Sabtu, 22 Agustus 2020

Kuliner Malam Alun-Alun Purbalingga, Nyobain Bebek Kamijara !



Setelah takziah di tempatnya Bulek Banjar dari pihak Pak Su, dimana sepupu kami yang masih sebelas-duabelas usianya denganku meninggal dunia, kami sengaja ga bablas balik Tangerang karena waktu itu kebetulan lagi ngepasin masa subur dari serangkaian promil yang sedang kami jalankan, sebelum hadirnya momongan seperti sekarang. 




Sebelumnya ga ada rencana buat liburan dadakan ke Banjarnegara walaupun beberapa malam sebelumnya uda ada firasat bahwa sepupu bakal tiada mengingat operasinya tergolong operasi berat karena menyangkut di organ kepala. Dan benar saja, pas siangnya operasi, malamnya udah ga ada. Walhasil mendadaklah kami jalan ke Banjar berdua aja dengan Pak Su, misah dengan rombongan Bulek yang sama-sama Tangerangnya.

Mikirku mending jalan berdua, biar ntar pulangnya ga ewuh pekewuh kalau mau mampir-mampir kemana. Karena pada minggu sebelumnya kami memang sedang agenda promil, jadilah dengan menggunakan ilmu cocoklogi, kami prediksikan masa suburnya jatuh pada saat tanggal-tanggal takziah...duh stress juga waktu itu, karena kupikir ini bakal gagal lagi mengingat sebenarnya aku udah bosen bulak-balik obgyn buat promil waktu itu (ya....walaupun lagi-lagi ga langsung 'jadi' juga sih at the same time, hahaha....). Soalnya bayi pertama pecah telornya pas akhir 2017. 







Oke, back to topik. 

Jadi long story short atawa bahasa Indonesianya singkat cerita.....selesailah acara takziah di rumah duka Banjar, dan kini saatnya kami pamitan terutama kepada Simbah yang waktu itu juga hadir dalam tahlilan cucu pertamanya itu. Setelah kami jelaskan kalau kami ada tanggal buat tempur yang disarankan oleh obgyn karena ngepasin masa subur sesuai rangkaian promil yang sedang kami jalani, maka beliau dan pinisepuh keluarga almarhum lainnya pun akhirnya maklum dan mengijinkan kami untuk cabut. 

Walaupun udah sore, tapi berhubung kami pamitnya  sambil ngayem-ngayemke pikir dengan kalimat nanti gampanglah pesen hotel atau penginapan murah di kota, akhirnya, semua pun okey. Maka habis itu, meluncurlah kami ke Purbalingga bagian kotanya. Kami jalan sekitar 2 jam-an tau-tau udah peteng. Mana diiringi hujan deras lagi tapi kami bablas aja karena hotel ataupun penginapan pastilah banyakan ada di kota. Mau stay agak lamaan di tempat Bulek, keburu makin susah lagi kan buat pamitan, jadi mending cabut dari sekarang sebelum ada banyak orang.







Setelah beberapa kali disasarkan oleh GPS, akhirnya dapat juga hotel kelas melati yang nanti aku tuliskan di postingan terpisah. Bat-bet-bat-bet check in, bersih-bersih badan, lanjut weteng ngelih dong. Lha durung keisi sejak siang. Terakhir makan ya pas mampir ke RM Siregol Waterfall sebelum nyampe tempat Bulek, kira-kira jem-jem 1 siang. Ya, jelas saja kami lafaaaaaaaarrr. 

Nah, abis mandi malam (ya kan abis takziah) dan badan kerasa wangi, akhirnya tercetuslah ide buat cari kulineran malam di dekat-dekat hotel. Kami nyarinya spontan aja. Nanti nemunya apa ya itu yang disamperin. Begh ! Walaupun di luaran sana masih hujan tipis-tipis, tapi ga melunturkan semangat kami buat muter-muter Purbalingga, terutama yang kuprediksikan banyak kuliner malamnya ya seputar Alun-Alun. 













Kuliner Malam di Alun-Alun Purbalingga

Benar saja, pas nyampe sana....lha kok rame amat karena di sekelilingnya uda berdiri warung tenda dari berbagai macam kuliner enak seperti nasi goreng + mie tek-tek, sate ayam, sate kambing muda, rica-rica enthog, soto-sotoan, mie ayam, bakso, ronde, jahe susu, angkringan, pecel lele, seafood, ayam goreng, burung goreng, sampai bebek goreng, semua ada. Lengkaaaap. Nah, stand ayam+burung+bebek gorengnya ini nih yang memanjakan mataku banget karena tampilannya pas abis digoreng bener-bener menggoda. Pokoknya ada kali bolak-balik beberapa kali sebelum deal mau makan di mana. Soalnya kan ada beberapa ya yang menjual ayam+burung-bebek gorengnya itu. Ga cuma satu stand.

Setelah melongok menu-menunya apa saja (hasil ngelihat dari tulisan yang tertera di bagian tendanya), maka kami putuskan untuk mencoba "Bebek Kamijara", dimana saat itu yang menyita perhatian kami adalah keberadaan baki (nampan) besar yang  berisi aneka kepala bebek yang lehernya duowi-duowi banget dan jarang kami temui di warung tenda selama kulineran di Tangerang. Serius leher bebeknya menurutku kok ya panjang-panjang amat, apalagi pas digoreng dan kelihatan bagian kulitnya begitu mengkilat bermandikan minyak, belum lagi uwuran lengkuas yang menjadi toppingnya. Itu tuh menjadikan kami bener-bener tergoda ingin mencoba. Apa karena selama ini yang sering kumakan adalah leher ayam ya, jadi begitu ngelihat leher bebek rasanya lebih panjang, haha..bisa jadi.

Sebenarnya dalam nampan itu ga cuma berisi bagian kepalanya aja, tapi juga ada jeroan ati ampela, dada (sepaket dengan sayapnya), juga paha. Kami mencoba antimainstream dengan memesan kepala. Biasanya kan orang pesen banyakan antara dada atau paha ya. Nah ini ga. Kami pilih beberapa potong kepala sudah dengan lehernya yang full kulit itu, 2 porsi nasi, dan juga lalap. Kenapa pesannya bukan ayam? Karena penasaran. Dibandingkan dengan ayam yang seringnya kami rasakan sami mawon alias podo ae antar satu warung tenda dengan warung tenda lainnya (kecuali bagian sambalnya), ya kuliner bebek lebih ada ciri khasnya. Misalnya, kadang nemu bebek yang aromanya masih sangat kuat, kadang full bumbu ungkepnya, kadang teksturnya alot, kadang pula empuk seperti udah dipresto. Nah, kami suka nih taste the water antara kuliner bebek satu dengan kuliner bebek lainnya.







Kebetulan juga, "Bebek Kamijara" yang kami temui ini lain daripada yang lain. Maksudnya beda dari bebek-bebek sebelumnya yang pernah kami coba. Sepiringnya yang terdiri dari 5 potong kepala bebek sudah dengan lehernya ini lumayan mencover lauk porsi besar untuk sepiring nasi yang bisa dikatakan ga begitu banyak. Ya soalnya, khusus piringku aku mintanya porsi setengah, sementara Pak Suami ya teteeeep 1 porsi.

Eh tapi, sebenarnya nasinya kemudian dimasukin ke dalam cething ding (mendadak nyadar pas nyocokin ama fotonya), jadi seberapa banyak porsinya ya tergantung dari seberapa centong kami nyiduk nasi ke dalam piringnya, haahah. Yang jelas aku nyiduknya ya porsi ala wanita anggun lah ya...





Seporsinya itu udah dapat paket lalapan yang terdiri dari beberapa iris timun, beberapa helai kobis atau kol mentah, daun singkong rebus, juga satu wadah kecil sambel ijo yang lumayan berminyak (karena pakenya memang sambel yang sudah digoreng). Jadi di atas meja itu udah ada satu cething nasi, sepiring paket kepala, dan sepaket lalapannya itu tadi. Oke, Bismilairohmanirohim ! Begitu kurobek bagian kulit dari leher si bebeknya ini, kemudian kucocolin ke sambel ijonya, lanjut satukan dengan pulukan nasi panasnya.... nyammmmmm rasanya ituh...........ternyata enak tenan pemirsa. Bebeknya itu masih digoreng semi basah ya, jadi teksur kulitnya terasa agak juicy gitu. Ga kekeringan. Tapi juga udah matang lah ya. Namanya juga sudah dialup-alup alias diungkep pake rebusan bumbu kuning. Jadi ya aslinya udah matang. Cuma kalau ada pembeli ya tinggal digoreng aja dalam kubangan minyak panas.

Oh ya, bumbunya ini dominan ama lengkuas ya yang pas mentas dari wajan serat-seratnya masih kentara banget dan malah terasa seperti kremesan--nyaru ke penampilan serundeng. Rasanya itu gurih asin. Nah, dia ini akan jadi toppingnya si bebek. Terus dagingnya pun ga pati-pati keras layaknya olahan bebek pada umumnya. Dia udah agak empuk walaupun serat-seratnya emang terasa tebal sehingga butuh usaha ekstra untuk sekali mengunyah dibandingkan dengan mengunyah ayam. Tapi menurutku bebeknya enak sih. Pas aja gitu. Terutama karena aku meresapi beberapa bagian yang ketempelan ama topping lengkuasnya. Gurih asinnya kerasa banget.








Adapun sambel ijonya ga begitu pedas. Masih ada sedikit aroma langu khas cabe ijo yang diuleg kasar, tapi itu ketutup ama minyak yang hampir meluber memenuhi volume sambel. Nah, ni sambel begitu dipadu padankan dengan lalapan ketimun, kol (tapi aku ga begitu suka kol sih sebenarnya), juga rebusan daun pepaya, rasanya jadi komplet banget. Cara ngrebus daun pepayanya juga termasuk pinter banget karena ga meninggalkan efek pahit sama sekali, malah terasa kraus-kraus hampir mirip dengan tekstur daun singkong rebus. 

Untuk harganya sendiri, termasuknya standar, karena per 2 kepala udah dengan es teh manis ukuran gelas gede kenanya sekitar Rp 70 ribu, yang mungkin buat ukuran warga Jabodetabek lumrahnya segitu ya.

Oh ya, ada satu moment yang membuatku ga pernah lupa saat kulineran malam di Alun-Alun Purbalingga ini. Jadi waktu itu kebetulan listrik lagi 'byarr pettt', sehingga kemudian sekeliling alun-alun yang sebenarnya lagi banyak orang itu mau ga mau harus makan dalam keadaan peteng-petengan. Termasuk pula kami yang harus terjebak dalam warung tenda dengan hanya ditemani oleh nyala lilin serta kelakar antar pemilik warung tenda di sebelah-sebelahnya  yang kira-kira berbunyi : "Eh kiye mesti pada telat bayar listrik, mulane bola-bali dipateni !", hahahah...ya begitulah, kami makan dengan suasana yang berbeda dari biasanya dan akhirnya malah jadi terkenang sampai sekarang





20 komentar:

  1. Bhuwakakaka .. ya ampon istilahnya babon lehor bikin aku sukses ngakak kenceng bacanya, kaaaak 🀣!.

    Romantis juga ya makan malam ditemani listrik byar-pet kek gitu .., pengin deh ngerasain momen lampu padam nyala sambil makan di pelataran 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wwwkkk ...
      Aku dah mbatin suasana saat itu pasti acara makan sambil nebak-bebak posisi mana sambal mana bebek πŸ˜…

      Aku meh njuluki koncoku akh ..., mau kuledekin pake istilah babon lehor hihihi πŸ˜„

      Hapus
  2. Oalah wong Purbalingga toh, nyong asli Purwokerto loh cuma siki nang Jkt. Dulu pas kuliah, aku juga les bahasa Korea di dekat alun2 Pbg situ mbak, jd dulu lumayan sering nongkrong di alun2 sm tmn2 les, klo kulinernya blm pernah coba sih hahahha, salam ngapak ya mbak

    BalasHapus
  3. memang warung tenda malam bikin tergoda sih mbak, gw sendiri kalo malem pasti jajanya juga di warung tenda alun-alun, tapi bedanya gw jajanya nasi goreng :D

    btw itu daging bebeknya menggoda sekali ya, dari warnanya seperti krenyes bet kalo du gigit :D,

    BalasHapus
  4. Weeeheee!!...Dirimu memang pantas mbul jadi Wartawan kuliner. Atau Ratu Mbul Kuliner Sejabodetabek. ( Kalau di jakarta )

    Luar Jakarta bikin nama sendiri mbul.🀣🀣🀣🀣 Heeheee...


    kuliner malam khas Jawa tengah yaitu bebek Kamijara..Aneh juga namanya...Mungkin ciri khas kali yee mbul karena kuliner malam seperti bebek goreng, Burung goreng, Ayam goreng dll banyak bisa kita temui dijawa tengah. Mungkin itu kali yaa, Yang bikin para pedagang pakai nama yang berbeda-beda meski dagangannya sama.😊😊

    Sayapun dulu waktu sering ke Jawa tengah sering nemu kuliner yang seperti dijelaskan lengkap diatas. Tetapi namanya beda, Dan setelah dihidangkan yaa 11 12 ada lalapannya yang boleh dikatakan sudah hal umum. Tetapi yaa tetap soal rasa yaa pasti ada perbedaannya.😊😊

    Dulu waktu di Solo saya aku makan sate kuda menunya ada lalapan juga meski tidak banyak seperti Bebek goreng dan sejenisnya.😊😊


    Enaknya bebek goreng atau burung goreng kalau didaerah harga masih nyaman dikantong...Kalau dijakarta harga mahal rasa monoton Haahaaaa!! Suueee..🀣🀣🀣


    Nggak usah kunbal mbul gw lagi nggak ada waktu buat nulis...Kerjaan gw seabrek2. Jadi cuma baca2 blog orang doang. Haahaaa..🀣🀣


    BalasHapus
  5. Saya lagi buka kompi lihat lihat photo lama, eh ternyata sudah banyak yang kehapus. Karena dulu tak punya niat akan menggelola dua blog. Jika photo sudah di posting langsung deh, koleksi yang lain di delete. Biar memori kompi tak penuh. Nah giliran butuh lagi, bingung.
    Kalau saya nongkrong diakun alun, biasanya cukup mi ayam plus es teh. Hemat πŸ˜„

    BalasHapus
  6. Wah.. Honeymoonnya gelap-gelapan. Cye...

    makan-makan sampai kenyang, saya yang lihatin gambarnya udah nelen ludah berkali-kali padahal saya abis sarapanπŸ˜‚.
    Selama ini saya menerka-nerka mbk mbul pakai bahasa apa ya. Ternyata ngapak. Maapkan saya mbk mbul.. Saya pahamnya bahasa jawa😁

    BalasHapus
  7. fix,,, jadikepengen bebek goreng plus sambel ijo.. aduh mbak mbul. postinganmu bikin air liur menegecess....deras....

    Makin nikmat tuh... abis ujan-ujanan, suasana malem... pasti bebeknya jadi lezat sekale...

    Itu lampunya sengaja kali di bikin byar pet... biar sok-sok an kayak dinner. mungkin malam itu tercipta khusus buat Mbul dan pak su, biar remang-remang lilinnya makin romantis.

    Karena malam itu kan pemeran utamanya kalian bedua, yang lain figuran semua... hahaha...

    BalasHapus
  8. Wah enak nih bebek gorengnya mbak mbul, tapi mbak anti mainstream juga ya, biasanya orang beli bebek goreng itu bagian dada atau pahanya yang banyak dagingnya, lha kok malah pesennya kepala bebek. Bener tuh kata mbak Eno, apa ngga serem pas mau makan kepala bebek, eh tahu tahu matanya kedip kedip.πŸ˜‚

    Bebek kamijara mungkin masaknya banyak pakai kamijara kali ya, kalo daerah serang mah namanya sereh.

    Saya jarang main ke alun-alun kota, baik kota Tegal atau serang. Alasannya karena jauh dari desa. Aku tinggal di desa dekat perbatasan Tegal Brebes. Eh, di serang juga tinggal di desa dekat perbatasan Serang Tangerang. Jadinya kalo mau ke alun alun jauh dan bikin malas.🀣

    Itu kenapa lampunya byar pet ya. Mungkin sengaja biar romantis.πŸ˜‚

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas, soalnya kami emang suka bagian kepala sampai leher, ga ayam ga bebek, semua suka huehehe


      Oooooh iya iyaaaak, lah aku jadi ingat kamijoro jeh, ternyata sereh ya, haha, makasih mas agus dah ngibgatkan aku ama kamijoro, soalnya sebelummya akutuh kayak ngiling-iling sesuatu, kamijara nih kayak ga asing tapi apa ya, hahahha

      Sekali kali dolan alun alun mas, kalau pagi bisa buat olahraga lari juga sih

      Wakaka, bise aje mas hahah

      Hapus
    2. Tadinya saya pikir kamijara itu nama tempat atau daerah, ternyata itu nama bumbu dapur sereh. Jauh juga ya dari kamijara ke sereh entah lewati berapa tikungan..

      Hapus
    3. Oh kalau bahasa jawanya Kamijoro tapi itukan di Purbalingga di Jawa juga kok kamijara apa yang jual orang itu Serang?

      Hapus
    4. Baru ingat Purbalingga kan masuk daerah yang berbahasa ngapak yang kadang o di Jawa lainnya diganti dengan a, iya kan ya?

      Hapus
  9. meski kalau mampir kesini isinya makan2, jadi lapar

    BalasHapus
  10. Aku termasuk yg ga bisa makan kepala Nit :p. Mau bebek ato ayam, tetep ga doyan. Mungkin Krn ga dibiasain dari kecil yaaa. Makanya pas nikah Ama pak suami, agak shock gitu liat dia ngegrogotin kepala ayam ato bebek wkwkwkwkk . Sampe heran, emangnya itu bisa dimakan yaaak?? :D

    Pernah nyoba sih, tp mungkin Krn ga biasa td, aku malah eneg sendiri , apalagi pas bagian leher dan ada uratnyaaaa hihihi... Lgs stop :D. Aku ttp milih dada ato paha ajalaah :D.

    Tp lalapan yg slalu nyertain gorengan ayam/bebek gini, aku doyaaaaan. Termasuk kol :D.enaaak ya di sana ada rebusan daun pepaya segala.perasaan kalo beli bebek/ayam goreng di JKT, aku ga nemu yg pake lalapan gitu. Paling mentok kemangi,timun Ama kol -_- .

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mba Faaannn, sini kita bergandengan, hahahaa.
      Saya selalu emosi kalau paksu ke pasar, pulang-pulang bawa kepala ayam.
      Lebih sebal lagi kalau dia masak campur dengan ayam lainnya.
      Nggak selara makan saya liat matanya :D

      Hapus
  11. Btw Mbul, itu kepala bebek gitu paling sering dibeli paksu, tapi makannya nggak di depan saya sih, ngeri aja soalnya liat kepala ayam atau bebek di makan.

    Kalau ibu mertua kadang dimasukin ke sup ayam.
    Haduuhh auto nggak selera saya, padahal masakan ibu mertua itu enak.

    kalau saya milih makan ampela hatinya aja Mbul, meski kayaknya enakan ampela hati ayam deh ketimbang bebek.

    Asal ada kelapagorengnya gitu, udah makin selera deh, tahu-tahu aja lemak bertambah hahaha.

    Nah kebalik nih, kalau kepala ikan, apalagi ikan karang, waduuhh itu favorit banget!
    Sama mama saya sering dimasak parende, kuah asam gitu :D

    BalasHapus
  12. Kerjaannya makan, kulineran..badannya cungkring kayak ga makan sebulan..

    Di perutmu kayaknya ada naga yah Mbul..

    😲😲😲😲😲😲😲😲😲😲😲😲😲😲😲😲

    Si oink oink rok kuningnya lagi dijemur kayaknya yah ga nongol nongol lagi πŸ˜’

    BalasHapus
    Balasan
    1. tapi betat badan tetep 47 kilo sih...hihi...soalnya diimbangi olahraga pak

      Hapus
  13. aku udah bisa bayangin gimana enaknya nih bebek, kalo aku liat dari kremesannya dan aroma lengkuas mirip sama ayam laos di jember yang biasa aku pesen, pas awal awal dulu doyan, sekarang malah hampir ga pernah beli lagi
    aku salfok sama tulisan menu di spandukknya, rica rica enthog, di kotaku kok wes ga ada yang jual enthog, kalaupun ada lalapan bebek ditulisnya bebek

    BalasHapus