Kamis, 04 Juli 2024

Mbul Jalan-Jalan ke Kota Semarang (Part 2) ฅ(^・ω・^ฅ)



Assalamualaikum wr wb...
Selamat pagi dari Semarang. Ini hari ke-2 di Semarang. Yeay! Semarang mendung. Jadinya adem. Pagi-pagi enak dibawa jalan-jalan keliling kota. Setelah sarapan nasi ayam di Nasi Ayam Bu Nyoto depan sekolah Pangudi Luhur, Santo Yusuf, kami ga langsung memutuskan balik ke Serrata Hotel. Karena begitu tau mau ke Semarang, aku jadi kepengen mampir sebentar ke Lawang Sewu. Ya, mumpung cuaca belum terlalu panas kan, jadi kayaknya asyik juga kalau bisa melihat Lawang Sewu dari dekat. Karena salah satu ikon Kota Semarang adalah Lawang Sewu. Maka ga afdol rasanya kalau belum mampir ke sini. 






Jalan-Jalan ke Lawang Sewu

Sesampainya di Lawang Sewu, ngepas banget baru buka, yaitu jam 9 pagi. Lokasinya ada di sisi timur Tugu Muda Semarang, atau di sudut jalan Pandanaran dan Jalan Pemuda. Di sebelahnya lagi ada pula Museum Mandala, depannya pas taman kota yang dipenuhi bunga-bunga dan bonsai. Tapi parkirnya rada nylempit masuk ke gang nih dekat kali, tapi nanti masuknya tetep jalan kaki ke depan. 

Usai memasuki kawasan wisatanya di dalam, kami langsung menuju ke tempat pembayaran tiket masuk. Untuk dewasa dikenai Rp 20 ribu, pelajar Rp 10 ribu, dan turis mancanegara kalau ga salah ingat Rp 30 ribu. Koreksi ya kalau ada perubahan info ^_^ 








Oiya, pas abis bayar tiket ada beberapa orang Bapak-Bapak berbusana batik yang bertugas sebagai guide (pemandu wisata). Nah, di sini kami ditawarkan mau pake jasa guide atau ga. Kata Ramane sih, "Pake aja Dek, biar aku seng ndengerin ceritane Bapake. Dedek sing foto-foto." Ow kayak gitu ya...Kayaknya lebih seru gitu kali ya, biar lebih lengkap penulisan di blognya Mbul, hihihi. Okey, deh, akhirnya dengan membayar Rp 75 ribu untuk jasa guide yang dibawakan oleh Bapak Nur Abidin.

Lawang Sewu merupakan sebuah bangunan peninggalan jaman Kolonial Belanda yang dibangun pada tahun 1904. Semula gedung ini diperuntukkan untuk Nederlandsch Indishe Spoorweg Naatschappij (NIS) atau kantor pusat perusahaan kereta api (trem) Belanda. 
























Pada tahun 1942-1945 Lawang Sewu diambil alih oleh Jepang dan digunakan sebagai Kantor Riyuku Sokyoku. Tahun 1945 menjadi Kantor Eksploitasi Tengah DKARI (Djawatan Kereta Api Republik Indonesia). Sekarang sudah menjadi bagian dari cagar budaya Indonesia dan direvitalisasi oleh PT KAI menjadi bangunan yang cantik dan terawat.

Menurut istilah Jawa, “lawang” berarti pintu, dan “sewu” berarti seribu. Sehingga “Lawang Sewu” berarti seribu pintu. Bangunan ini memiliki banyak jendela tinggi dan besar sehingga masyarakat sering menganggapnya sebagai pintu. Walau, jika dilihat dari jumlah aslinya, pintunya hanya berjumlah 928 buah. Pada awal pembangunannya, adanya banyak pintu ini bukan sekedar faktor estetika saja, melainkan lebih ke faktor fungsi. Suhu udara di Semarang yang cukup tinggi mengakibatkan karyawan kereta api Belanda tidak dapat berkonsentrasi dalam bekerja. Jadi mereka meminta agar arsitektur dibuat senyaman mungkin yaitu dengan menciptakan banyak sirkulasi udara. Apalagi Semarang juga berada di dekat garis pantai membuat sehingga menyebabkan udaranya cukup panas. 















Kompleks Lawang Sewu sendiri terdiri dari 2 Gedung utama. Gedung A dan B. Gedung A letaknya ada di depan berbentuk Letter L, sedangkan gedung B di belakangnya berbentuk letter I. Gedung tambahannya ada beberapa. Ada Gedung C untuk percetakan kereta api, Gedung D untuk cafetaria, dan Gedung E untuk pengecekan tiket. Untuk gedung utama fungsinya sebagai ruang kerja. 

Kelebihan gedung A adalah material bangunannya 80% dari Eropa, contohnya adalah batu bata kuning yang berasal dari Belanda. Kalau kita lihat lebih dekat memang masih cat aslinya yaitu sejak awal dibangunnya gedung. Begitu pula kaca pada bingkai jendela ruang bawah yang kalau diperhatikan lagi permukaannya agak bergelombang. Itu karena belum diganti sama sekali. Masih mempertahankan seperti saat awal pembangunannya.

Ada 114 ruang kerja pada seluruh gedung. Pada bagian tengah ruang dibuat pintu conector untuk sistem pengawasan untuk seseorang yang dinamakan mandoor. Mandoor itu berasal dari Bahasa Belanda, man artinya laki-laki, dan door artinya pintu. Jadi mandoor itu pengawas yang berjalan dari satu pintu ke pintu. 





































Gedung A dibangun secara bertahap di atas lahan seluas 18.232 m². Dirancang dari 1904-1907 oleh beberapa arsitek berbeda diantaranya Jakob F. Klinkhamer dan B.J. Ouendag, arsitek asal Amsterdam yang ciri khas bangunannya didominasi oleh elemen lengkung menyerupai huruf L serta memiliki jumlah jendela dan pintu yang banyak sebagai sistem sirkulasi udara. Semua bahannya diimpor dari Belanda mulai dari batu granit sampai ukiran-ukiran. Bahan bangunan diangkut dengan menggunakan kapal kosong yang nantinya akan digunakan untuk mengangkut hasil perkebunan seperti gula dan rempah-rempah setibanya di Indonesia. Sehingga fungsi dari bahan-bahan tersebut sebagai penyeimbang kapal yang berangkat dari Belanda menuju Indonesia. 

Gedung A ini memiliki dua menara kembar yang awalnya digunakan untuk menyimpan air berkapasitas 7.000 liter. Di bagian tengah terdapat tangga besar yang bermuara ke jendela kaca patri besar serta indah penuh dengan filosofis. 









Kaca patri menyebabkan udara terasa lebih hangat dari sekitar, sehingga aliran udara berjalan di lorong-lorong tengah. Sedangkan di atas terdapat lubang-lubang kecil yang menjadikan sirkulasi udara berjalan  dengan baik. Pagi hari adalah waktu terbaik untuk melihat keindahan dari ukiran yang terdapat dalam kaca patri karena posisi kaca yang dipasang tepat ke arah timur. Di bawah bangunan terdapat sebuah lorong bawah tanah.

Sedangkan Gedung B terletak di belakang gedung A. Tingginya adalah tiga lantai dengan dua lantai pertama berupa perkantoran dan yang ketiga adalah loteng. Bangunan ini juga memiliki lorong bawah tanah yang berfungsi sebagai saluran air.






















































Jalan-Jalan ke Area Gunung Pati 

Usai sinau sejarah perkeretaapian di Lawang Sewu, kamipun bergegas melanjutkan perjalanan tapi kali ini ngrandom aja ga ada itinerary sama sekali. Kemana kaki ini akan melangkah, ya itu yang akan kami jelajahi. Kayak ngikutin arah angin aja gitu, hihihi. Dan rupanya kendaraan melaju ke kontur Semarang yang lebih berbukit-bukit. 

Dari kota mukai start titik KFC Gelael yang ada bougenville pinknya (aku mandeg buat foto sebentar wkwkkw), lanjut terus ke Sekitar Kampung Ronce dan Bergota, terus bablaaaaaas terus sampai daerah Sabrangan, Plalangan Semarang. Di sini kanan kiri tuh udah mulai nanjak-nanjak dan terdapat banyak pohon durian dengan durian yang sudah mulai berbuah di dahan-dahannya langsung. 


























Kami juga sempat mandeg di kedai durian pinggir jalan karena tak sengaja melihat durian kok gede-gede amat ya. Duriannya digantung-gantung bersandingkan dengan pete, ada pula yang ditumpuk berjajar sama buah lainnya seperti manggis, mangga, belimbing, dan juga kelapa muda. Ada pula nangka yang masih dalam bentuk glundungan dan juga sudah dibersihkan serabutnya yang lengket-lengket itu. Nangkanya kuning cantik dan kelihatannya sih manis banget. Ga pake lama Ramane langsung mengajak Mbul buat mandeg, maem durian di tempat. Ya, sembari ngadem karena tau Mbul agak mabok gegara jalanan yang dilalui meliuk-liuk. Habis itu minta belahkan duriannya, maem yang sedeng aja biar ga wareg banget gitu, sedangkan nangkanya dibungkus aja. 



































Duriannya ada yang lokal, ada yang monthong. Ada yang kecil, sedang, sampe yang sakdemplon Beby Mbul atau admin blog ini hahahah...#canda. Begitu dibelah, rasanya manis dan legit loh. Daging buahnya padat serta creammy bikin ketagihan. Ga lupa pesan es kelapa muda 1 kasih gula jawa buat dimimik barengan...gluk...gluk.. gluk. Cuaca panas Gunung Pati Semarang ga begitu terasa setelah meminum es kelapa muda ini. Eh, pas ga sengaja mata memandang ke sebelah kedai duriannya, kulihat ada gapura desa yang menuju ke desa di bagian dalam. Setelah kutengok nama desanya adalah Sabrangan, Plalangan, Gunung Pati. Desanya Go Green. Wow...pantas saja dari sudut mataku memandang aja desa ini cantiknya bukan kepalang. Ada banyak rumah-rumah khas pedesaan dengan belakangnya pas itu udah jalanan ke perbukitan atau gunung kecil. Pepohonan dan bunga warna-warni membuatnya jadi mirip dengan pemandangan desa yang ada di film animasi studio Ghibli hihihi. Tapi sayang, aku ga jalan jauh masuk-masuk ke dalamnya sih. Soalnya Ramane udah memanggilku dari arah kedai buat melanjutkan perjalanan. Akhirnya aku balik lagi dan see you and bye bye Desa Sabrangan Plalangan...   









































Karena dirasa kami ga ada tujuan fixed mau ke tempat wisata yang arahnya itu bablas terus, maka akhirnya kami memutuskan untuk putar haluan atau kembali ke kota. Namun sebelum nyampe kota, kami sekali lagi harus melewati serangkaian pemandangan indah dulu seperti jembatan yang bawahnya merupakan kali berbatu besar, dan banyak pula pemuda yang memancing di sana, serta sentra makanan murah meriah seperti Soto Batok, Bakso, Pecel, dan lainnya. Nah, Ramane nyobain soto batok dan es jeruknya nih. Tapi aku ga hahahha. Aku cuma mau memotret suasana di sekitar sungai aja, ya sembari ngadem dan nungguin yang selesai makan, hihihi.






















Gerimis Malem-Malem Mbul Maem Malam di Nasi Ayam Bu Nyoto

Hari pun bergerak semakin sore. Dan di hari ke-2 ini, kami akhirnya memutuskan untuk ga langsung pulang ke rumah melainkan menginap semalam lagi di Semarang, tapi kali ini ganti penginapan yang daerah nggunung. Kemanakah itu? Ntar penginapan kedua aku review di post selanjutnya ya. 

Sekarang saatnya aku menuliskan untuk kulineran malam yang sehari sebelumnya harus ke-skip karena jetlag dan ketiduran hahaha. Nah, tapi berhubung malam minggu tersebut ndilalah hujan, akhirnya kami jadi binund lagi mau maem di mana. Ya, kalau Ramane sih tetep yang pasti-pasti aja kayak yang udah pernah kami cobain pas sarapan. Apalagi kalau bukan Nasi Ayam Bu Nyoto yang juga buka di malam hari, tapi masih tetap ngetem di tempat yang sama yaitu depan Sekolah Pangudi Luhur Santo Yusuf Semarang.






Pas mau ke situ, kami pikir karena hujan pastilah lebih sepi dari pada saat sarapan. Benar saja, sebab pas nyampe sana cuma ada 2 mobil yang parkir di sebelah mobil kami dan makan di tempat sembari menunggu hujan reda. Keduanya adalah pasangan sepuh Kakek Nenek, dan satunya lagi 2 orang Bapak-Bapak yang sedang santai ngobrol sambil menyantap gurihnya nasi ayam. 

Nah, tapi bedanya Nasi Ayam Bu Nyoto antara jam sarapan dan makan malam rupanya terletak pada kekompletan jumlah lauknya. Karena untuk pagi lebih lengkap dibandingkan dengan malam. Saat malam, yang aku liat waktu itu cuma ada sate usus, sate ampe ati, dan sate jantung. Sedangkan ayam kepala kesukaan Ramane ga ada hahaha. Adanya pagi...#pukpuk Ramane. Tapi ga pa pa. Maem nasi ayam komplet yang terdiri dari nasi, ayam suir opor, kuah, areh, sayur labu siem, semur tahu dan telor pindang manis aja buatku udah lebih dari cukup. Bahkan karena aku ga abis, maka Ramane bantu menghabiskan punyaku juga....sambil aku dibujukin tetep abiskan nasinya en didulang...padahal pipiku masih penuh dengan nasi dan telor pindang manis...#aduh pipiku tambah gembil bin tembem ini hahhahah...

















Nah, habis itu karena hujan masih mengguyur kota, maka rasanya kok mau jalan itu agak mager. Pengennya balik ke penginapan terus ndekem hahahha. Tapi sebelum itu terjadi, aku mencetuskan ide bagaimana kalau beli tahu petis aja karena sebelumnya aku dah cari rekomendasi makanan enak di Semarang salah satunya adalah Tahu Petis. Tahu Petisnya ada di mana? Ada di Tahu Petis Prasodjo, yang ada di Pujasera depan Alun-Alun Simpang Lima Semarang. Okey lah cabcus ke sana. Beli 30 ribu karena per pcs tahu petis harganya Rp 3 ribu. Jadi total dapat 10 pcs plus lombok cengisnya. Dimaem malam-malam, uhm...sedap luar biasa.









Pencarian Lunpia Sampai ke Gang-Gang Sempid, Akhirnya Nemu Lunpia Mini Adya Surya

Ini adalah hari ke-3 atau keesokan harinya. Dalam arti kata udah menuju pulang ke rumah dan sebelumnya mau beli oleh-oleh lunpia. Tapi sebenernya di hari sebelumnya masih ada 2 wisata yang sempat aku sambangi sih, cuma nanti tulisannya di luar post ini. Jadi tau-tau sekarang ceritanya udah mau menuju pulang dan singgah dulu ke sentra oleh-oleh lunpia.

Pas, awal-awal itu kan Ramane sempet ajakin aku nyari lunpia Sofyan. Cuma karena pas ngikutin gmaps masuknya ke gang-gang sempit dan susah dimasukin akhirnya ga jadi hahahahha...Balik ke kota lagi, cuma bingung mau ke lunpia yang mana. Akhirnya diputuskanlah buat nyari lunpia Adya Surya yang lebih minimalis, mungil jadi pas di perut kami yang kecil ini hahahha. Per pcs Rp 2000 harga udah naik tadinya Rp 1000, jadinya kami beli Rp 100.000,- dan puas banget karena rasanya yang enak. Kulit luar crispy, rebungnya pun manis dan basah, ga pesing sama sekali. Mantab!!!

















Okey, demikianlah jalan-jalan Mbul di Semarang Part ke-2. Masih ada 2 tempat wisata lagi yang Mbul kunjungi tapi nanti akan Mbul tulis di post di luat post yang ini ya. See you and bye bye....(tulisan dan foto jalan-jalan milik Mbul Kecil, www.gembulnita.blogspot.com)