Senin, 21 Februari 2022

Review Buku : Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi (Yusi Avianto Pareanom)




Oleh : G Nita


Raden Mandasia 
Si Pencuri Daging Sapi
Karya : Yusi Avianto Pareanom
Edisi pertama : Maret 2016
Edisi kedua : Maret 2017
Cetakan kedua edisi kedua : Oktober 2017
Edisi ketiga : September 2018
Penata artistik, ilustrator dan 
penyelaras bahasa : Ardi Yunanto
Penata tipografi dan 
ilustrator : Cecil Mariani
13,8 x 20,3 cm : 470 halaman
ISBN : 978-979-1078-52-5
Penerbit : Banana


Sinopsis Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi (Yusi Avianto Pareanom) 

Sungu Lembu, seorang pemuda dari Banjaran Waru, sebuah kota kecil di pinggiran Kotaraja Gilingwesi hidup dengan membawa dendam. Dendam tersebut semula berkenaan dengan kaburnya asal-usul siapa ayahnya yang sebenarnya, kemudian merembet pada kebenciannya terhadap Raja Gilingwesi yang semena-mena menginjak harga diri Banjaran Waru. Ia pun memupuk tekadnya agar suatu saat nanti dapat menggelindingkan langsung kepala sang raja yaitu Watugunung bahkan dengan bahasa sarkas ingin menjadikannya sebagai keset kaki~kalau bisa. 

Dendamnya itu semakin menggebu-gebu tatkala satu persatu keluarganya dihancurkan. Mulai dari ibunya Dyah Dayu yang meninggal tak lama setelah melahirkannya. Sementara kehamilan ibunya sendiri masih menjadi pertanyaan karena waktu itu terjadi peristiwa yang cukup pahit untuk dikenang. Rombongan Gilingwesi yang singgah sebentar ke daerah jajahannya yaitu Banjaran Waru selain kegiatannya mengacau, mereka juga memaksa penduduk untuk mempersembahkan beberapa orang perempuan, bahkan diantaranya sudah ada yang bersuami yaitu Dyah Dayu yang bersuamikan Lembu Kuning. Dalam ketakutan yang teramat sangat mereka tidak bisa menolak termasuk saat perempuan-perempuan itu digilir paksa oleh beberapa orang yang ada dalam rombongan Gilingwesi. 

Hingga 9 bulan kemudian lahirlah Sungu Lembu dari rahim Dyah Dayu yang lantas diasuh oleh Lembu Kuning karena Dyah Dayu akhirnya meninggal dunia. Sungu Lembu kemudian tumbuh menjadi anak yang terasingkan dari anak-anak Lembu Kuning yang lain karena selalu diejek sebagai anak dari seorang Gilingwesi (yang entah siapa, tapi firasatku sih Watugunung ya, entahlah). Lembu Kuning sendiri tak lama kemudian meninggal dunia juga karena peristiwa aneh saat memancing. Ada yang mengatakan kailnya tersambar lele, ada yang mengatakan pesut dan lain sebagainya. Sebab tahu sendirilah kalau cerita sudah tersebar dari mulut ke mulut, maka bisa berkembang menjadi liar tak jelas juntrungannya. 

Singkat kata, Sungu Lembu bocah pun berpindah kepengasuhan ke tangan sang Paman dan Bibinya yang bernama Banyak Wetan dan Nyi Banyak. Selain berlaku sebagai wali, Paman Banyak Wetan banyak mengajarkan ilmu tarung kepadanya karena dirinya memiliki padepokan. Bahkan ia mengajarkan sesuatu hal yang dirasa orang lain bahkan istrinya sendiri membahayakan yaitu bagaimana mengenali racun dengan lidahnya sendiri sehingga pada percobaan pertama langsung diomeli oleh Nyi Banyak. Sebab hal tersebut juga Paman Banyak Wetan lakukan juga pada anak-anaknya terdahulu. Tapi Paman Banyak Wetan yang sudah lebih dulu makan asam garam kehidupan tentu lebih paham akan pentingnya ilmu tersebut karena suatu saat nanti pasti akan berguna bagi Sungu Lembu ketika dewasa. Jadi percobaan kedua pun berhasil hingga lidah Sungu Lembu akhirnya ketahuan memiliki bakat alamiah mampu mengenali berbagai rasa termasuk racun. 

Namun malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, suatu hari salah seorang anak dari Paman Banyak Wetan yaitu Jengger Banyak (saudaranya yang lain bernama Tlapak Banyak dan Wulu Banyak) pulang dengan luka-luka di beberapa bagian tubuhnya. Ternyata di luar pekerjaannya sebagai guru, ia terendus prajurit Gilingwesi sebagai ketua perampok Alap-Alap Ireng yang memimpin pemberontakan Gilingwesi. Saat akan melarikan diri ke tempat adiknya dengan bersembunyi di dalam gerobak yang ditarik Sungu Lembu, mereka ketahuan hingga hancurlah segala rencana. Prajurit Gilingwesi dengan cepat meringkus mereka dan membakar rumah Paman Banyak Wetan. Nyi Banyak sendiri akhirnya meninggal karena terkena senjata dari prajurit Gilingwesi, sedangkan Paman Banyak Wetan dan salah seorang anaknya ditangkap walaupun hukuman mati masih ditunda sampai tahun berikutnya. Dari situlah tak ada peristiwa yang lebih menyakitkan Sungu Lembu selain kehilangan hampir semua keluarganya. Iapun bertekad untuk mencari Watugunung bagaimana pun caranya. 

Hingga pada suatu hari, saat sedang ingin bersenang-senang di rumah dadu Nyai Manggis yang cukup termasyur di sebuah kota bernama Kelapa, ia bertemu dengan Raden Mandasia. Ia adalah seorang dari 13 pasang anak kembar Watugunung yang sedang mengembara karena memikirkan bagaimana caranya Gilingwesi membatalkan niatan perang dengan Gerbang Agung. Keduanya pun seperti mendapatkan suratan dari langit, lebih tepatnya bagi Sungu Lembu sendiri atas dasar desakan dari sang kekasih yaitu si Cantik dan sexy Nyai Manggis untuk berkelana saja ke Gerbang Agung. Toh sama-sama tujuannya berkesinambungan walaupun tujuan aslinya masih sama-sama disembunyikan sih. Sungu Lembu disuruh mengikuti Raden Mandasia karena siapa tahu ia berkesempatan menjumpai Watugunung, sedangkan Raden Mandasia sendiri ingin menghentikan niatan ayahnya berperang. Keduanya akhirnya berangkat bersama dan menemui pengalaman-pengalaman yang tidak terduga. Bertarung melawan perompak di lautan, ikut menyelamatkan orang yang dianggap suci namun ditelan ikan paus, bertemu dengan juru masak yang menyebalkan yang sialnya terikat kontrak dengan orang kaya sana dengan harus memasakkannya babi utuh panggang setiap hari nyaris tanpa henti selama 10 tahun kecuali salah satu diantaranya ada yang koit. Selain itu mereka juga berkelana sampai ke desa penghasil kain celup yang melarang penyebutan warna karena bisa menyebabkan perpecahan, menemukan humor receh di gurun pasir walaupun harus bertaruh nyawa dengan kuda yang digigit ular derik hingga kelaparan sampai-sampai tak sadar ketika jamuan daging yang dihidangkan oleh sepasang kakek nenek negeri itu adalah daging anjing kesayangan Loki Tua, belum lagi menguliti seorang budak dengan mengharap keiklasan dari Kasim U demi bertemu dengan Putri Tabassum Sang Permata Gerbang Agung yang konon tak pernah berkaca~cermin-cermin di istananya bakal langsung pecah berkeping-keping karena tak sanggup menahan kecantikannya bahkan kemasyurannya sampai dibuatkan syair  lagu yang menyayat-nyayat hati : sang pembuat lagu mengiba mengapa sang kekasih tak bisa didapat dan pada keputusasaannya yang tertinggi--atau mungkin kepasrahan, ia ingin bertemu pandang sekali saja dengan sang kekasih (dalam hal ini Putri Tabassum) dan itu sudah cukup untuk tabungan hari-hari manis sampai selamanya (hlm 337). Sampai akhirnya perang besar tak terelakkan lagi yang melibatkan hujan mayat pada kematian hitam yang mengerikan dari langit. 

Review Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi (Yusi Avianto Pareanom)

Mumet! 

Satu kata itu yang bakal kuucap dalam 3 hari ini karena kepalaku seperti diajak berantem mulu ketika tak cepat-cepat menuntaskan bab demi bab dari dongeng pengantar tidur : Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi karya Yusi Avianto Pareanom. Sebuah dongeng kontemporer setebal 470 halaman dengan suguhan cerita yang eng...bolehkah aku mengatakannya sebagai such a brilliant story. Ternyata puja-puji yang dilontarkan di luaran sana mengenai buku ini adalah benar adanya. 

Meminjam dari khazanah dongeng dari masa ke masa yang berlainan waktu maupun tempat, novel ini mampu memikat nyaris tanpa kedip. Ketika satu kisah ke kisah lainnya dirunutkan menjadi satu kesatuan, maka yang ada adalah benang merah. Semua saling berkaitan. Kok bisa diracik dengan cara seperti itu? Berarti kan brilliant betul penulisnya itu. Ah, jangkrik sekali! Pantas saja novel ini banyak diganjar penghargaan, mulai dari prosa terbaik Kusala Sastra Khatulistiwa 2016, Prosa Pilihan Majalah Tempo 2016, dan Fiksi Terbaik Rolling Stone Indonesia 2016. 

Buku ini ga cuma sekedar bagus. Tapi banget. Nget...nget!!!!!!!! Catat ya, tanda pentungnya banyak. Buat aku pribadi star lah ya. Aku membacanya dengan sangat enjoy, ga tergoda sedikitpun buat menengok ke halaman paling belakang. Tapi beneran menikmati banget walaupun awalnya langsung shocked karena disuguhi beberapa macam dialog yang sudah menjurus ke urusan ranjang lagi dan lagi dan lagi. Ya aku anggap ini sebagai satu hiburan. Karena membaca novel adalah suatu hiburan. Dan mendapatkan buku yang bagus adalah suatu keberuntungan. Jangan harap kalian menemukan kalimat-kalimat bersayap penuh nasihat bijak nan menggurui. Tidak!!! Karena gaya bahasa novel ini penuh dengan celetukan konyol, humor sarkas, dan misuh-misuh. Diksi anjing bertebaran dimana-mana. Begitu pula tapir bunting, kadal kopet dan hewan lainnya. Tapi itu terdengar luwes saja. Mengingat memang bahasa fiksi ada yang seperti itu bukan? Juga sekali lagi karena ini untuk kategori dewasa ya. Selain unsur yang ada di atas, banyak sekali adegan pertarungan yang digambarkan cukup gamblang dan juga ngeri.

Menggunakan sudut padang orang pertama aku sebagai si Sungu Lembu, justru kita dijebak oleh judul yang mengecoh. Sepengamatanku kisah Raden Mandasianya justru amatlah minim. Seorang putera pangeran dari ayah yang memiliki 13 pasang anak kembar yang memiliki hobi ganjil yaitu memotong sapi hidup (lebih tepatnya mencuri) karena dilakukan tanpa permisi pada penggembalanya hanya untuk diambil bagian daging terenaknya untuk dimasak menjadi hidangan yang luhur. Ada 2 halaman penuh dengan paragraf cenderung gemuk yang menjelaskan bagian-bagian dari tubuh sapi mana yang menjadi favoritnya lengkap dengan rekomendasi masakan ala resto bintang michelin beserta tips dan teknik memotong maupun memarinasi bumbu. Ya seekor sapi curian dari padang rumput warna cokelat~jenis sapi negeri empat musim yang tak bakal ditemui di Gilingwesi. Kau akan dibawa meneguk liur berkali-kali karena penjabaran cara memotong dan memasaknya amatlah paripurna. Tapi meskipun begitu, Mandasia dan tugasnya hanyalah sedikit dari sebagian misi dari sang tokoh utama atau Sungu Lembu yang mengincar Watugunung ayahnya, yang mungkin juga ayah dia.

Bahkan dibandingkan dengan Mandasia, justru bagian Watugununglah yang lebih menarik perhatianku karena diapun digambarkan dengan sangat jatmika, mungkin bahasa kerennya kharismatik kali ya. Bagaimana saat Raden Langkir, kembaran Raden Mandasia yang mengajak Sungu Lembu menyaksikan langsung rupa Watugunung untuk pertama kalinya saat berlatih perang di padang rumput sebelum menyerbu Gerbang Agung, aku merasa Watugunung sudah menyihir dari awal. Tidak lah salah bahwa ia dikenal sebagai raja yang tak terkalahkan. Meski misinya menabuh genderang perang di ending menimbulkan kalimat 'oh' panjang yang membuat terheran-heran karena alasannya ternyata sangat mencengangkan setelah penjelasan rahasia di bab Dewi Shinta sang istri sekaligus ratu yang sangat dicintainya. Ya, sekali lagi endingnya mengingatkanku akan sebuah legenda nusantara yang cukup tersohor itu.

Aku juga terkesima dengan penggambaran fisik seorang tokoh figuran wanita yang akan ditemui di halaman-halaman menuju akhir. Bagaimana ia yang di negerinya sana mampu menembangkan sebuah lagu yang kadang menyayat hati, kadang pula bisa menggembirakan dalam seketika itu juga, tapi yang paling menarik mungkin karena badannya yang montok di samping parasnya yang menawan dan memiliki mata bulat besar yang indah. Tapi tak lebih menarik perhatian lagi adalah rasa simpatiku pada perjalanan hidup seorang tokoh wanita lainnya yang kali ini mengambil peran lumayan penting karena berkenaan langsung dengan sang tokoh utama yaitu Nyai Manggis. Sejak kemunculannya yang pertama, aku seperti dibawa menerka-nerka bagaimana kecantikan parasnya, lenggak-lenggok tubuhnya dan rahasia yang menyebabkannya masyur dari mulut ke mulut. Ia yang mengenakan cindai berwarna hijau padi muda dengan celar hijau pupus. Hijau pupus pula yang menjadi culi yang menyangga sekaligus memamerkan sebagian belahan dadanya. Riasan Nyai Manggis tak pernah berlebihan, pupur di pipinya tipis juga palis merah yang disapukan ke bibirnya. Hanya palit yang melingkari mata bulat besarnya yang nampak tegas. Rambut panjangnya yang hitam sehingga nyaris terlihat kebiruan saat tertimpa cahaya digelung sederhana dengan hiasan pinang goyang dan bunga waru (hlm 53). Siapa sangka dulunya ia adalah kanak-kanak dengan dongeng masa lalu yang cukup getir sampai akhirnya ikut majikannya Nyi Kemitir dan belajar bagaimana cara merawat tubuh hingga bisa cantik seperti sekarang baik dengan jamu-jamuan, lulur, ratus dan lain sebagainya. Walau akhirnya ia mempunyai alasan lain yang juga nyaris sama dengan Sungu Lembu yaitu membalaskan dendamnya atas meninggalnya seluruh anggota keluarganya karena kekejaman orang-orang Gilingwesi. Aku merasa bagian Sungu Lembu dan Nyai Manggis ini memberikan bagian-bagian paling romantis (mungkin juga erotis 😉😳😱😱) dengan cara yang jujur meski ujung-ujungnya adalah salah satunya meninggal. Ah...Aku merasa Sungu Lembu begitu mencintai Si Manggis but in sad ending

"Selamat dan hidup sampai tua dan beranak pinak seperti terwelu, Nyai?" 

Setelah bertangis-tangisan ria dengan beberapa bab utamanya setelah kematian Nyi Banyak, hancurnya padepokan Banyak Wetan, juga meninggalnya Nyai Manggis, cerita langsung bergerak cepat menuju petualangan duo Sungu Lembu dan Raden Mandasia yang puncak kelucuannya adalah saat mereka disarankan untuk diguidekan seorang yang sudah cukup mahfum akan tempat asing macam Gerbang Agung. Siapa lagi kalau bukan juru masak menyebalkan bernama Loki Tua. Tidak setua itu sih orangnya, tapi tersebab rambutnya sudah memutih sejak kecil maka dinamailah ia sebagai Loki Tua. Namun sebelum bisa merayunya agar mau menemani perjalanan, ada bagian terbaik dari bab ini. Yakni saat penjabaran kontrak sial dangkalan Loki tua dengan Hoyoso untuk memasakkan babi panggang utuh nyaris setiap hari dalam 10 tahun terakhir dan tak ada yang bisa menghentikan rantai sue itu kecuali salah satunya koit. Entah dinamakan beruntung atau tidak, setelah satu peristiwa yang sebenarnya sangat-sangat biasa Hoyoso pun menghembuskan nafas terakhirnya dengan cara yang aneh tapi setelahnya hal itulah yang menjadi moment paling bersejarah dalam hidup Loki Tua. Istilahnya tidak perlu terlalu bersusah-payah melakukan apapun, Hoyoso si pria tua tambun tiba-tiba bisa mati sendiri. Suatu kebetulan yang sangat aneh tapi kocak juga jika diingat-ingat.

Tapi tak ada yang lebih membuat begidik ngeri sekaligus melongo saat disuguhi bab tentang Kasim U. Salah seorang dari pelayan Putri Tabassum yang tak terjamah siapapun dan sulit sekali untuk bisa menemuinya. Kalian akan berpikir kok bisa ya ide untuk menemui sang Putri yang sangat membuat penasaran ini adalah dengan menggunakan kulit Kasim U literally benaran kulit aslinya setelah disembelih atau bahasa yang diperhalus sedikit adalah dikuliti dengan sukarela. Haaaaa...😱😱😱😱 Dan setelah tujuan tersebut tercapai walaupun ujungnya sia-sia tapi tetap saja ada bagian lucunya. Yakni karena Raden Mandasia yang pertama ke istana tak berhasil menemui sang putri. Giliran Sungu Lembu yang ke sana malah ia berhasil. Namun meski Sungu Lembu berkata jujur bahwa ia tak melakukan apapun pada Putri Tabassum yang ternyata aslinya adalah eng ing eng syekali (benar-benar di luar bayangan maksudku), Sang Raden Mandasia malah merajuk seperti anak kecil dan seperti cemburu karena curiga pada Sungu Lembu tapi setelahnya berbaikan lagi. Memang sungguh aneh novel ini. Di sini itu banyak sekali kejadian dimana satu orang wanita bisa digunakan bercinta oleh beberapa orang laki-laki yang berbeda, berkali-kali...kan bajing betul alias jangkrik tenan !!!!!! 😱😱😱 Untung saja ini hanya fiksi ya. ☺🥴

Terlalu banyak bagian menarik yang kudapat dari novel ini. Tapi beberapa diantaranya adalah yang sudah kusebutkan di atas. Hal lainnya hanya bisa kunikmati dengan membaca ulang lagi, lagi dan lagi.... Kau akan terkejut dengan Melur, Raden Langkir, Sang Penyair Kerajaan Raden Panuluh, Parwati, juga Masha and the Bear Mayssa yang montok. Entah kenapa seperti daydreaming saja ketika membayangkan setiap tempat yang ada dalam novel ini. Juga tokoh-tokohnya yang kebanyakan dinamai dengan sebutan hewan, bagian-bagian tubuh hewan, warna atau buah-buahan. Begitu megah dengan pilihan kata yang tak biasa bahkan untuk menulis keterangan waktu dan jarak dengan caranya yang cukup unik. Sekali lagi megah namun dalam sekali waktu bisa menjadi sangat cute, terutama pada setiap ending perjalanan di tempat-tempat yang berbeda karena selalu ada bagian yang menrenyuhkan hati. 

Ah, aku sepertinya mulai menyukai kegiatan membaca buku lagi setelah sekian tahun lamanya tidak pernah menyentuh buku. Sungguh suatu loncatan besar dari bacaan terakhirku yaitu komik Doraemon! Dan sekarang bisa menamatkan buku setebal ini dalam waktu 3 hari. Tapi bukankah itu sesuatu hal yang menyenangkan? Semoga saja aku jadi rajin membaca setelah ini ^___^

PS : Aku lagi coba memulai untuk rajin meresensi buku lagi seperti target baca bukuku untuk 2022. Nantikan resensi bukuku yang lainnya ya! 😃





11 komentar:

  1. mantab sih reviewnya :D.. kalok denger dari nama-nama tokohnya sepertinya kayak jaman dulu banget ya, kayak novel kolosal gitu hehe :D

    ceritanya sendiri juga pasti bagus, karna udah masuk list blognya mba mbul :D, karna buku, atao film yang ud di review disini pasti gabakal mengecewakan hihihi

    met baca-baca buku kembali mba, gw juga pingin baca buku novel, tapi sayang di tempat gw jauh, dan kayaknya gada yang jual, mo beli online gaptek :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih nif, iya semangat baca kembali...ternyata asyik juga ngejalanin hobi baca lagi setelah sekian lama ga baca buku fiksi...lumayan bikin refresing loh hehe

      Hapus
  2. Muchas gracias Gustyanita por la pormenorizada sustanciosa reseña y recomendación de esta novela que buscaré en las librerías de mi país...

    Abrazo hasta vos.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks a lot my friend Carlos....this book is one of my fav..^^

      Hapus
  3. Wah mbul ternyata mau review buku lagi ya, sebelumnya sukanya ngulas makanan.

    Baca ulasannya kok seperti novel silat jaman dahulu ya. Soalnya nama nama tokohnya seperti jaman kerajaan. Ada Sungu lembu, ada lembu kuning, Dyah Dayu, Wiro sableng, Sinto gendeng eh ~

    Tapi sepertinya beda dengan novel novel Bastian Tito ya, yang ini lebih seru dan plot twist dan juga adegan nganu.🤣

    BalasHapus
    Balasan
    1. He em Mas, mau rajin baca lagi koleksi buku buku di perpustakaan Mbul 😊


      haha...iya, mas karrna penulisnya cowok, makanya sudut pandang nilai adegan nganu versi cowok tergambarkan semua lewat scene demi scene..hehe...Menarik sih menurutku buku ini...kayak dongeng kolosal jadinya...jadi keinget buku buku pendekar era jaman dulu pas bapakku masih muda hihi 🤭

      Hapus
  4. Wah,ini genre bacaan kesukaanku. Magis, seru, dengan setting jaman dahulu. Apalagi kalau ada twist ending.. bikin gemes gimanaa gitu. Plotnya bikin kita tidak bosen bosennya mbalik halaman selanjutnya. Unsur budaya asli itu jadi bumbu biar racikannya tambah nenarik.
    Cuma memang kadang ada unsur erotisnya itu yang membuat buku seperti ini sulit untuk kami kenalkan ke anak didik kami.
    Setelah baca reviewnya mbak mbul jadi pengen bacaa nih.
    Ayoo mbak sering review buku. Biar saya jadi punya pandangan lain saat beli buku. Kalau pereviewnya anak muda macam mbak mbul, pilihan bukunya akan beda dengan pilihan saya yang udah generasi tuwirr :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Asyik, makasih Bu Guru Dewi. Insyaalloh Mbul akan rajin resensi buku lagi dan mungkin film yang menurut aku seru...yuk baca buku ini juga, dijamin Bu Guru suka 😍

      Hapus
  5. cukup baca review ini sudah tahu isi bukunya ke arah mana...

    thank you for sharing

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Bapak, arahnya emang rapi banget, menuju ending baru kerasa benang merahnya antara adegan satu ama adegan berikutnya, karena saling berkaitan 😊

      Hapus