kembali dari tugasnya sebagai tukang reparasi kunci kemudian mampir sejenak untuk ngopi-ngopi di kedai depan lampu merah (lamer). Ia menyapa sang wanita pemilik kedai dengan senyuman. Dan wanita itu lalu menyerahkan uang sewa bulanannya kepada si Pak Tua. Saat akan pamit, wanita itu menawarinya untuk makan sandwich terlebih dahulu. Tapi ia bilang tepung kurang baik untuk kesehatannya jadi ia menolaknya dengan halus. Meski demikian wanita tersebut tetap menawarinya jamuan yang akhirnya tidak bisa ditolak oleh si Pak Tua. Akhirnya ia mau juga dibakarkan setangkup roti untuk sarapan. 

Saat wanita itu sedang membakar rotinya, si Pak Tua bertanya bagaimana perkembangan usahanya. Ia harap dapat berjalan dengan baik sehingga ia dapat menaikkan biaya sewanya. Kata si wanita, datang kembali ke sini setelah beberapa puluh tahun yang lalu sebenarnya membuatnya khawatir jika harus mencari uang sendiri. Tapi beruntung pendapatannya selalu cukup selama ini. Tak lama kemudian, pintu kacanya diketuk oleh seseorang. Ternyata itu adalah Dokter Na. Si Wanita Pemilik kedai pun langsung hapal dan bilang apa Dokter Na memesan 2 sandwich seperti biasa untuk berkeliling. Orang tua itupun mengangguk sambil tersenyum ramah. Di luar, rupanya ia datang bersama istrinya yang lumpuh hingga harus mengenakan kursi roda. 

Sementara itu Pak Tua Sim Deok Su menyantap sandwich dan jus jeruknya dengan nikmat. Si Wanita pemilik kedai lalu memuji Dokter Na yang sangat manis terhadap istrinya. 10 tahun wanita berusia 50-tahunan itu lumpuh. Tapi Pak Tua Sim malah sewot dan mengatakan bahwa merawat orang sakit memerlukan banyak biaya. Jika dia miskin pasti hidupnya akan hancur. Si wanita pemilik kedai hanya bisa menatapnya dengan heran, ia berpikir kenapa Pak Tua Sim orangnya nyinyir sekali ya, hahhaha...Lalu tiba-tiba HP Pak Tua itu berdering. Ternyata dari Petugas Kepolisian Lee. 

Pak Tua Sim pun menuju lokasi dimana Petugas Lee menyuruhnya datang. Dimana lagi kalau bukan rumah kakek tua yang meninggal sendirian tanpa orang lain tahu. Kata Pak Polisi kemungkinan ia meninggal dalam keadaan tidur. Tapi kebetulan sekali kejadian ini tepat setelah Lee Man Seok diketemukan tewas di sungai. Pak Tua Sim pun terkejut. Ternyata yang tewas itu adalah pemabuk itu. Ya, si Bodoh Man Seok. Asumsinya adalah dia mabuk dan tergelincir dalam hujan musim dingin yang lalu. Tapi lagi-lagi Pak Tua Sim mengeluarkan kata-kata nylekit yang sama sekali tak berempati, katanya syukurlah orang itu mati. Memang selayaknya ia mati. Petugas Polisi Lee sampai heran kenapa Pak Tua Sim senyinyir itu. Saat ia hendak cabut, ia sejenak memperhatikan jendela yang tadinya dikerumuni lalat, lalu habis itu balik ke apartemennya lagi ketika hari sudah petang. Ia kemudian teringat tentang perkataan Paman Choi bahwa saat ini ia sedang kesusahan karena belum mendapat pekerjaan dan meminta keringanan untuk membayar sewanya. Pak Tua Sim pun seperti merenungkan sesuatu. Sepertinya hati nuraninya mulai melunak. Ia kemudian mengetuk pintu rumah Paman Choi. Tapi tak ada jawaban. Saat dibuka gagang pintunya, ternyata tidak dikunci. Ia menggerutu kenapa Paman Choi merusak gagang pintunya. Ia pun masuk ke dalam. Suasana rumah tampak sepi. Tak terlihat dimana keberadaan Paman Choi. Sementara di meja makan masih terdapat makanan lengkap. Tak lama kemudian Paman Choi datang. Ia pikir Pyung Dal yang datang ternyata Pak Tua Sim. Si kikir itu kembali nyinyir karena Paman Choi datang membawa bir. Ia bilang Paman Choi tak bayar uang sewa tapi malah makan seperti raja. Ia mengancam jika Paman Choi tak segera membayarnya, ia tak segan-segan akan mengusirnya. Tapi tiba-tiba Paman Choi meminta Pak Tua Sim untuk singgah sejenak. Keduanya kemudian ngobrol-ngobrol ringan. Ia ditanya siapa yang bakal datang hingga jamuannya semewah ini. Katanya mantan rekan kerjanya dulu. Pak Tua Sim pun jadi kepo dimana Paman Choi dulu bekerja. Ternyata Paman Choi seorang detektif polisi. Pak Tua Sim pun menasihatinya agar ia meninggalkan pekerjaannya itu dan menikah saja. Ternyata jawabannya dijawab santai oleh Paman Choi. Katanya separuh hidupnya digunakan untuk memburu buronan dan itu sudah jadi jalan hidupnya. Ia lalu bertanya orang yang meninggal baru-baru ini (Lee Man Seok di sungai dan Song Jang Su di rumah, ternyata keduanya sangat dikenalnya. Tapi Pak Tua Sim bilang untuk apa mengingatnya karena itu tak ada gunanya. Lalu Paman Choi menjelaskan bahwa gereja menyediakan jatah makan siang gratis setiap Selasa, Rabu, dan Kamis. Kemarin mereka datang pada hari Selasa dan Rabu. Tapi tak kelihatan di hari Kamisnya. Kemungkinan mereka meninggal di Rabu malam. Masih ada satu lagi yang hilang, Han Si si orang tua yang tinggal sendirian di kandang itu. Sedangkan hari ini adalah Hari Rabu juga. 

Sementara itu, di jalanan Ji Eun sedang bertelepon dengan temannya Su Kyeong. ia mengajaknya minum bir bersama. Tapi ternyata tak bisa dan membuat gadis itu kecewa. Tak tahunya di belakangnya seperti ada sosok yang sedang memperhatikannya dari jauh.

Kembali ke kediaman Paman Choi. Kata beliau, hal yang sama terjadi puluhan tahun yang lalu. Pertama terjadi pada lansia yang tinggal sendirian, kemudian wanita muda yang meninggal atau hilang. Dan pembunuhnya belum terungkap. Kasus ini ditutup karena semua korban terlihat seperti kematian yang tak disengaja. Pak Tua Sim pun menasihati Paman Choi supaya berhenti memikirkan masa lalu pekerjaannya. Lebih baik beristirahat, makan, dan cari uang yang banyak supaya tak lupa membayar tunggakan uang sewa. Tapi sebelum pergi, Pak Tua Shim berkata apakah Paman Choi bersedia rutin menemuinya supaya terkesan Paman Choi ini tidak lari dari tanggung jawab. Ia tak ingin ada tunggakan sewa lagi karena kalau iya maka ia akan makan apa. Lalu saat akan menutup pintu, ia bilang besok pagi ia akan kembali untuk memperbaiki gagang pintunya. Saat itulah Paman Choi seperti mengangguk tapi dengan senyuman aneh yang tak seperti biasanya. 

***

Ji Eun pun sampai di depan rumahnya. Ia membuka pintunya dengan sebuah kunci. Setelah masuk ke dalam, tiba-tiba seseorang menyergapnya dari belakang. Ternyata itu adalah temannya Su Kyeong. Ji Eun sudah setengah mati ketakutan karena dipikirnya itu pencuri. Su Kyeong bilang apa yang bisa dicuri dari temannya yang miskin itu kecuali ini (sambil menunjuk dada (????) maksudnya baju kali ya apa behaaaa aku ga tau soalnya di situ kan lagi banyak rumor tentang penguntit). 

Pak Tua Sim pun melewati depan pintu nomor 205. Di sana ia mendengar gadis-gadis sedang membicarakan penguntit. Ia ingin menemuinya karena kedengarannya mereka sedang minum bir. Tapi sebelum mengetuk pintu tiba-tiba ia mendengar bahwa Ji Eun dinasihati temannya supaya memikirkan dirinya sendiri juga selain mengirimi ibunya uang, termasuk jangan lupa membayar uang sewa supaya tidak diusir. Dari situ hati Pak Tua Sim kembali maknyes. Su Kyeong bilang selalu bekerja keras semenjak SMA namun memberikan semua uangnya untuk orang tuanya. Kapan ia bisa bahagia? Tapi dengan bijak Ji Eun berkata, mereka sangat membutuhkannya dan ia tak bisa mengabaikannya. Su Kyeong pun gemas dengan kebaikan temannya itu. Hingga di luar Pak Tua Sim tidak jadi menagih uang sewanya. 

Malam harinya, angin bertiup sangat kencang. Listrik di rumah Paman Choi tiba-tiba padam. Pintu rumahnya pun terbuka. Orang tua itupun terpaksa bangun untuk menutup pintunya. Ia tak sadar di depan sana sudah ada sepatu orang asing yang bertengger di situ. Saat hendak menutup gagang pintunya, tiba-tiba seseorang menjeratnya dari dalam. 

Keesokan harinya, Pak Tua Sim bersiap membawa gagang pintu baru untuk Paman Choi. Ia kemudian bertemu dengan Ji Eun yang hendak berangkat kerja. Gadis muda itu mengangguk sopan pada pemilik apartemennya. Tetap saja Pak Tua Sim bertanya kenapa sampai hari ini ia masih belum membayar uang sewanya. Tapi saat hendak menjelaskan, Pak Tua Sim bertanya kenapa Ji Eun tidak memberitahunya tentang teman sekamarnya itu. Ji eun bilang ia hanya datang sesekali kok. Pak Tua Sim menghardiknya supaya jangan berbohong karena ia mendengarnya di malam hari cause ia tinggal di bawahnya. Ia dengan semena-mena lalu bilang bahwa Ji Eun harus membayar uang tambahannya. Ji Eun pun minta maaf dan segera berangkat kerja. 

Pak Tua Sim lanjut menuju ke nomor 202 kediaman Paman Choi untuk memasang gagang pintu. Dari luar ia hanya melihat kaki Paman Choi saja seperti sedang duduk di lantai. Karena tidak digubris, akhirnya Pak Tua Sim masuk ke dalam. Betapa terkejutnya ia karena Paman Choi telah tewas dengan leher tergantung di gagang  pintu kamar mandinya. Tak lama kemudian 2 orang petugas wanita dari dinas sosial datang dan ikut shocked juga atas kejadian itu. 

Sinopsis dan review The Chase (2017), sumber poster dan foto imdb



Oh semprullll...sangar banget ceritanya. Tapi sumpah Korea tuh ya kalau ngegarap thriller emang juara. Termasuk The Chase ini. Aku bilang sih puas banget nontonnya karena menuju ke klimaksnya tuh kayak ada adegan aksinya juga hahhahaa...Dan kejutan di ending tentang siapa pelakunya juga bikin pengen mengumpat kok bisa hahahhaha...Ya udah lah pada nonton sendiri aja ya. Yang jelas sih aku bilang untuk genre thriller, The Chase ini bagus (menurutku pribadi loh ya).

Okey, sekian dulu updateanku kali ini. See you di sinopsis film berikutnya.
Xoxoxo
Mbul