Assalamualaikum wr wb...
Oh ya, kali ini Mbul sepintas malah keinget sama memori masa kecil saat sowan tempat Mbah Supar, bukan Mbah langsungnya Mbul sih karena bisa dibilang Mbah Supar ini sedulur dari Mbah Kakungnya Mbul (atau Bapak dari ibunya Mbul). Jadi karena rumah Mbah Supar dekat dengan rumah Mbah Kakung dan Mbah Putri, maka ketika mampir ke tempat Mbah Kakung dan Mbah Putri, otomatis lewat juga di depan rumah Mbah Supar yang masih satu kecamatan ini.
Kalau dari Alun-Alun yang tiyap 17 Agustusan selalu ada embleg, ada penggokan seiring aliran kali dan itu tuh urutannya rumah Mbah Supar dulu, baru kemudian rumah Mbah Kakung dan Mbah Putri. Kenapa ada moment tersendirinya dengan rumah Mbah Supar ini? Karena ntah kenapa aku kayak kebayang lagi desain bangunannya kayak gimana. Ya, soalnya rumahnya itu beda dari rumah kebanyakan.
Rumah Mbah Supar adalah rumah klasik model bangunan jaman Belanda. Halamannya luas, ada pohon sawo apelnya. Sawo apel yang semula kupikir adalah apel. Tapi setelah dikasih tahu ibu bahwa itu pohon sawo apel, aku jadi teringat dengan pohon sawo apel yang ada di SD. Sawo apel atau sawo susu atau kenitu. Sawo yang kulitnya seperti apel, tapi begitu dibelah daging buahnya berwarna putih, ada bijinya hitam. Lumayan berair. Kayak apa rasanya? Pokoknya jelas beda lah dengan sawo biasa, sawo kecik atau sawo manilo, apalagi apel hijau hahhaha. Sawo ijo itu agak kecut. Tapi kecutnya itu ya kecut-kecut seger...hehehe. Apakah kulitnya bisa dimakan kayak apel. Kayaknya sih ga ya.
Nah, selain pohon sawo apel ini, di sebelahnya juga ada pohon mahoni dan bunga nusa indah yang kalau berbunga itu warnanya cantik sekali. Merah delima gitu. Terus halamannya juga resik karena pavingan. Daun-daun sawo apel dan bunga nusa indah yang berguguran rajin disapu hingga pavingannya selalu nyaman untuk duduk-duduk menanti sore di bangku semen yang ada di sana. Paling depan cuma dialingi tetehan dan tali putri.
Nah, kembali lagi sama halaman rumah Mbah Supar. Seperti yang aku bilang tadi bahwa rumah Beliau adalah rumah dengan bangunan era jaman dulu. Sepengamatanku kayak model rumah jaman belanda. Hal tersebut tercermin dalam bentuk jendela dan daun pintunya yang emang tinggi-tinggi banget, dengan langit-langit yang tinggi pula dan lampu gantung hias yang goyang-goyang kalau ada angin.
Kalau dari luar nih kayak berasa berada di kastil. Jadi penggambarannya itu bangunan berundak baru masuk ke ruang tamu yang temboknya hijau, bawahnya batu alam hitam putih. Lantainya masih lantai tegel (hitam). Dan jendelanya berdaun jendela yang bisa dibuka itu loh. Walau dalamnya bergorden renda.
Di ruang tamu, kursi rotan khas jaman doele menghias di sana berpadu dengan meja yang kolongnya bisa dijadikan tempat untuk menaruh koran. Jambangan bunga hias berada di atasnya bersisihan dengan asbak berbentuk kucing. Dinding ruang tamu dipenuhi dengan kristik pedesaan ala-ala Eropa, Juga lukisan pemandangan dan beberapa ukiran yang terpajang di almari kacanya. Kalau bertamu ke sini nih, paling khasnya itu disuguhi kue sus dalam toples kaca berkaki. Ada pula kue satu, kue serut (sagu), dan kue kering jadul bulat yang tengah-tengahnya ada hurufnya. Minumnya dipanjerin semangkok beling besar rucuh buah kweni manis atau sirop marjan tapi siropnya ga kebanyakan. Jadi masih merah muda gitu. Tapi ntah kenapa tetap saja istimewa. Menuju ke ruangan lain ada pintu kaca lagi yang dihias gorden berenda pula. Sebenernya bisa nglongok sih ke dalam kalau gorden rendanya tersingkap...ehm...tapi terus terang aku lupa-lupa ingat. Mungkin setelahnya ada bagian ruang makan dan juga dapurnya. Tapi kalau ga salah dapurnya ada di luar. Klasik banget lah pokoknya.
Rumah Mbah Supar juga bisa dibilang lumayan temaram. Tapi aku ngerasa saat sowan bareng Bapak Ibuku dulu dengan boncengan naik motor sore-sore sebelum magrib itu kok rasanya syahdu juga ya. Ntah kenapa rasanya indah aja diingat. Memang sekilas aku ga gitu ingat ruangan-ruangan lain selain halaman dengan pohon sawo ijo dan bunga nusa indahnya itu. Juga ruang tamunya yang kayak di buku cerita anak-anak. Tapi aku tuh kayak nyimpan memori ini lumayan kuat ketimbang pas dolan di rumah sedulurku yang lain.
Eh tapi bentar...aku juga sepintasan ingat ruangan lainnya deng, yaitu, kalau dari luar nih....akan ada kayak semacam pintu pagar rapat gitu (jejeran sama ruang tamu) tapi beda tembok. Nah itu yang akan mengantarkan pada area terbuka bagian belakang dimana pinggirannya dikelilingi oleh ruangan-ruangan lain yang dikostkan. Salah satunya yang ngekost di situ adalah Mbaknya Bapakku atau keluarga Budhe. Jadi pas sowan ke situ ya sekalian sowan tempat Budhe dan Pakdhe. Nah, ruangan-ruangan ini semuanya dari kayu. Jadi kesannya tuh kayak anget gitu. Terus depannya adalah area terbuka dan pavingan lagi dimana di dalamnya juga ada sumur kerekannya. Ya, kami kalau ke sana selalu sore dan disuruh jangan pulang dulu pas ngepasi magrib. Jadi biar sekalian sholat dulu, ngobrol, baru abis itu pamit pulang kalau udah ba'da isya. Memang waktu itu suasana masih peteng-petengan. Maksudnya jarak antar tetangga juga jauh-jauh soalnya di tengah-tengahnya selalu ada pekarangan ombo. Nah, di sebelah rumah Mbah Supar ini juga sama. Sebelahnya sebelum ada rumah tetangga, ada pekarangan cengkeh dan pohon-pohon buah yang tinggi-tinggi. Jadinya ya itu rada singup gitu. Apalagi waktu itu emang penerangan desa di kecamatan Mbahku masih minim. Jadi ya kalau pamit pulang, selalu dan selalu saat dibonceng motor sama Bapak Ibu, karena aku di tengah-tengah, kadang merem aja. Soalnya takut...Maklum waktu kecil anaknya penakut.