Minggu, 02 Oktober 2022

Review Grave of the Fireflies (1988)



Grave of the Fireflies (1988)

Film ini bercerita tentang betapa perang begitu melegalkan rasa takut secara harfiah baik dimulai dari sistim kemasyarakatan tertinggi sampai sistim kemasyarakatan terendah yang ujung-ujungnya merambat ke tingkat individu. Perang membawa beban psikis yang tak berkesudahan meski dalam satu kondisi tertentu alih-alih dapat membentuk karakter yang thought, seperti halnya yang dialamatkan pada peran Seita (anak lelaki seorang angkatan laut yang bertugas selama Perang Dunia ke II dan mau tidak mau harus dipasrahi adik perempuannya Setsuko sepeninggal ibunya yang menjadi korban perang). Meski dalam usia yang relatif belia, toh nyatanya Seita mampu digambarkan sebagai pribadi yang survive dan berpikir cepat meski dalam kondisi tersulit sekalipun.




Nama lain : Hotaru No Haka
Sutradara : Isao Takahata
Produser : Toru Hara
Based on : Grave of the Fireflies dari Akiyuki Nosaka
Cast : Tsutomu Tatsumi, Ayano Shiraisi, Yoshiko Sinohara, Akemi Yamaguchi
Musik : Michio Mamiya
Sinematografi : Nobuo Koyama
Diproduksi : Studio Ghibli
Durasi : 89 menit
Rate by me : 8,8 dari 10


Dimulai dengan adegan Seita yang tergolek lunglai di atas lantai Stasiun Sannomiya pada tanggal 21 September 1945 dengan pandangan sayu yang nyaris kosong. Dalam benaknya, rupanya sudah tidak ada lagi sesuatu yang patut ia perjuangkan sehingga ia pun sudah teramat siap jika ajal datang menjemput. Tak berapa lama kemudian, ia pun betul-betul menghembuskan napasnya yang terakhir, tepat diantara belasan tubuh gelandangan yang mengalami nasib serupa dengan dirinya. Seorang petugas kebersihan kemudian mengevakuasi jasadnya yang telah dikerubungi lalat sembari memeriksa kalau-kalau ada barang yang tertinggal. Ternyata petugas tersebut menemukan kaleng permen buah yang sebenarnya berisi sesuatu yang sangat penting pada masa hidup Seita yakni abu jenazah adiknya Setsuko yang meninggal karena malnutrisi. Karena dianggapnya tidak berharga, kaleng tersebut dilempar begitu saja oleh si petugas kebersihan hingga isi di dalamnya berserakan. Dari situlah kemudian muncul kunang-kunang yang menjelma arwah Setsuko yang ingin berjumpa kembali dengan kakaknya.

Sejatinya, untuk ukuran durasi awal, film ini sudah cukup mengoyak-ngoyak hati penonton karena ternyata arwah kefuanya dapat bertemu kembali setelah selama ini bertahan dalam kesengsaraan. Mereka kemudian flashback menengok hari-hari 'gelap' yang terjadi sebelumnya untuk mengetahui lebih rinci apa yang terjadi sebenarnya. Dengan setting kereta malam, kakak beradik itupun menemukan potongan-potongan cerita yang begitu menyedihkan sebagaimana yang dialami oleh anak-anak korban perang.

Alur kemudian mundur dengan latar belakang Kota Kobe yang berstatus darurat militer karena serangan udara AS yang datang setiap saat. Keadaan kota menjadi lumpuh sebagai akibat dari hujan rudal yang mengakibatkan rumah penduduk habis dilalap api serta tak sedikit pula yang harus mengalami kematian ataupun luka-luka. Termasuk juga di dalamnya ibu Seita dan Satsuko yang sebenarnya menderita lemah jantung dan terpisah saat akan berlindung di penampungan yang dialokasikan ke gedung sekolah. Setelah serangan udara mereda untuk beberapa saat, Seita dan Satsuko pun menyusul ke gedung sekolah untuk dikenai perawatan serta dijatah biskuit ransum untuk persediaan makan. Waktu itu pikiran mereka adalah sang ibu sudah lebih dulu menyelamatkan diri dan berada di tempat yang aman. Sampai akhirnya seorang Bibi memberitahukan kabar buruk bahwa ibu mereka terkena luka bakar yang cukup serius bahkan hampir di sekujur tubuh. Seita berusaha tenang dan masih berpikiran positif sembari menyembunyikannya dari sang adik. Namun demikian, hatinya jelas hancur karena nyawa sang ibu ternyata sudah tidak tertolong lagi sehingga harus dikremasi bersamaan dengan korban perang lainnya.

Dengan tetap menyembunyikan kenyataan yang ada, Seita membawa Setsuko ke rumah bibi mereka yang ada desa. Mulanya sang bibi bersikap welcome sebelum tahu bahwa ibu mereka telah wafat. Setelah tahu, bibi tersebut kemudian berubah 180 derajat dari sifatnya yang semula ramah. Ia mengintimidasi Seita dengan bahasa halus agar cepat-cepat menghubungi ayahnya supaya lekas menjemput, sampai benar-benar yang niat untuk berkata menyakitkan agar kakak beradik tersebut tidak hanya jadi benalu. Makan malam yang tadinya dilakukan bersama, kini sengaja disekat dengan perintah silakan memasak sendiri meski stok beras banyak dihasilkan dari barang-barang ibu Seita dan Setsuko yang ditukar tambah. Bibi tersebut juga dengan tega memberitahukan kematian ibu keduanya kepada Setsuko tanpa sepengetahuan Seita. Puncaknya, saat dikata-katai bagaikan hama alias parasit yang bisanya menumpang saja tanpa membantu bekerja, sementara putri dan suami bibi tersebut mati-matian banting tulang, harga diri Seita pun terluka. Ia lalu memilih pamit dan tidak akan merepotkan bibinya lagi, meski tidak tahu akan berteduh kemana.

Karena tidak ada pilihan, shelter perlindungan yang biasa digunakan saat ada serangan udara pun dijadikannya rumah. Seita dan Setsuko kemudian bersama-sama mengumpulkan alat-alat seadanya dari sisa rumah yang terbakar, juga membeli jerami dan beberapa peralatan masak untuk bertahan hidup. Awalnya semua berjalan manis, bahkan cenderung romantis memperlihatkan kegigihan seorang kakak yang selalu siap untuk adiknya dalam keadaan susah maupun senang. Mereka tidur dengan lampu dari sinar kunang-kunang yang menemani, juga memasak bahan makanan dengan penuh sukacita meski bisa dibilang sangat menyesakkan dada. Namun ada beberapa slot adegan sedih yang benar-benar mencabik-cabik perasaan. Yakni saat Setsuko mengubur kunang-kunang dan mengibaratkan itu kuburan ibunya padahal selama ini Seita mati-matian menyembunyikan hal itu, yang ternyata biang keroknya adalah mulut ember si bibi. Lalu saat Seita dengan terpaksa mencuri sayur sampai dipukuli hingga babak belur dan dibawa ke pos polisi meski akhirnya dilepaskan...setelahnya Setsuko yang tengah diare bahkan bisa sedewasa itu bilang :"Mana yang sakit? Mau kucarikan dokter?", Jujur bukan hanya Seita saja yang menangis...sayapun sebagai penonton tak kuasa membendung isak karena saking dalamnya kata-kata itu. Apalagi saat adegan Setsuko sudah benar-benar kritis kekurangan cairan, saat Seita pulang membawakan semangka, Setsuko didapatinya tengah mengemut kelereng yang ia anggap sebagai permen buah. Setelahnya ia menawari bulatan tanah yang ia bentuk layaknya nasi kepal karena seringnya sang kakak pergi berburu makan dalam waktu yang lama hingga Setsuko nyaris tak sadarkan diri karena kelaparan dan sebelum akhirnya meninggal. Di situ tangis saya benar-benar pecah terutama saat endingnya Setsuka dikremasi sendiri oleh Seita dengan perasaan yang sangat tegar.

Film ini mengajarkan banyak hal. Apa itu arti melindungi, menyayangi, mendewasakan diri, dan bertahan hidup. Damn, saya suka !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

I'm Mbul. Thanks for visiting here and dropping by. Your comments are always appreciated. Happy blogging ฅ(^・ω・^ฅ)