Selasa, 14 Juli 2020

Sepincuk Nasi Penggel Khas Kebumen pada Suatu Pagi...





Pagiku dibangunkan oleh alarm handphone merek Samsung yang berbunyi riuh. Tepat pukul setengah 6 kala sang fajar menyeruak dari ufuk timur dengan semburatnya yang kemerah-merahan, tugas suci mengantarkan ibu ke kantor ada dalam genggaman. 

Aku dan Pak Suami yang kala itu masih berduaan (sebelum hamil si kakak), kebetulan memang sedang ada di rumah kulon. Jadi ketika Seninnya tiba dan ibu sudah harus kembali ke kantor, maka yang ada dalam pikiran adalah kami siap mengantarkan ibu kemana saja ketimbang ibu harus naik colt dan berdesak-desakan dengan anak sekolah atau orang-orang pasar. Jadi aku dan Pak Su okey saja karena kalau ibu sampai naik colt bisa dipastikan bakal ada acara ngetemnya segala, belum bolak-baliknya si colt yang harus menaikturunkan penumpang pada beberapa titik pemberhentian... Jadi, ya sudah kami hayuk saja, sembari pulangnya direkomendasikan Bapak untuk mampir ke nasi penggel, kuliner khas Kebumen yang legendaris itu. 




"Wes tahu krungu sing jenenge nasi penggel durung Nit?", Bapak menanyaiku suatu kali yang lantas kujawab dengan gelengan kepala.

"Apa tuh Pak, kok aku blom pernah krungu ya," ujarku penasaran.

"Kui ngger isuk, cedak kantore Ibu kan ono bakul sing rame banget. Dodolane sego penggel. Segone bunder-bunder ana kelan karo lawuhe. Enak nggo sarapan," Bapak dengan semangat menjelaskan.

"Bapak dah pernah njajal pa?"

"Bapak sih wes tau nyobo, rasane enak. Menowo koe karo Masmu tertarik njajal."

Baique...sepertinya ini menarik !




Maka, keesokan harinya...

Berkejaran dengan jam pagi yang lumayan ramai dengan anak sekolah beserta sepedanya, kami pun segesit mungkin melenggang kangkung di atas jalanan beraspal di kota yang berjuluk Kebumen Beriman ini. Targetnya kami nyampai sebelum jam 7 'teng'. Maklum, hari itu ibu akan ada apel pagi, jadi sebisa mungkin agak gasikan dikit dari biasanya. Untunglah sesampai di belokan yang mau ke arah terminal kepadatan arus kendaraan sudah mulai berkurang. Anak-anak sekolah juga sudah masuk ke gerbang sekolahnya masing-masing. Pokoknya jalanan jadi jauh dari kata rapat seperti halnya Senin pagi yang biasa kami temui di Tangerang (apalagi Jekardah tercintah yang muacetnya in everywhere and everytime). So, kami bisa sampai kantor mayan pagi.

Usai memastikan ibu absen di mesin pemindai sidik jari dan berbaur dengan rekan kerja lainnya, aku dan Si Mas pamit. Ga langsung pulang sih. Tapi melipir dulu ke Nasi Penggel khas Kebumen yang telah direkomendasikan Bapak. Maklum, Beliau kan tahu bahwa akhir-akhir ini, putri nomor duanya ini (baca : gua) terbilang rajin ngeblog dan berburu konten sekarang-sekarang ini, ahaha...., Jadi sekalian ngasih tahu tempat makan yang enak dan murah-meriah yang lumayan banget buat isi-isi blog. Maka, tanpa tedeng aling-aling lagi, kami langsung on the way menuju tekapeh yang kurang lebih berada tak jauh dari kantor Mamine, lebih tepatnya di sekitar Jembatan daerah Pejagoan (kalau ga salah namanya Dukuh Karangpoh). Ya, walaupun sebelumnya harus diwarnai dengan sedikit drama nyasar dulu karena dibingungin oleh GPS, wakakag..







Tiba di lokasi, yang ada adalah pemandangan khas warung-warung dengan menu sarapan yang langsung digerudug pembeli begitu masuk jam-jam buka. Udah banyak mobil dan motor parkir, Cuy ! Asli rame kali ini yang mau makan ahahaha...

Berbeda dengan tampilan nasi pada umumnya, nasi penggel ini sengaja dibentuk bulat-bulat seukuran bola pingpong yang ditata rapi dalam bakul dengan beralaskan daun pisang yang bersisihan dengan baskom-baskom berisi sayur maupun lauk-pauk pelengkapnya. Rasa nasinya sendiri gurih hampir nyaru sama ketan, walaupun efek stickynya ini berasal dari minyak kelapa yang dioleskan pada kedua telapak tangan tiap kali membentuk bulatannya.










Per porsi nasi penggel dihargai sekitar belasan ribu rupiah (tahun 2016-an), dan itu sudah termasuk ama teh manis hangat. Isinya terdiri dari 7-8 bulatan nasi yang bisa dinikmati dengan pilihan sayur lodeh gori aka nangka muda atau thewel, potongan tempe, tahu, kulit melinjo, dan daun singkong. Lauknya ? Ada tempe mendoan, tahu berontak, telur, daging, lidah, tulang muda, dan aneka jeroan sapi yang diolah dengan style gulai kikil sapi. Adapun penyajiannya yang menggunakan pincuk daun pisang semakin menambah aroma wangi pada nasi setiap kali disendokkan ke dalam mulut. 







"Nasine ketok pulen juga ya," aku berkesimpulan sembari menyikut Pak Su yang sudah lebih dulu memesan makanan padahal aku sedang sibuk futu-futu. Maklum kalau perkara makan, beliau ga banyak mikir kayak bininya ini.

"Uwes cepet Mbul, ndang pesen, ojo fota-foto wae. Mundak ilang nikmate. Ndang peseno, terus dimaem, mlebu perut, kenyang toh?"

"Hokaaaaaay !"

Kebetulan waktu itu kami berkesempatan mencicipi nasi penggel komplit. Jadi ada nasi, lodeh gori, lidah dan jeroan (handuk sapi alias babat). Gorengannya nyobain mendoan yang baru mentas dari wajan sehingga tepungnya masih baru. Warnanya kuning cantik--yang sepertinya ada jejak-jejak baluran kunyit di sana, mekrok, dan jambal-able banget tentu saja, haha. Menghayati nasi penggel, bulatan demi bulatan, sembari tenggorokan diguyur dengan kuah lodeh gori plus kikil dan jeroan sapi yang aduhai gurih, pun demikian dengan penutupnya yang berupa kemriuknya tempe mendoan...ah rasanya sedap betul. Terlebih makannya di emper warung yang mana bersisihan dengan kali dengan suara air yang bergemerujuk, juga jalanan pagi daerah Pejagoan yang bebas polusi, ah... nikmat mana lagi yang kau dustakan..






"Nasi Penggel Asli Gunung Sari, Pejagoan, Kebumen"
Jl. Suprapto No.7 dan Jl. Ampera No. 2, Pejagoan, Kebumen
Jam buka : 06.00-siangan dikit udah habis