Rabu, 05 Juli 2023

Dan Kabut pun Turun Tipis-Tipis Pada Pagi Harinya.....


Assalamualaikum wr wb...
Pagi hari di desa, membuat bahasa tubuh langsung mengaktifkan mode sedekap. Dinginnya udara menyelinap masuk sampai ke tulang-tulang, membuat betah untuk menggosok-gosokkan telapak tangan sekedar untuk mencari panas tubuh yang tersisa. Baju hangat yang membungkus badan seolah tak ada artinya kecuali yang dirajut rapi dari benang wool




Samar-samar aroma teh datang mendekat bersamaan dengan penampungnya yang berasal dari gelas belimbing usai adonannya dijerang langsung dari dalam cerek yang ditangkringkan di atas kompor. Teh pagi yang biasa dibikin untuk sekedar menemani kue-kue dan camilan pelengkap tea time pagi-pagi. Di atas meja sudah terhidang bolu cokelat, gethuk lindri, keripik tempe, emping, dan juga pisang longok dari kebun. Biasanya Mbah Uti menyepakkan ini semua untuk pacitan tetangga yang mampir sekedar untuk menimbangkan padi atau juga gabah. Kemarin kami membeli salah satunya di toko roti kecil yang ada di dekat Stasiun Kutoarjo.

Musim kemarau memang identik dengan dingin. Angin kering berkelebat menerbangkan dedaunan jati yang hampir meranggas dan tersisa ranting-rantingnya. Pagi pukul 6 adalah saat dimana udara sedang cantik-cantiknya. Bangun dengan perasaan sempurna seperti ini seolah menjadi impian setelah semalam tertidur pulas seperti pindang di atas kasur inoac yang diletakkan di lantai ruang tamu, sementara kucing Paman Tetangga  tiba-tiba datang menyelinap dari lubang teralis atas gorden jendela lalu ndekem di sisi kasur. Kucing belang-belang kelabu, hitam, putih seperti permen blaster dan di lehernya dikalungkan kalung rantai kecil. Ia kemudian menemaniku membuat susu di dapur untuk Adik yang terbangun dan nglilir sebentar lalu kemudian tidur lagi.








Pagi kemudian menjelang. Meski langit masih gelap tapi hawanya itu nyaman dan menenangkan. Usai membuka daun jendela yang ada di kamar samping, kulihat siluet pohon ketapang masih tampak gelap di kejauhan. Belum nampak dedaunannya yang oranye dan juga merah kecuali ketika matahari sudah merangkak ke posisi yang lebih tinggi. Di bawah-bawahnya (maksudnya jarak belasan meter dari si ketapang yang jangkung itu), barulah tumbuh pepohonan lain yang lebih pendek namun rimbun dan rapat. Sebagian besar didominasi oleh pohon pisang kebun dan juga nangka. Rumpun bambu juga membentuk koloni tersendiri utamanya di dekat rumah-rumah warga yang mengangon kambing. Kandang kambing maupun biri-biri yang mereka pelihara biasanya ada di dekat pohon nangka, karena sebagian daunnya untuk pakan. Namun seperti halnya pagi itu, tentu para ternak belum ramai mengembik atau diangon menuju ke pematang sawah. Biasanya mereka akan mulai ke sawah kira-kira pukul 9-an untuk merumput. Bersamaan dengan bebek-bebek yang berbaris rapi mencari pakan secara alami sebelum nanti sore pulang kembali ke kandang.























































Kembali pada pagi basah pukul 6 lebih sedikit. Kubuka pintu samping mumpung semuanya masih pada tertidur seperti tembukur. Melungker, menggeliat ke sana kemari, merapatkan diri ke selimut tipis yang membungkus tubuh. Sudah ada nasi yang tanak di pawon Simbah dan kemudian oseng kikil sisa hari raya besar kemarin yang belum dimasak. Ini nanti akan menjadi teman oseng gurame pedas manis yang kubuat semalam yang rasanya legit menggigit walau sedikit spicy. Ada juga sayur yang ramah untuk semua yaitu bening gambas, bayam, dan seledri, berikut telur ceplok yang diambil langsung dari petarangan ayam kampung peliharaan.

Namun, karena aktivitas memasak (bagianku) sudah usai, maka yang kukerjakan selanjutnya adalah jogging di setapakan desa yang menanjak menuju alun-alun pinggir kali. Mumpung udara masih bersih betul dan kabut juga masih tipis-tipis menutupi sebagian area persawahan. Persawahan desa kami padinya telah menguning. Ya, sebagian warga sudah dalam tahap memepe gabah atau menjemur padi. Termasuk Mbah Uti yang menjemurnya di pelataran rumah. Sedangkan sebagian warga desa ada yang langsung menjemurnya di pinggir sawah. Walau terkadang si jago dan si babon iseng menotolinya hihihi. Namun aktivitas ini belum juga dimulai mengingat hari masih pagi betul dan udara sekali lagi dingin menggigit. 






























Aku kemudian naik ke tanjakan yang kini berubah menjadi jalanan tanah berumput setelah sebelumnya berupa setapakan. Pepohonan dan semak belukar menghias kanan kiri, menyisakan embun yang turun satu-satu dengan mode lambat. Pohon randu dengan biji kapuknya yang mekar juga menyembulkan sebagian kapas putih di dalamnya yang bergelantungan indah di tangkai-tangkainya yang panjang. Sebagian biji-bijinya yang hitam tercecer di atas rerumputan basah yang ada di bawahnya. Ada pula pohon sengon, trembesi, jati, dan satu yang membuat aku lumayan takjub kala berhenti di tengah jalan. Yaitu keberadaan pohon jambu kluthuk yang lumayan lebat dan satu dua cikal buahnya sudah mulai menampakkan pentilnya satu-satu. Bahkan ada pula yang sudah menuju masak. 

1 komentar:

Pipit Piharsi mengatakan...

Kebayang betapa segarnya udara pagi di sana. Btw, pengen gethuknya. hahahaha

Posting Komentar

I'm Mbul. Thanks for visiting here and dropping by. Your comments are always appreciated. Happy blogging ฅ(^・ω・^ฅ)