Assalamualaikum wr wb...
Hujan yang mengguyur Kota Semarang kala itu mengingatkanku pada 2 bait lagu 'Jangkrik Genggong'. "Semarang kaline banjir, jo sumelang ra dipikir." Benar-benar derasnya ga ketulungan walau untung aja ga sampai banjir waktu aku nyampe sana pada penghujung Desember 2020. Waktu itu memang belum dicanangkan PSBB se-Jawa Bali sehingga aku masih bisa mengunjungi orang tua yang belum aku dan Pak Su tengok sekian tahun lamanya.
Terlebih, di sela-sela libur panjang itu, ternyata ada beberapa hari nyempil yang membuatku bisa sekaligus eksplore Semarang. Jadi ibarat kata sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui. Sebenarnya bukan dalam rangka libur juga sih. Melainkan ada suatu urusan yang mau ga mau aku harus ke sana. (((Dan mengatakannya justru happy sekali ya Mbull!!!! Yaiyalah karena pada akhirnya aku jadi ada agenda jalan-jalan #minta ditjipok basah ga sih ni admin))).
Sore itu, belum sampai bedug magrib, tapi langitnya udah gelap aja sementara perut belum keisi satupun makanan sedari siang. Perjalanan pada hari sebelumnya yang memakan waktu 4 jam nyaris membuatku belum sempat kulineran. Cuma memang semalaman Pak Suami tercinta geradakan nyari makanan entah kemana yang ujung-ujungnya balik lagi ke titik semula hanya untuk membeli nasi goreng yang berseberangan dengan sebuah Panti Katolik. Sebuah tempat yang sangat dekat dan bahkan dilewati berkali-kali. Tapi nasi gorengnya enak ya...Khas Semarangan. Seperti ada model gongso-gongsoannya gitu.
Singkat cerita, ketika bunyi perut sudah semakin ga bisa diajak berkompromi, terlintaslah ide untuk mencoba kuliner senemunya aja. "Mau cari kemana?" Deret nama kuliner khas yang sering disebut dalam portal online dengan judul bombastis pun langsung terlintas dalam kepala. Ada soto bangkong, babat gongso, nasi goreng babat, gudeg koyor, atau apa ya? Aku masih bingung. Sumpah blank, karena baru sekali itu aku sowan Semarang. Biasanya cuma lewat tol bablas Solo Jogja lalu tahu-tahu nyampe rumah. Dan baru kali ini aku ngendon lama di pusat kotanya. Ga cuma maknyuk abis itu pulang. Dan berkat itu pula aku jadi tahu kalau kota ini identik dengan kuliner babatnya. Cuma aku belum ada 'feel' untuk nyobain babat pada hari itu sih. Pengenku sesuatu yang lain. Yang otentik, tapi juga aesthetic ketika difoto-foto untuk selanjutnya kutaruh di blog. Jadi fixnya mau dibawa kemana kaki ini akan melangkah? Ya akhirnya Mbul pun pasrah saja saknemune opo, yang penting hasrat ngelih harus segera dituntaskan.
Tak terasa kendaraan sudah muter berulang kali di pusat kotanya namun perasaan hati masih galau mau menjatuhkan pilihan kemana. Dan, ketika sedang bingung itulah, tiba-tiba mataku menangkap sebuah plang rumah makan spesialis kambing-kambingan yang posisinya berada di seberang jalan. Namanya Sate Kambing & Thengkleng Rica-Rica Pak Manto yang tampak merah membara diantara rumah makan lainnya yang mengapit di kanan kiri. Waktu itu, kulihat dari kejauhan seorang bapak tengah beraksi menggoyang wajan yang berisi cacahan daging kambing berikut tulang-belulangnya untuk isian thengkleng yang di bawahnya menyalak pijaran api dari sebuah tungku tradisional. Cacahan kambing itu tampak begitu menggugah selera karena warnanya yang gelap disertai kuah yang pekat. Semerbak harum bakaran segera memenuhi ruangan dengan disertai dengan asap yang menghalangi pandangan mata. Kupikir rasanya pastilah mantab. Pemakaian tungku inilah yang sekiranya mampu menerbitkan sangit namun terasa nikmat.
Ya, tanpa pikir panjang lagi, aku langsung memutuskan untuk icip-icip ke sana. Karena sepertinya lumayan terkenal. Intip sedikit di internet, ternyata kuliner yang satu ini adalah kuliner asli Solo, tapi kemudian buka cabang di Semarang. Jadi ga khas-khas bangetnya kota ini sih sebenarnya. Cuma karena judulnya 'kambing' ya aku tetep mendekat. Segala hal yang berhubungan dengan kambing aku doyan. Disate, ditongseng, digulai, dithengkleng, hayuk. Asalkan setelahnya puasa kambing beberapa hari biar ga kolestrol tinggi. Ah, tapi aku belum begitu merasakan ciri-ciri orang yang kena kolestrol tinggi sih. Ya jangan sampai sih ya. Kan aku masih muda.
Kucluk...kucluk...kucluk tibalah diriku dan suami serta kedua beiby kami sudah ngendon aja di dalam Rumah Makan Sate Kambing & Thengkleng Rica-Rica Pak Manto ini setelah sebelumnya pesan 1 porsi sate kambing dan 1 porsi thengkleng rica-rica. Tadinya aku sempat galau tuh karena kepengen nasi goreng kambing. Tapi karena judul utamanya adalah sate dan thengkleng, jadi nasi goreng kambingnya aku cancel. Toh semalam juga udah nyobain nasi gorengnya, walau ga ada unsur kambingnya sih, tapi menurutku rasanya beda dari nasi goreng tek-tek yang biasa kujumpai di Jabodetabek. Minumannya, seperti biasa es teh manis dan es jeruk saja. Ya, biar seger gitulah. Karena kuprediksikan rasa thengklengnya itu ada hawa-hawa pedasnya. Benar ga-nya, mari kita lihat pada penilaian jujurku berikut ini ya, hihihi.
Sembari menunggu proses pemasakan menu yang sedang digarap oleh sang juru masak, kuamati potret rumah makannya ini berkonsep kedai permanen dengan meja kursi berkaki yang dibagi menjadi 2 ruangan. Satu ruangan ber-AC, dan kedua ruangan tanpa AC. Kami jelas memilih yang opsi pertama biar makannya lebih pewe (posisi wuenak). Walaupun ya...tetep saja andai ada area lesehannya mungkin akan lebih asyik lagi, hihi #sekedar masukan :D.
Untuk dapurnya sendiri, dia ada di depan ya, jadi biar pengunjung bisa langsung menyaksikan bagaimana kepiawaian sang juru masak dalam hal mengoprek wajan dan kawan-kawannya itu yang seringkali diiringi dengan atraksi membentuk kobaran api besar. Aku sendiri kala itu lumayan tertarik untuk mengabadikan moment masaknya, hingga pada akhirnya aku mencoba untuk minta ijin apakah mereka berkenan untuk kupotret. Ternyata mereka fine-fine aja, dan itu yang membuatku semakin antusias karena hitung-hitung sekalian kuperkenalkan kepada teman-teman pembaca yang lain supaya tahu ternyata di Semarang ada kuliner enak lho...monggo pinarak mampir.
Nah, menariknya lagi adalah, sebuah rak kaca besar yang berada di belakang meja tungku sebelum tangga menuju kasir dan area makan. Karena di situ terpampang berbelas-belas piring beling yang sudah diisi dengan potongan-potongan daging kambing berbentuk ranjau karena tulang belulangnya masih diikutsertakan dan bakal menjadi isian thengklengnya. Piringnya itu dijejer-jejer, ngantri nunggu untuk dimasak di atas bara panas. Juga satenya. Waduh!!! Wangi bakarannya menusuk ke jantung....hidungku yang sedikit agak bujel ini, hahahaha...
Kembali ke meja kursi yang sudah aku tag tadi. Meja dan kursinya itu agak panjang ya, khas meja kursi kedai sate memang. Dan di atas mejanya sendiri tersedia berbagai macam cemilan (aku kurang tahu sih ini cemilan titipan atau produksi sendiri). Yang jelas ada satu cemilan manis yang menarik perhatianku yaitu Widaran Eggroll dengan dua rasa, cokelat dan juga hijau (mungkin rasa pandan kali ya). Tapi bentuknya sih mirip dengan gabus keju, cuma yang ini modelan legi.
A few minute later....satu persatu pesanan pun mulai berdatangan dan kesemuanya membuatku agak terkejut karena seperti yang kukatakan tadi bahwa porsinya itu....Gede bangat 😳😳😳😱😱!! Potongan daging kambing berikut ranjau tulangnya maksudku yang gede-gede. Ya, terutama untuk si menu thengklengnya ini sih. Kalau satenya masih umum. Seporsi masih kitaran 10 tusuk. Cuma ya itu emang potongannya gede-gede.
Okey, kureview satu-satu dulu ya supaya kalian pada tau betapa enaknya ni sate dan juga ni thengkleng
Pertama, sate kambingnya. Dia pakainya bumbu kecap ya. Potongan dagingnya gede-gede. Dan teksturnya itu empuk. Ada selipan gajih diantara potongan dagingnya. Tekstur juicy dari si daging dipadu dengan tekstur kenyal dan gurih dari si gajih menjadikan sensasi saat mengunyahnya sampai bikin ku hampir ga bisa berkata apa-apa lagi. Enduuuuulita sekali pemirsa!!!! Terlebih saat kutambahkan dengan guyuran sambal kecapnya sebelum tu sate beneran masuk ke dalam mulut. Nyemmmmm!!!! Legiiit banget. Bumbu kecapnya ini yang aku suka karena isiannya banyak. Ada irisan bawang merah yang bentuknya gede-gede, bahkan sebagian hanya dalam bentuk siung yang diparuh menjadi 2, irisan kol/kobis, irisan ranjau rawit, juga tomat yang atasnya diuwuri merica bubuk. Menjadikan ni sate ketika diublek dengan si bumbu kecapnya terasa kaya. Pedas merica bertemu dengan ranjau rawit? Udah deh...perang! Sama-sama pedes membakaaarrr 🥵🥵🥵. Tapi masih ketolong karena ada guyuran kecapnya sih yang which is aku suka karena irisan kol/kobis dan shallotnya ga pelit. Full memenuhi isi piring. Aku kan suka kubis dan bawang merah ya kalau dalam sajian sate. Terasanya itu bikin kranci-kranci gimana gitu. Manteb banget memang.
Selanjutnya adalah sang primadonanya yaitu thengkleng rica-rica kambingnya yang tak kalah munjung sepiring full. Wow! Wow! Wow!!! Ingin kuberkata wow sambil pasang mata belo seperti Puss in Bhoots yang minta ditayang-tayang #halah.....karena memang porsiannya udah macam makan wong seerte...buesar sekali. Si thengklengnya ini balungnya masih gede-gede. Dan dia warnanya gelap pekat ya. Di dasar tumpukan cacahan dagingnya terdapat irisan kol/kobis yang kurasa jauh lebih banyak dari si satenya tadi. Rasanya sendiri bagaimana? Gilllllls...sampai merem melek deh aku dibuatnya. Ga ngadi-ngadi enaknya Sayang...... Serius!!!! Buat potongan lidah Jawa yang demen manis pedes, aku suka banget ama rasa otentik dari si thengkelngnya ini. Pedesnya dominan berasal dari lada hitamnya sih...jadinya beneran nyegrak dan seperti naga yang hendak menyemburkan api. Wuuush!!!!!! Pedeeeeees desss desss...hotttttttt.....tapi tetep ya cuy, hauceuk. Gimana ya mengatakannya. Aku suka banget sih ama modelan pedesnya ini. Terlebih makannya sambil diisep-isep sampai ke njero balungan...Wuihhhh! Kagak nahan saiaaaa...emmmb! Manteb banget. Abis diisep-disep, dikoretin tuh kuahnya yang kentel, trus sambil disendok pula pake nasi dan juga irisan kol/kobis, uh dijamin lu olang bakal melayang sampai ke langit ke tujuh turunan tujuh tanjakan!!! #sawry lebe jilid 3. #biasa aku memang orangnya hiperbol hahaha. Ya, tapi balik lagi ke masalah selera sih. Buatku ini pancen seleraku banget. Seleramu bagaimana. Aku tak tau 😂🤣😋.
Untuk minumannya sendiri, kupikir standar ya kayak es teh manis atau es jeruk pada umumnya. Sama lah kayak resto lainnya yang menawarkan menu beverage ini. Cuma ya memang kuakui seger banget. Gimana ga seger wong kelar berjibaku dengan pedesnya si thengkleng dan padetnya si sate, tu kerongkongan langsung diguyur pake something yang seger-seger kayak es teh manis dan es jeruk. Ya, pas banget memang.
Untuk harganya sendiri...duh ya..kalau urusan bayar-membayar Beby Mbul tiba-tiba menjadi grogi, segrogi kalau disepikin ama si doi#hellaaaw...udeh sonoh mbayar kamu Mbul! Okey, untuk rate harganya sendiri, kisarannya ratusan ribu misal yang makan 2 kepala, tapi ya tergantung sih pesennya apa aja. Yang jelas ada harga ada rupa. Berhubung menurutku rasa makanan di sini whort it, ya aku ga masalah sih dengan harganya, xixixi. Jadi 2 menu itu kurang lebih habis berapa...kayaknya...ini kalau ga salah ingat ...mungkin sekitar hampir Rp 175 ribuan (kayaknya lho ya...soalnya kalau urusan bon-bonan aku memang sering lupa.......Ngendikane Pak Suami alias Mas Garwo, ga usah terlalu dilikirkeun, soalnya urusan bayar-bayar adalah dia hihihi, iya lah Beliau kan pecinta menu olahan kambing...ya pokoknya biar jadi daging ya maeme lewag leweg aja pemirsa hihihi)
Ya pokoknya seperti itulah. Biasa ngecepres dulu pagi-pagi biar kegiatan nuangin 2000 kata perhari tersalurkan dan setelahnya bisa kutinggal agak lamaan.
Okey, segitu dulu jelajah kuliner si Mbul kali ini. Kalian merasa kemlecer ga? Kalau iya, silakan icipin kalau pas mampir Semarang ya.
"Sate Kambing & Thengkleng Rica-Rica Pak Manto"
Jl. MT Haryono No. 850, Semarang, Jawa Tengah
Jam buka : 09.00-21.00 WIB