Senin, 05 April 2021

Dawet Hitam Jembatan Butuh




Hallo Teman Teman....
Assalamualaikum wr wb....

Ga ada habisnya klo aku bicara tentang minuman khas dari kampung halaman kami yang bernama “Dawet Ireng Jembatan Butuh” ini. Terletak di timur Jembatan Butuh (lebih tepatnya setelah Pertigaan Klepu) atau yang sekarang dikenal dengan Jl. Nasional No.3, Butuh, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, dawet ini memang sudah cukup moncer di kalangan pecinta kuliner lokal, umumnya setelah diinfokan lewat mulut ke mulut. Coba aja kalian googling sendiri, betapa banyaknya media massa yang telah mengulasnya lantaran cukup fenomenalnya rasa dawet ini, di samping memang posisi kedainya yang cukup strategis. Karena, dia berada di pinggir jalan utama penghabisan antara batas Kebumen-Kutoarjo sehingga banyak dilalui oleh kendaraan bermotor maupun roda 4. Jadi misalkan kalian sudah melihat keramaian pada sebuah pendopo kayu terbuka yang berlantaikan semen tegel–sementara di depannya mangkal pikulan dawet, gentong, serta papan nama bertuliskan “Dawet Ireng Jembatan Butuh Pak Wagiman”, maka sudah bisa dipastikan bahwa kalian telah sampai pada salah satu warisan kuliner daerah yang legendaris itu.



Ya, dawet dengan teknik pewarnaan khusus menggunakan air perasan merang (sekam padi) bakar ini memang lain dari yang lain. Kalau biasanya dawet memiliki warna cerah seperti yang terjadi pada Dawet Ayu Banjarnegara yang berwarna hijau, maka si dawet ireng ini memiliki warna yang cukup gotik, yaitu hitam kelam. Teksturnya kenyal, cenderung rengket-rengket antar bulirnya serta rasanya ‘kretes-kretes’ karena menggunakan tepung sagu dengan komposisi dawet : santan plus juruhnya (gula merah) 3 : 1. Yup, klo biasanya dawet lainnya banyakan porsi di airnya, maka untuk dawet ireng ini justru kebalikannya. Dalam 1 mangkuk yang dihargai Rp 4000,- ini (terakhir beli sih segitu), kalian akan disuguhi adonan dawet yang lumayan melimpah ketimbang santan maupun juruhnya.

Sebenarnya perkara komposisi antara dawet dengan santan dan juruhnya ini ga melulu saklek harus begitu sih. Bisa direquest juga andaikata kalian senangnya sama yang model banjir santan, maupun sebaliknya. Seperti versi dawet favorit masing-masing dari kami yang notabene berbeda model. Kebetulan Pak Su suka yang santennya sedikit, sementara aku suka yang santennya banyak. Juruhnya juga aku suka yang tumpah-tumpah bahkan sampai kuahnya berwarna cokelat kental. Apalagi biasanya aku menambahkannya dengan variasi tape uli yang disuguhkan lewat bungkusan plastik.





Si tapenya ini karena difermentasikan sampai jadi dan berair maka rasanya cenderung manis menggigit. Satu bungkusnya lumayan agak banyak ya. Antara 4-5 takaran sendok bebek gitu deh. Pokoknya bisa mengisi space antara padatnya dawet, santan, sama juruhnya. Bukankah banyak kombinasi isian menjadikannya makin istimewa ? *haiiiish kata-katanya* :-D.

Untuk menghasilkan sensasi ndawet yang berbeda, maka satu-dua bungkus tape biasanya aku buka lalu isinya aku ceburin langsung ke dalam mangkuk. Nah dari situ, timbullah sensasi mbedani yang aku bilang tadi dari aktivitas mengudap dawet. Karena rasanya …. beggh….rasanya mantab djiwo, Cuy !! Ada seger-seger, dingin plus nagih gimanaaanya gitu. Iya, jadi salah satu pembeda antara dawet Butuh dengan dawet lainnya adalah keberadaan si tape uli itu tadi. Nah, konon si tapenya ini yang bikin aroma dawet semakin wangi.






Selain tape uli, cemilan kacang bawang juga dijual sebagai sarana klethikan di sini. Ibarat kata, kalau kenyang nyeruput beveragenya (eh dawet itu masuknya di food apa beverage sih, binund aku qaqaaaa), kudunya sih ada 1-2 jenis camilan untuk mengimbangi. Namun, aku jarang membelinya karena yang biasanya ngemil itu justru Pak Su. Entah kenapa kalau ada kacang bawang dimanapun ditemukan, pesti yang ada hasrat pingin ngemil adalah dia, hahahaaa…Terus kalau alpha dari pengawasan, biasanya bisa habis 2-3bungkus tuh, wkwk.

Oh ya, lagi-lagi karena sifatnya order by custom, maka bisa pula pesan apakah santannya mau dicampur langsung maupun dipisah andaikata minumnya mau nanti-nanti. Jadi kualitas rasa bakal ga berubah karena perkara santan menjadi kecut akibat keduanya ga dipisah. Lebih segernya lagi diminum dalam keadaan dingin atau kalau dibungkus ya syaratnya dimasukin ke dalam kulkas.





Untuk ukuran mangkuk, bisa kubilang sekilas terlihat mungil ya, namun begitu dawet ada di tangan, perasaan yang akan timbul dalam benak kalian pasti akan berubah…karena eh karena, setelah diamat-amati ternyata seporsinya itu cukup mengenyangkan juga loh. Bahkan kadang aku merasa kayak terburu-buru gitu kalau pas makan di kedainya langsung sehingga pada akhirnya aku lebih memilih opsi untuk dibawa pulang saja agar lebih kyusuk memakannya di rumah. Ya, walo ga menutup kemungkinan sama nikmatnya ketika makan di tempat karena pemandangan sungai di sisi barat, bahkan kadang sambil melihat orang memancing serta hembusan angin sepoi-sepoi karena desain pendopo yang begitu adem.












"Dawet Ireng Jembatan Butuh"
Jl. Nasional No.3, Butuh, Kab. Purworejo, Jawa Tengah
(Dari arah Kebumen, bablas ke timur sampai pertigaan Klepu–melewati sate tupai–ketemu Jembatan Butuh)
Jam buka : 09.00–18.00 WIB







Tidak ada komentar: