Selasa, 03 Mei 2016

Dongeng Pak Janggut : Kemewahan Masa Kecil yang Tiada Cela



Kupikir tadinya ga ada negara lain selain Jepang yang bisa membuatku berdecak kagum dengan karya komiknya. Ternyata aku salah.Baru-baru ini aku bahkan kepincut sama komik Eropa yang jelas-jelas berbeda karakter dengan komik Jepang. Aku tuliskan keterangan 'baru-baru ini' karena agaknya aku lumayan kaget dengan asal muasal komik yang akan aku ceritakan berikut. Aku pikir tadinya komik ini berasal dari Indonesia loh, mengingat dulunya aku sering baca dari sisipan majalah Bobo (yang kala itu juga kupikir merupakan majalah lokal). Ternyata salah. Bahkan majalah bertagline 'Teman Bermain dan Belajar' ini juga nyatanya berasal dari Negeri Kincir Belanda.



Nah, karena sudah jelas clue-nya, maka yang akan aku ceritakan kali ini adalah komik sisipan Bobo yang menceritakan orang tua berjenggot putih, bertubuh kerdil, dengan baju hijau dan celana oranye berikut buntelan ajaib di pundak. Siapa lagi kalo bukan Pak Janggut. Dulu aku menandainya sebagai sosok pengelana tangguh yang berpindah dari satu negeri ke negeri lainnya. Semuanya asing. Tak jarang bila Pak Janggut kemudian bertemu dengan tokoh-tokoh baru beserta watak-wataknya yang kalo dari sisi pembaca anak-anak, semua terasa nyata.

Di satu waktu, bahkan Pak Janggut ini bisa berada dalam satu frame dengan tokoh pelengkap lainnya macam Pompit, Rika, dan Domoli yang merupakan anak-anak dari negeri peri dengan skill memplip-plap (bahasa lain dari menyihir) yang masih kacrut. Domoli apalagi. Di dalam cerita, anak 14 tahun bertubuh gempal dan berbaju hijau tua ini nyaris bertingkah selalu konyol dan kekanak-kanakan sehingga kerap membuat saudara dan saudarinya kesal. Dia sukaaaa banget memplip-plap kue, permen, atau sesuatu yang manis-manis gitu deh.

Pak Janggut sendiri sudah dialihbahasakan dari nama aslinya Douwe Dabbert yang merupakan buah kreasi dari Piet Wijn dengan penulis naskah Thom Roep. Pantas aja cetar ya Mbul, namanya juga kolaborasi. Maka jelas banget kalo hasil akhirnya akan seperfect itu dalam menangkap radar dongeng dunia yang bersifat universal.

Dari ke-23 judul yang ada, beberapa yang masih awet dalam ingatan diantaranya :

Kimono Hitam 
atau De zwarte Kimono (1995)

Kimono hitam nyaris menjadi versi terbaik dari Pak Janggut karena berhasil membuat memori intiku mengingatnya dengan gamblang. Maklum, saat membaca pertama kali, aku sudah memasuki usia SD sehingga apa yang diajarkan ibu guru langsung aku praktekkan dengan sungguh-sungguh. Apalagi saat itu, media buku cerita bergambar masih on stage banget di dunia anak-anak. Dengan gambar yang lucu-lucu, tentu tak mustahil jika gairah membaca mulai tumbuh dengan ranum-ranumnya.

Cerita ini mengambil latar negeri Jepang kuno dengan jalan cerita yang sangat menarik. Dikisahkan bahwa suatu ketika Pak Janggut dan Domoli akan menjemput Pompit yang sudah lama berkelana di Negeri Jepang. Dengan menggunakan kapal es berbentuk burung, mereka sudah tak sabar bertemu saudaranya ini yang dititipkan pada keluarga bangsawan di negeri setempat. Karena saking semangatnya, kapal yang mereka tumpangi dari atas awan ini tiba-tiba mencair dan jatuh ke danau. Saat itu pula, negeri yang sedang mereka jajaki sedang dilanda musibah berat yakni tentang keberadaan seekor naga raksasa yang mengganggu ternak warga. Warga yang meminta ramalan tetua dusun akhirnya mendapat pencerahan saat diumumkan akan ada 2 orang dari langit yang akan datang menyelamatkan desa. Yap, siapa lagi kalau bukan Pak Janggut dan Domoli.

Sebenarnya, Pak Janggut dan Domoli juga tak sengaja mentasbihkan diri sebagai pahlawan. Hanya saja karena sudah kepalang tanggung tau seluk beluk permasalahan di desa itu, maka mereka pun bertekad untuk membantu. Dengan bantuan buntelan ajaib, munculah hidung penunjuk yang bisa dijadikan alat penerjemah saat berkomunikasi dengan warga setempat. Hidung penunjuk ini hanya bisa dilihat oleh orang-orang tertentu saja. Dia suka adu mulut dengan Domoli karena dianggapnya Domoli ini anak kecil yang sok tau. 

Lalu bagaimana cara Pak Janggut melawan naga yang konon katanya bersarang di puncak bukit. Mulanya mereka diantar oleh seorang petani untuk memantau keadaan. Sampai di mulut bukit, petani tersebut pamit sembari mewanti-wanti agar Pak Janggut dan Domoli berhati-hati. Sebagai pelindungnya, Pak Janggut juga berharap semoga muncul benda penolong lain dari buntelannya untuk membantu memecahkan permasalahan ini. Ketika yang keluar adalah jarum kecil dan benang, Pak Janggut malah kemudian putus asa karena mustahil bisa meringkus naga dengan benda setipis ini. 

Namun hal tersebut bukan lantas menjadi hambatan. Dicobanya juga cara mengikat naga tersebut meski kemungkinan berhasilnya nol. Setelah bersusah payah meminta Domoli untuk menjaga agar jangan sampai naganya bangun, ia mencoba mengikat naga tersebut dengan membuat simpul-simpul benang. Celakanya hal ini malah membuat  naga bangun dan menyemburkan api. Bahkan mereka bertiga malah dibawa terbang, sampe kemudian terlepas di atas pemukiman warga yang ternyata adalah tempat keberadaan Pompit selama berada di Jepang.

Akhirnya Pak Janggut, Domoli dan Hidung Penunjuk pun bertemu dengan keluarga bangsawan yang menampung Pompit. Layaknya tamu agung yang datang ke istana, ketiganya dijamu secara mewah dan dipersilakan untuk menginap beberapa hari. Bahkan, Hidung Penunjuk malah bertemu mahluk sejenisnya tetapi dengan jenis kelamin perempuan. Hal ini tentu saja mengurangi rasa sinis Domoli karena setidaknya tidak akan ada lagi yang bakal mencerewetinya. 

Oh iya, sebagai bentuk penghormatan, Pak Janggut dan Domoli juga dipersilakan untuk berganti pakaian dengan kimono yang merupakan pakaian khas negeri Jepang. Waktu selesai ganti, Domoli marah-marah karena merasa salah dikasih baju. Masa ia dipakaikan  kimono wanita beraksen bunga-bunga? Karena merasa tak pantas, akhirnya ia ngibrit ganti lagi dengan kimono yang lain. Kali ini ia datang dari arah ruangan belakang yang ternyata menjadi tempat penyimpanan kimono kuno. Saat Domoli muncul dengan gaya konyolnya, Omika anak sang tuan rumah pun marah. Katanya, jangan berani-beraninya Domoli memakai kimono sakral itu (meski tidak dijelaskan apa alasannya). Benar saja, karena pola kimono ini aneh. Warnanya hitam dengan pola naga di belakang punggungnya. Omika kemudian menyuruh Domoli untuk lekas-lekas berganti kimono agar tak sampai kena tuahnya.

Permasalahan naga bukan berhenti sampai di sini saja. Pada tengah malam, Pak Janggut tiba-tiba terjaga dari tidurnya. Ia sayup-sayup melihat sesuatu terbang dari arah ruangan yang dipakai untuk menggantung kimono hitam yang dijajal Domoli tadi siang. Iapun merasa ada sesuatu yang ganjil. Diintipnyalah ruangan itu dengan rasa penasaran yang cukup tinggi. Ternyata, di muka pintu ia mendapati seekor naga berukuran kecil tengah berjalan hendak meninggalkan ruangan. Lama-kelamaan naga itu makin membesar-membesar-dan terbang. Ahhhh...ternyata pola naga yang ada di dalam kimono sakral itu benar-benar ada kaitannya dengan naga yang harus mereka basmi. Pak Janggutpun teringat pada jarum dan benang yang diberikan buntelan ajaibnya tempo hari. Rupanya itu jawaban dari isi buntelanku? Begitulah kira-kira naluri Pak Janggut. 

Yang aku sukaaaaa banget dari cerita ini adalah goresan kuasnya itu terasa nyataaaa banget. Aku seakan diajak berkeliling Jepang kuno dari setiap detil strip komik ini. Mulai dari lembah dan bukit, danau, sampe kebudayaan yang ada seperti kimono, payung kertas, dan adat-adat lainnya. Penggambaran alamnya juga terasa kuno yang artistik banget. Jadi berasa ga sia-sia dulu menemukan komik ini :D.

Putri Melati Centilaneh 
atau De dame in de Iijst (1991)

Dari judulnya saja sudah lucu ya. Hihi...Kupikir tadinya akan bercerita tentang seorang putri cantik yang anggun dan elegan...Ternyata bukan.

Suatu ketika, Pak Janggut sedang melewati pasar. Ada banyak keramaian di sana. Ada yang ngibul jadi tukang obat, adapula yang jual barang-barang antik seperti lukisan. Tanpa sengaja mata Pak Janggut mengamati gambar yang tertera dalam lukisan. Gambar madam buruk rupa yang judes dan angkuh dengan pakaian kuning yang terlihat norak. Tanpa diminta, pedagang tersebut malah memaksa Pak Janggut untuk membeli lukisan itu. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, akhirnya ia musti ngeteng-ngeteng lukisan itu sambil dicibir orang yang lewat. Soalnya gambarnya bener-bener jelek, jadi lukisan itu istilahnya dibully. Nah, siapa yang kiranya membully tadi, tanpa ampun lagi malah disihir aneh-aneh oleh wanita dalam lukisan. Serem ga?



Yang membuatku terus teringat dari seri Pak Janggut yang satu ini adalah lagi-lagi karena aku merasa tersihir dengan gambarnya. Pembaca serasa diajak berkeliling menikmati alur demi alur yang disajikan Putri Melati dalam lukisan yang kesannya nyebelin dan sungguh merepotkan Pak Janggut. 

Bagaimana tidak, ia yang aslinya merupakan pajangan di kastil Pompit karena secara tidak sengaja jatuh ke hutan akibat tendangan bola--justru tiba-tiba sudah berada di tangan seorang pelapak di pasar. Sayangnya, melihat gambar lukisannya sudah muak, makanya tak seorangpun mau mengadopsi lukisan Putri Melati ini hingga akhirnya sampai ke tangan Pak Janggut. Tadinya orang tua ini menawarkan untuk segera ia pulangkan saja ke tempat Pompit, tapi rupanya dengan pongahnya Putri Melati menolak. Ia ingin memberi pelajaran pada anak-anak yang telah merusak kanvasnya itu agar diomelin oleh ayah-ayah mereka manakala pajangan rumah hilang satu.

Pak Janggut yang ketiban sial (karena membawa lukisan) ini akhirnya harus melewati jurang demi sampai ke tempat Tuan Magenta sang pelukis asli untuk memperbaiki pigura dan kanvas yang telah usang. Nah, perjalanan ke Tuan Magentanya inilah yang membuatku terkagum-kagum akan imajinasi Piet Wijn.

Tiga Penyihir Usil 
atau De heksen van eergisteren (1986)

Kali ini Pak Janggut harus dibuat pusing oleh 3 penyihir wanita jelmaan salamander api yang menguasai jalanan umum sehingga jalanan tersebut tidak bisa dilalui orang. Penyihir ini suka mengecoh arah dan  membuat kebanyakan orang yang lewat jalan ini tidak bisa kembali dengan selamat.

Dulu, waktu masih kecil...aku membacanya dari majalah Bobo bendelan yang lawas-lawas. Kebetulan dapetnya yang tahun 80-an (sebelum eyke lahir tentu saja). Nah...jadi tuh abis baca ini aku ngerasa dongeng itu lekat ama tokoh-tokoh ajaib macam penyihir ini.  Dari segi dongeng, aku emang selalu suka ya ama cerita yang melibatkan penyihir. Entah kenapa rasanya penggambaran karakter penyihir terasa unik dan 'jahat' sekali--walau dalam cerita ini dibungkus dengan cara yang lucu. 

Aihhh, syenangnya..kalo hasil ngubek-ngubek toko buku bekas di Blok M nemu yang bikin nostalgia. Nanti aku review jenis komik jadul lainnya ya *joged-joged*.