Rabu, 25 Januari 2023

Sayonara Temanggung ^____^



Pagi itu Kota Temanggung diselimuti kabut tipis-tipis. Dari arah jalanan, 2 gunung kembar Sindoro Sumbing menyapa dengan srengenge pukul 7 pagi menyembulkan diri diantara jepitan sudut gunung dan ceriap burung-burung kayu yang mengudara. Pagi yang cukup sejuk, dengan air dari pancuran yang sedingin es. 




Aku sudah mencicipinya tatkala pada Minggu sore sebelumnya ikut pipis di tempat saudara sembari mengantarkan Bapak Ibu yang datang dari jauh. Saat ibu sedang ngobrol-ngobrol itulah, maka aku mengambil waktu cukup lama di kamar mandi untuk membasuh muka dan mencuci kaki. Airnya memang sedingin es. Tapi biarpun begitu airnya sangat bersih berasal dari mata air pegunungan. 

Yang aku salut dari kota ini adalah lingkungannya yang sangat rapi. Tak heran slogannya yang berbunyi Temanggung “Bersenyum” mencerminkan kondisi kotanya yang bersih, sehat dan juga nyaman untuk ditinggali.

Pepohonan masih banyak menaungi jalan-jalan beraspal alus yang membuat adem suasana. Di salah satu sudut jalan, tampak pedagang nasi kuning berteduh di bawahnya, sibuk menyiapkan panci-panci besar berisi sayur kuah dengan aneka lauk pauk pelengkap nasi. Kami sendiri hanya sekedar lewat karena sudah sarapan sejak tadi. Makanya kendaraan tetap kalem, berjalan terus menyusuri jalanan kota yang di kanan kirinya banyak dihiasi rumah kuno berarsitektur Belanda. Entah rumah warga, sekolah-sekolah atau kantor pemerintahan. Ada pula yang dialihfungsikan sebagai toko-toko kelontong. Salah satu rumah dengan daun jendela khas desain jaman kolonial dipadukan juga dengan sentuhan oriental karena di terasnya terpasang lampion besar berwarna merah sebagai pemanis. 





Kami lalu melewati pasar basah sejenak dan menemukan titik keramaian yang masih wajar. Di eper luar pasar, kudapati beberapa penjaja kue basah lengkap dengan etalase kaca berisi baki-baki kue-kue yang beraneka ragam warna. Kue-kue yang selalu menarik perhatianku. Menghibur mata ^_^. Aku hitung jumlah etalasenya lebih dari 3, berdiri diantara kerumunan aktivitas pelaku pasar lainnya. Dekat tukang burung dan jamu gendong yang dijajakan oleh seorang ibu berjarik lurik yang sedang menuang beras kencur ke dalam gelas belimbing kecil. Mengangsurkan gelas-gelas tersebut kepada tukang parkir dan seorang pembeli lainnya yang kelihatannya baru akan mulai belanja. Suasana pagi di pasar yang selalu hiruk pikuk, tapi entah kenapa aku selalu suka memperhatikannya. 

Lepas dari sudut sibuk kota, kendaraan terus melaju melewati serangkaian persawahan. Beberapa lahan didominasi oleh tanaman mbako, karena Temanggung memang terkenal dengan mbakonya. Temanggung = Kota tembakau. Tembakau dengan kualias bagus ada di sini, diantaranya bernama Srintil. Memang Temanggung adalah salah satu kabupaten yang mengandalkan sektor pertanian di dalamnya. 









Sedangkan industri yang menonjol adalah industri pengolahan kayu. Masyarakat lokalnya sangat bergantung pada iklim dan cuaca untuk mendukung hasil panenan Tembakau (khususnya untuk Temanggung bagian lereng Sindoro-Sumbing dan sebagian besar wilayah tengah dan selatan Temanggung) sementara Kopi (dan sebagian kecil cengkih) adalah komoditas di wilayah utara Temanggung. Berkembang pula sentra-sentra penjualan sayur mayur dan peternakan-peternakan ayam petelur. 

Tak terasa setengah jam berjalan, tiba-tiba mataku menangkap satu pedagang sirkaya berdiri di bawah pohon depan area persawahan. Ada pula pabrik yang berada nun jauh di sana. Sisi seberangnya lagi membentang persawahan serupa namun kali ini dengan pemandangan sedikit berbeda. Banyak burung kuntul yang terbang riuh rendah mencari makan, entah itu ikan-ikan kecil, kepiting, dan juga katak. Burung-burung dengan warna bulu yang indah...putih pada bagian body, dan cokelat krem pada bagian kepala. Kawanan yang riang, mentasbihkan diri bahwa area persawahan sini kuntulnya masih lestari, Subhanalloh. Sayang saja, kameraku tidak bisa menjangkaunya karena titik terbang dan hinggapnya lumayan jauh. Paling yang masih bisa terabadikan hanyalah pemandangan Gunung Sindoronya saja yang tampak gagah dengan sapuan kabut tipis di bagian puncak. Ya, agak tricky juga memotretnya karena beberapa kali kendaraan lewat menutupi body si gunung...













Ah, akhirnya aku kembali menyeberang lagi dan mewawancarai Mas-Mas berambut brindil yang merupakan pedagang buah sirkaya tadi. Aku menyusul Kakak A, Mas, dan Kakung yang sudah dulu mengobrol dengan si Mas Berambut Brindil yang ternyata perantauan dari Suroboyo golek panguripan di sini. Pantas saja ia tidak tahu pabrik apakah gerangan yang ada di seberang sawah. Kamipun membeli sirkayanya sebanyak 2 kg untuk selanjutnya dibawa pulang ke Prb. 

Sebenarnya di situ dijual lontar fermentasi juga. Lontarnya dalam botol air mineral ya, tapi kami ga beli. Yang ngeh pertama kali itu air lontar adalah bapak. Kebetulan bapak dulu sering beliin kami saat masih kecil-kecil dulu 1-5 buah lontar, yang isinya mirip kolang-kaling itu. Tapi, sekali lagi, di sini kami hanya beli sirkayanya saja. Lontarnya next time ya. Sekarang mari kita katakan dadaaaa dulu Temanggung. Sayonara, sampai kita berjumpa lagi, muaach.... ^_____^

3 komentar:

  1. Temanggung sepetinya banyak peninggalan jaman Belanda ya mbk..terlihat dari foto"di atas..jadi nuansa jadulnya kayak kota tua Jakarta itu yaa...

    BalasHapus
  2. What are those greenish fruit taste like?

    BalasHapus
  3. ternyata mas brindilnya wong suroboyo yo, sehat sehat terus mas Brindil, semoga usahanya makin lariss
    di Jember kayaknya ga ada musim sirkaya nih mbak, di Temanggung banyak banget ya
    malah sekarang di Jember lagi musim duren mbak

    BalasHapus