Jumat, 03 Juni 2022

Review Buku : Sekuntum Mawar Gunung, Maria A Sardjono



Sinopsis Sekuntum Mawar Gunung, Maria A. Sardjono

Dalam suasana masih berkabung setelah ditinggal suaminya Herman untuk selama-lamanya dalam 8 bulan terakhir, membuat Utari akhirnya memutuskan untuk pindah ke rumah baru yang ada di pinggiran kota. Bersama 2 anaknya yang masih kecil-kecil, ia dibantu pindahan oleh sahabat Herman yaitu Baskoro yang amat sangat perhatian padanya. Baskoro tak segan-segan menawarkan bantuan tentang pemilihan jasa tukang, dan menghandle tata ruang rumah mungil itu. Bagaimana pemasangan pagar, pengecatan dinding rumahnya, juga penataan kamar. Sebenarnya ia menaruh hati pada Utari sejak lama. Tapi hal itu hanya ia pendam saja. 




Utari sendiri justru menginginkan Baskoro agar lebih memperhatikan adik perempuannya. Hanya saja Baskoro tidak mencintai adik Utari. Ia lebih mencintai Utari yang sudah matang walau sudah punya anak 2 tapi wajahnya masih tetap saja cantik dan badannya pun bagus seperti gadis remaja. Ramping dan menarik. Sontak, begitu Herman tiada, Baskoro pun menyatakan perasaannya pada Utari meski dengan halus Utari menolak cinta Baskoro karena alasan masih berduka. Tapi ia tetap ingin menjalin hubungan baik dengannya dan lebih menyayanginya sebagai sahabat atau keluarga. Meski dalam hatinya ia masih berharap Baskoro mau dengan adiknya. 

Di sisi lain, jauh sebelum bersanding dengan Herman, Utari pernah mempunyai hubungan yang cukup mesra dengan seorang pemuda seniman yang ditentang keras oleh kedua orang tuanya karena dipikir tidak mempunyai masa depan yang cerah. Utari sendiri juga memiliki darah seni yang tinggi. Ia pandai melukis dan lukisannya pun tak kalah bagusnya dari lukisan pemuda itu. Dikarenakan Utari dulunya adalah gadis yang naif, penurut, juga perasa atau sangat lembut hatinya, maka ia pun bimbang akan meneruskan hubungannya dengan sang kekasih atau tidak. Sementara itu sang kekasih sangat keberatan jika dicintai setengah-setengah oleh Utari. Maka, ia pun memberi kesempatan pada Utari agar bisa berpikir lebih dewasa dalam menentukan sikap, apakah mau terus bersamanya yang seorang seniman ini atau patuh pada orang tua. Hingga akhirnya sang kekasih memilih pergi tanpa kabar dan membuat Utari sedih. Melihat kesempatan itu, Herman yang sudah lama mencintai gadis itu pun cepat-cepat mengambil ancang-ancang. Segera ia dekati gadis itu dan ia pinang menjadi istri hingga akhirnya setelah 8 tahun berjalan, Herman meninggal dunia. Utari pun seperti kehilangan separuh jiwanya. Bagaimanapun ia adalah tipe wanita setia dan tidak pernah neko-neko. Jika sudah mencintai satu orang, maka segenap hatinya akan tercurah pada orang itu hingga akhir hayat atau maut memisahkan. Sepi ia rasakan terutama saat terbayang hari-hari ke depan akan melanjutkan hidup seperti apa. Ia menjadi lebih sentimentil. Bahkan saat akan memulai penataan kamar utama, ia memilih ranjang yang lebih kecil karena hal itu akan mengingatkannya pada suaminya, sebab kini ia harus tidur seorang diri. Ia juga banyak melamun karena sebentar lagi akan meninggalkan segala kenangan yang ada di rumah lama. Ia tidak akan lagi bertemu dengan tukang sayur baik hati langganannya, Bang Juki yang sering membawakannya buah-buahan usai pulang dari kampung, juga mendandani atapnya yang bocor dan sebagainya. 

Singkat kata, Utari harus memulai kehidupan baru di pinggir kota yang lebih tenang dan jauh dari keramaian.  Ia ingin berhubungan baik layaknya sedulur dengan orang-orang di lingkungan barunya nanti. Ya seperti yang ia lakukan di lingkungan lamanya. Untuk membantu memulihkan kondisi psikisnya yang masih berduka, anggota keluarganya yang lain juga ikut menemaninya tinggal di situ. Akan ada dirinya, kedua anaknya yang masih kecil-kecil, adiknya Ani, Bik Yah, dan seorang sopir yang akan dicarikan oleh Baskoro. 




Suatu pagi, saat matahari sedang bersinar hangat menimpa kepalanya, dengan hanya mengenakan celana pendek dan kaos kebesaran Utari sedang berada di taman depan rumahnya. Penampilannya memang masih seperti gadis remaja meski ia adalah ibu dari 2 orang anak. Saat itu ia dan kedua anaknya sedang mengatur taman mungilnya dengan menanaminya beraneka ragam bunga. Sambil bercanda, mereka main tebak-tebakan nama bunga. Ada kembang sepatu, kembang kertas, dan lainnya. Utari takjub dengan kemampuan putrinya menyebut nama bunga. Si sulung lalu tiba-tiba tercetus ingin menanam tanaman sayuran. Utari pun memperbolehkan dan bertanya ingin menanam apa. Katanya tomat seperti yang ditanam Bik Yah, lalu belimbing dan jambu air seperti yang ditanam Oom sebelah. Utari pun mengerutkan alisnya karena sudah beberapa kali anak-anaknya menyebut tentang Oom sebelah. Siapakah lelaki itu. Utari tak pernah melihatnya karena rumahnya selalu kosong. 

Sekuntum Mawar Gunung, Maria A. Sardjono

Review Pribadi dariku :

Membaca novel lawas era-era tahunnya Ibuku saat muda ini membuatku sedikit banyak memahami perbedaan penulis zaman itu dengan penulis zaman sekarang. Novel ini memang tidak bermain pada kata-kata kias yang kebak metafora. Malah bisa dibilang segala padanan kata yang digunakan lugas, langsung, to the point. Intinya seperti naskah sinetron. Ingat kan, sudah banyak novel lawas yang diangkat ke layar kaca? Namun demikian yang menjadi daya tariknya justru ada di situ. Narasinya lugas dan terang, tapi padu padannya indah. Elok untuk dibaca sambil santai atau bacaan nina bobo pengantar tidur. Dialognya tertata dan cenderung penuh dengan kesantunan. Hal tersebut banyak terdapat pada dialog antara Utari dan Baskoro yang meski Baskoro sangat mencintai Utari namun ia tetap menghormati Utari dengan tetap memanggilnya Mbak, sedangkan Utari memanggilnya Dik Bas. Begitu pula dialog-dialog tokoh lainnya yang benar-benar khas percakapan di era itu.

Novel ini genrenya roman. Roman yang dicirikan dengan cover yang khas yaitu gambar wanita cantik seperti lukisan. Entah kenapa, aku sedang senang membaca roman jadul. Meski saat novel ini terbit aku belum lahir ke dunia. Tapi bukankah membaca itu tak kenal tahun? Tahun berapapun diterbitkan, jika ceritanya menarik, ya tetap saja suka. 

Aku sendiri membaca novel ini langsung dibawa pada perasaan yang mendayu-dayu. Ciri khas penulis perempuan yang aku suka ya begitu.  Sambil membaca, sambil dalam benak ini seperti diantarkan langsung pada bayangan akan kecantikan tokoh utama wanitanya seperti apa. Perasaannya yang lembut dan fisiknya yang aduhai. Sex appeal tokoh utama lelakinya seperti apa. Latar belakang tempat yang digunakan seperti apa. Gambaran tentang sebuah rumah mungil dan keseharian seorang wanita dengan 2 anak yang manis-manis juga tetangga barunya. Judulnya yang eye cathcy menggambarkan hal kecil tapi kunci yang merangkum semua isi cerita. Sekuntum mawar gunung. Dimanakah posisi mawar gunungnya berada? Ada rumah sewa di kaki gunung, tepi hutan sunyi, dan mawar. Dimanakah tempat indah yang secara tiba-tiba begitu kita membacanya seperti dibawa masuk ke dalam sana? Maksudnya jadi seperti menonton film saja. Cerita dalam novel yang kemudian saat dibaca secara reflek seperti menyuguhkan adegan-adegan indah dalam film roman. Semua itu berhubungan dengan healing hati tokoh utama wanitanya yang setelah ditinggal pergi suaminya untuk selama-lamanya dan tiba-tiba secara takdir ia harus bersua lagi dengan keadaan yang membuatnya terkenang pada kenangan masa lampau. Endingnya pun cukup surprise. Meski bagian termendebarkannya tetap terletak pada bagian percintaannya. Dimana dengan sangat pandai penulis memainkan adegan cinta dan cumbu dengan sangat lembut dan menyentuh. Pendek kata, buku ini memberikan angin segar bagiku yang sedikit lelah pada bacaan tema berat, karena novel ini termasuk roman sederhana tapi mempunyai cerita yang manis untuk dinikmati.

Judul buku : Sekuntum Mawar Gunung
Penulis : Maria A. Sardjono
Penerbit : Sanjaya, Jakarta
Jumlah halaman : 306 hlm