Sabtu, 04 Maret 2023

In the Morning Dew....



Februari hujannya masih lembut. Angin dingin menyapa pagi hingga sore hari, lalu malamnya hujan deras dengan bonus bunyi-bunyian petir. Menjadikan pagi yang demikian basah semakin basah saja dengan kombinasi titik-titik air dari langit ditambah dengan embun. Bunga melatiku pun berayun-ayun di sisi genteng yang berwarna biru, dengan daunnya yang semakin kuyup. Sementara si 'Sepatu Merah Jambu' yang baru muncul satu masih kuncup malu-malu, menanti sinar srengenge tiba hingga kelopaknya yang kuncup perlahan-lahan mulai membuka.




"Selamat pagi!"

Selamat pagi dari kotaku. Apa yang aku lakukan ketika pagi hari? Am i rolling naked in the cold morning? Humming something with a half of eyes... #haha...Ngaco. 

Pagi hari adalah waktu yang paling sibuk buatku. Saat dimana aku dengan semangat menaiki tangga teras yang pijakan tengahnya berlubang. Membawa ember-ember cucian dengan hati-hati karena tangganya licin dan aku hanya mengenakan daster cekak selutut. Kuhirup udara pagi dengan penuh rasa syukur dengan nyawa yang baru saja kumpul setelah tidur dengan panjang seperti beruang di Subuh yang bergerimis. 





Kemarin, akhirnya farewell juga dengan Pak Tukang. Meski hari terakhir digunakan untuk men-training soal hape. Sebab mereka kurang fasih menggunakan Hape. Sebelum-sebelumnya hape mereka susah sekali untuk ditelpon. Meski yang satu pake merek Itel dan yang satunya lagi merek Infinix, tapi memang bukan tipikal yang biasa mengoperasikan HP. Kami ajarin dulu bagaimana cara ngerootnya dan menghapus aplikasi yang tak perlu, biar hape yang semula memorinya penuh itu bisa kepake lagi buat komunikasi. Maksudnya biar kalau ada yang kurang-kurang, bisa kami hubungi sewaktu-waktu. Dan akhirnya, pada hari itu keduanya ga nukang sepanjang waktu, melainkan sampai habis dzuhur saja, sisanya buat ngobrol-ngobrol santai sebelum akhirnya pamitan. 

Hmm....jadi sepi lagi rumahku, sebab hari-hari selanjutnya kami akan bertiga lagi di siang hari sampai jam 6 (petang). Tidak ada lagi tawa guyon khas Bapak-Bapak yang sebenarnya sudah usia sepuh karena beliau sepantaran dengan Bapakku. Tidak ada lagi yang bantu-bantu aku saat keteteran di pagi hari hingga akhirnya aku dibawakan sekantung bubur ayam untuk sarapan. Tidak ada lagi yang menembangkan lagu cicak-cicak di dinding pada A tapi cicaknya diganti jadi sesuatu yang bikin ngguyuw.... 





Entah kenapa kami beruntung sekali mendapatkan Pak Tukang yang rajin begini. Tak pernah mengeluh, tak pernah sambat atau ndersulo. Semua dijalani dengan happy, bahkan yang paling tua hobi menyanyi. Mereka bekerja dengan semangat.. dijabanin sampai magrib pun siap. 2 orang Tukang. Tadinya 3, dieliminasi 1. Om Suroto, Mbah To, dan Om Samsu atau biasa dipanggil Om Su. Sampai tiba saatnya 2,5 bulan pun berlalu. Dan kini semuanya sudah beres, menyisakan peer sedikit yaitu Aquarium yang entah diisi ikan kapan.

But, it's okay, karena malamnya kami bertamu ke rumah Pak Tukang. Kami bertandang sekalian niat silaturahmi sembari membawakan gula, teh, beras, dan juga minyak sebagai oleh-oleh. Tak lupa 2 pact brownis kukus untuk 2 orang-2 orang. Siapa nyana, sambutan yang kami terima sangat baik. Keduanya, Pak Tukang beserta istrinya masing-masing, biar kata sudah sepuh tapi sangat ngajeni kami yang terbilangnya masih muda seumuran dengan anaknya. 







Pertama, ke tempat Mbah To dulu yang periang. Di sini malah kami ndadak dibawakan kelapa muda segala yang bentuknya bulat besar. Kami ngobrol ngalor ngidul sampai malam hingga pulangnya dijajanke sekresek cemilan untuk dibawa pulang. Padahal kami niatnya mau silaturahmi aja malah jadinya ngrepotin...huhu #terhuraaa. 

Yang kedua, ke tempat Om Suroto. Beliau yang kemarin jadi kepala tukangnya, sedang Mbah To adalah Pak Kernetnya. Adapun Om Samsu dipekerjakan pada saat Mbah To prei karena sakit. Ke sana juga alhamdulilah sambutannya luar biasa baik. Bahkan jadi dapat cerita-cerita baru yang membuat aku pribadi semakin ternganga. Mungkin karena ada banyak cerita yang orang-orang ini alami, khususnya tentang kehidupan dimana tersimpan kisah-kisah haru di dalamnya. Om Roto dan istri yang kini tinggal berdua saja karena anaknya yang sudah usia kerja tiba-tiba dipanggil Oleh-Nya karena sakit paru-paru. Dan Mbah To yang hidup sederhana dengan istrinya yang sudah sepuh tapi tetap baik memuliakan tamu. Ah, malam itu kami pulang dengan perasaan hangat setelah sejam tertahan di rumah Pak Tukang karena hujan yang sangat deras.







Keesokan harinya, hari-haripun terasa semakin ringan karena rumah sudah dalam keadaan rapi. Atap-atap sudah tidak bocor lagi. Hanya ada sedikit bagian yang perlu diberesi, seperti mencuci piring dan gelas-gelas, mencuci baju, memindahkan alat-alat tukang, dan menanti tukang kayu, Om Saipul datang yang rencananya pada malam itu akan membawakan pesanan kami yaitu memasangkan kayu untuk perpustakaan mungilku di loteng kamar. Perpus yang khusus didesainkan untukku, menghadap jendela dengan kawat nyamuk yang mengarah ke langit. Ah, indahnya jika malam hari aku bisa membaca buku sambil rebahan dan memandang langit. 

Jumat malam, ada kenduri 40 hari di tempat Bulek Seni dengan menu masih sama seperti pada saat tahlilah petama, namun kali ini dengan snack roti sobek. Kami sendiri pesan kasur Inoac lagi yang ukuran big size kepada Mas Ang anaknya Bulek yang kapan hari mau kami modifikasi pakai potongan kasur lainnya hingga ukurannya jadi mepet-mepet sampai tembok. Biarkan saja kasurnya lapang, jadi aku bisa membayangkan itu sebagai kolam renang, karena kebetulan seprainya warna biru, hihi. Jadi aku berkhayal serasa sedang berenang di atas kasur hahaha... 

















Sate Padang, Sop Buah, Belanja Sayuran

Sabtu malam minggu cuaca mendung. Tapi aku happy karena aku hampir merampungkan setengah dari sisa pekerjaan pak tukang yang belum beres. Aku bersihkan cat-cat bandel yang menempel pada granitku dengan menggunakan thiner sampai warnanya mengkilap dan juga licin lagi hihi... Aku juga bersihkan hal yang sama pada keramik bagian dalam, utamanya yang di dekat kaki pintu yang telah dipernis. Sisa-sisa pernis yang belepotan menempel di lantai membuatku bersemangat menggosokkan amplas dan kain yang sudah diolesi cairan thiner itu hingga keramiknya jadi mengkilat. Aku kalau ngerjain ginian rasanya totalitas, hahaha.

Sampai akhirnya seorang Udha-Udha Sate Padang lewat dengan sepeda ontelnya dan menawari sate Padang karena biasa ngiter pada jam-jam malam. Tentunya dengan suaranya yang menggelegar tapi bersahabat. Aku pun segera bergegas dan minta diracikkan sepiring penuh sate padang dengan guyuran sausnya yang kental dan menindih potongan-potongan ketupatnya. 1 porsi isi 20 tusuk daging sapi dengan harga Rp 40 ribu. Lebih mahal dari sate ayam dan sate kambing ternyata. Ung.....sedap..




















Malamnya digunakan untuk belanja sayur. Entah kenapa belanja sayur malam-malam sudah lumrah di kotaku. Justru siang hari kedai sayur belum pada operasi. Baru bukanya itu sore sampai malam. Dapatnya malah yang segar sekalian. Agak jauh memang tapi lumayan dapat seikat kangkung, terung ungu, 2 papan tempe, jagung manis, bandeng, dan jantung pisang. Bonusnya sudah pasti the sweet things....Sop Buah Merah Jambu, hihihi...

morning dew = pagi yang berembun