Heluw heluw heluuuuuw...
Masih edisi Purbalingga dimana Beby Mbul akan menceritakan kembali perjalanan kuliner yang udah pernah aku tuliskan di tahun 2017 tapi masih satu rangkaian dengan banyak tempat. Jadi khusus untuk kali ini (dan kemaren), mau aku bikin satu tempat-satu tempat aja biar bisa puas ngejembrengin fotonya gitu. Karena tulisan yang dulu fotonya masih kubikin grid-grid jadi kurang kentara itu gambar piring isi kuah gulainya.
Kelar check out dari hotel yang kami inapi pasca takziah dari tempat Bulek Banjar, kami pun segera melenggang kangkung ke jalanan tapi ga langsung balik Tangerang via Pemalang. Pasalnya kami masih mau isi bensin dulu alias sarapan. Memang sih udah breakfast dikit di hotelnya. Tapi belom puas, karena menunya ala kadar khas hotel melati, jadi mending dibaleni sekalian sarapannya. Ya kalik udah jauh-jauh nyampe Purbalingga masa ga nyobain makanan khasnya, kan siapa tahu nemu makanan enak di jalanan. Jadilah, kami luruuuuuus terus ke arah utara, malah kayak arah-arah mau ke Gunung Slamet. Karena tiba-tiba udara berubah menjadi sejuk, dan kabut mulai naik tipis-tipis. Bisa dikatakan aspal yang kami lewati udah mulai nampak bergelombang-bergelombang atawa naik turun bagaikan perosotan. Asyik sih, terlebih di kiri kanan jalan juga berbaris rapi pohon-pohon rungkut, yang persis kayak ada di hutan Virginia Utara dimana terdapat keberadaan manusia Wrong Turn dengan tawanya yang khas ... "jengkikikikiiikkk !!!!"
"Mas nek tau-tau ketemu Wrong Turn piye?"
"Sodorin Ubul lah yang lebih bergajih, nyooooooh !!!"
"Iiiiih kamu teh hahad..."
"Hedew kakehan nonton film sih kamu Mbul ! Lagian enek-enek ae pikirane !"
Lah gimana ndak berimajinasi yang tidak-tidak, wong sudah berulang kali kendaraan kami mblusuk-mblusuk hutan yang kelihatannya masih alami. Jadi rasanya kayak ada di film Wrong Turn. Mana pas area hutannya kejebak di jalanan panjang yang tiada berujung lagi #eaaa kayak lirik lagu. Sampai bulak-balik kami tanya GPSnya, tapi malah diputer-puterin segala. Aslinya sih kami yang belom tau mau makan dimana #jyaaah tabok. Masih ragu antara mau makan di warung A atau B. Tadinya mau ke soto klamud segala yang dimakannya langsung dari batok kelapanya, tapi itu ga merangkum keinginan semua. Alias cuma si Mas doang yang pengen karena emang dimanapun ditemukan lebih sukanya makan soto-sotoan. Sedangkan aku ? Aku ga suka soto, gimana dong... Hambok sekali-kali jangan soto-sotoan gitu, yang lain kek...kan soto itu kurang lebih sama yes rasanya....Beda di kuah doang. Ya maksudnya aku lagi bosen ama soto, pengennya makan yang lain. Lalu dia kalah suara. Akhirnya, setelah rembug gini-gini-gini, maka diputuskanlah kalau kami mau jalan ke Gulai Melung Bu Hadi yang sudah tersohor itu. Soalnya kata Mbah Google, dia salah satu yang menjadi jujukan kuliner di Purbalingga. Karena kami anak yang manis, ya akhirnya manut aja. Tapi, memang untuk mencapai ke sana, kami musti melalui serangkaian acara disasar-sasarkan dulu sama GPS. Makanya kayak ga nyampe-nyampe. Padahal kami budal check out jam 07.30 WIB dan baru sampai tekapeh sekitar jam 09.00 WIB.
Berlokasi persis di Dusun Melung (Melung Timur), Larangan, Pengadegan, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, Gulai Melung Bu Hadi tampaknya baru saja buka pada pagi itu dimana seorang wanita paruh baya yang kuprediksikan masih ada kerabat dekat dengan Bu Hadi sedang menakar porsi daging matang berwarna kecokelatan yang mengepulkan asap. Potongan daging tersebut diletakkan di atas timbangan supaya mendapatkan takaran yang pas untuk satu kali piring saji. Jadi ga kebanyakan sekaligus ga kesedikitan. Dagingnya sendiri berasal dari daging kambing muda--sesuai dengan taglinenya warung ini yang khusus menyediakan aneka menu, mulai dari gulai, dengkil atau kaki kambing yang masih berselimut lemak-lemak dan ditata menggunung dalam baskom seng berwarna putih dengan pinggiran merah, balungan, serta sumsum (yang cara makannya bisa disedot-sedot). Tampaknya kesemua menu tadi baru saja dimasak dari pawon atau yang biasa disebut sebagai dapur. Pawonnya masih beralaskan tanah, khasnya dapur orang jawa jaman dulu yang mana proses masaknya pun masih menggunakan tungku dan kayu bakar. Dari sinilah aroma lezatnya si gulai dan dedagingan lainnya bisa menguar tajam memenuhi seisi ruangan. Karena pawon tadi memang masih satu area dengan meja makan yang disekat dinding triplek. Ada beberapa pilihan meja makan sebenarnya, yaitu yang lesehan (letaknya di area teras rumah--bukan di warung makannya) juga meja kursi biasa yang dibagi lagi menjadi beberapa bagian. Ada yang 1 meja dengan 4 kursi biasa dan bisa dimasukkan ke dalam kolong. Ada pula meja dengan kursi panjang yang identik dengan style jawa klasik. Masing-masing sudah dilengkapi dengan menu tambahan kalau-kalau pelanggan masih ingin ngemil kerupuk, emping, atau kacang bawang. Ada pula peranti lain seperti garam, kecap, acar timun mixed wortel dan sambal yang tersedia dalam bentuk wadah-wadah kecil. Juga tusuk gigi yang berguna untuk membersihkan sisa-sisa daging yang terselip. Oh ya, dan jangan lupakan pula oleh-oleh yang sudah tertata rapi di etalase dekat kasir, yang dimaksudkan agar gampang terlihat dengan jelas pada saat akan membayar, siapa tahu ada pelanggan yang tergerak hatinya untuk membeli. Oleh-oleh ini ada yang bikinan sendiri, ada pula yang dipul dari supplier. Ada rempeyek kacang tanah, rempeyek kedele hitam, kopi lokal, juga madu yang diklaim asli hasil ternak tawon sendiri.
Kami beruntung bisa jadi pelanggan pertama pada hari itu sehingga ga susah-susah lagi menge-tag bangku yang sekiranya pewe untuk kami duduki. Kalau udah agak siangan dikit, ngalamat bisa ramai bahkan penuh atau pun waiting list. Kebanyakan memilih untuk makan di tempat, meskipun ga memungkiri ada pula yang dibawa pulang. Wong begitu kami datang, langsung ada rombongan bapak-bapak dan juga mas-mas yang makan di tempat sembari ngudud-ngudud. Akhirnya kami pilih meja kursi panjang aja yang berada di tengah-tengah #jadi Trumbul bisa puas berfuta-futu ria mengabadikan segala moment kontheeeend yang ada #ckckck. Sebenarnya ada banyak pemandangan menarik sih yang ada di warung makan ini. Mulai dari langit-langitnya yang masih meninggalkan kesan jadoel karena beratapkan genteng langsung tanpa plafond. Juga dindingnya yang sebagian dari triplek dan dihiasi beraneka foto dan piagam yang menunjukkan betapa masyurnya warung makan ini. Banyak sekali media nasional yang sudah meliputnya. Ada pula foto sang pengelola warung makan dengan para pesohor maupun artis. Kuperhatikan tempat tinggal sang empunya rumah alias Bu Hadi sendiri juga tak jauh dari situ. Beliau dan keluarga ada rumah satu lagi di samping warung makannya. Lebih tepatnya rumah dulu baru dimultifungsikan bangunan sebelahnya menjadi warung makan. Dan...bangunan berdinding hijau dan berlantai oranye ini tampak begitu bersahaja namun berhasil mengingatkanku akan kehangatan rumah nenek. Halamanya asri karena dihiasi bunga-bunga dalam pot selain juga terdapat kolam ikan di sekitarnya.
Pesennya apa saja ? Sesaat setelah masuk warung, memang sudah langsung bilang tulung dihidangkan 2 porsi gulai yang kuahnya memang dipisah dari daging kambing mudanya. Karbohidratnya kami pesan ketupat atau biasa disebut kupat yang walaupun per piringnya diiriskan satu-satu tapi ternyata porsinya menggunung juga #wareg Coy, haha. Sengaja libur makan nasi karena takutnya ga habis. Namun sebelum gulai sakseis mendarat di atas meja, Tamas ijin bentar ke toilet yang awalnya kubisikkan sesuatu yakni suruh motretin dan ngliput bentar area dapurnya. Ya tanya-tanyao dikit ama yang masak prosesnya bagaimana. Hahaha #kok prentah. Sayangnya karena cintakuw Beliau ini orangnya ga sememanfaatkan moment yang ada kayak si Trumbulwatie, makanya yang ada adalah habis beser doi malah cuma info oleh-oleh cerita doang TANPA DOKUMENTASI DAPUR, HUUUFT HAHA...#ngambeg deh gw. Ya gimana ga getun coba, lah wong yang diceritakan kayaknya menarik banget, kayak proses pemasakan si kambing dari awal sampai akhir. Proses pengolahan dengkilnya yang mana sampai dijajar segala lalu dipotongin 'mak-del-del-del' dengan menggunakan pisau super tajam menyerupai golok atau pedang, lalu perebusan kuah gulai dalam panci-panci gedenya, pengeringan segala macam bumbon yang diperlukan mulai dari daun salam, serai, jahe, lengkuas, merica, cabai, bawang merah, bawang putih, kunyit, ketumbar, dll.
"Wuih pokoknya apik banget deh Mbul, coba kalau kamu tadi ikut ngeliat terus motret step-stepnya ! Dijami kerennnn !" , Tamas makin mengomporiku tapinyah dia ga motretin buatku gitu loh, kan ble eeee tenan#tjipok juga nih, haha...
"Wuih pokoknya apik banget deh Mbul, coba kalau kamu tadi ikut ngeliat terus motret step-stepnya ! Dijami kerennnn !" , Tamas makin mengomporiku tapinyah dia ga motretin buatku gitu loh, kan ble eeee tenan
Yah, demi meredamkan emosi Beby Mbul, akhirnya kami melupakan sejenak eyel-eyelan ini dan kembali fokus pada makanan yang ternyata sudah terhidang di atas meja. Dua piring gulai dengan kuah terpisah. Sedap ! Kuahnya sepiring ceper berisi potongan tomat segar dan daun bawang. Teksturnya kental, warnanya kuning kunyit. Kesegarannya akan terasa saat diblaurkan dengan racikan acar timun mixed wortel juga sepercik sambal tergantung selera. Daging kambingnya sendiri dipotong dadu tapi dengan ketebalan yang lumayan. Ada kali seukuran ruas ibu jari. Warnanya yang kecokelatan terasa manis kecap dan campuran bumbu-bumbu pendukungnya. Perpotong daging disendok dengan kupat sambil dibecekin kuahnya, rasanya nikmat sampai ke ubun-ubun #ya karena efek ngelih juga sih hahahahha.... Nyatanya walaupun porsinya terbilang big size, tapi abis juga itu gulai dengan kupatnya.
Belum puas dengan 1 menu, Tamas masih pengen nambah lagi bagian dengkil atau kaki kambing yang masih ada bagian kenyil-kenyilnya. Tadinya malah dia mau nambah balungan atau sumsum juga, tapi kuwarning dengan kode plerak-plerok yang mengisyaratkan : "Kira-kira yang udah ada aja bisa abis apa ga?" Jangan sampai mubajir dong ah, hahahha #bilang aja takut mahal Mbuuuulll. Hahahhaha... Tapi ya bener kan kalau kebanyakan kambing ngalamat bisa kliyengan. Jadi mending secukupnya aja. Meskipun demikian memang pas kucobain dikit ((( hasil disuruh ga usah malu-malu buat ngicip ama Tamas ))), ya ternyata enak juga. Teksturnya kenyil-kenyil tapi padat. Bumbunya pun meresap ga kalah sama dagingnya. Dari segi harga, juga lumayan murceu...All in sudah dengan dua botol freshtea hanya Rp 58.000,- sadja. Sebuah harga yang cukup mursidah bukan untuk kategori daging kambing muda tebal-tebal yang jarang kujumpai saat kulineran menu kambing di area jabodetabek.
"Gulai Melung Bu Hadi"
Dusun Melung, Larangan, Pengadegan, Melung Timur, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah 53393
Jam buka : Senin-Minggu (08.00-19.00 WIB)