Oleh : Beby Mbul
Derik jam Junghun lamat-lamat menyambut kepulangan Mbul kecil pada pukul 14.05 WIB usai mata pelajaran hitungan yang begitu membosankan. Suara intonasi guru yang menerangkan pun tak ubahnya setelan robot. Fals. Hampir seluruh siswa terkantuk-kantuk dibuatnya. Tak jarang beberapa diantaranya malah langsung bablas sampai ke alam mimpi. Ya hanya dengan bermodalkan buku-buku paket yang diberdirikan, mereka tidur melepaskan diri dari belenggu bayang-bayang integral yang menari-nari di atas kepala.
Dua jam terakhir rasanya kepala mau copot. Mbul kecil memang tidak menyukai pelajaran hitungan. Ia paling anti dengan pelajaran matematika, fisika, dan juga kimia. Ia lebih suka menghapal biologi, aneka rumpun sosial, atau latihan menulis pada pelajaran bahasa (bisa Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris). Anehnya, saat kelas 2, ia tetap memilih jurusan IPA. Bukankah itu yang dinamakan cari mati?
Praktis, begitu lonceng berdentang sebanyak 14 kali, sudah seharusnya ia katakan itu sebagai sebuah mukjizat.
Mbul kecil pun bergegas menuju parkiran. Sepedanya sudah ia tambatkan sedari tadi bersama puluhan sepeda lainnya yang kebanyakan adalah sepeda jengki.
Ia memang tak pernah lupa dimana ia biasa meletakkan sepedanya. Terlebih karena warnanya yang gampang diingat. Merah menyala. Sementara kebanyakan sepeda lainnya berwarna hitam. Juga tidak ada keranjangnya. Lain dengan sepedanya yang khas. Berkeranjang~warna merah.
Begitu ketemu, sepeda itu segera ia lepaskan sandarannya dan ia tuntun sampai ke depan gerbang sekolah. Setelahnya baru ia naiki sepanjang jalan menuju ke rumah.
Siang yang cukup terik. Padahal hari sudah menuju sore. Tidak kurang dari 45 menit lagi, pengeras suara dari arah masjid sudah akan mengumandangkan suara adzan.
Sesampainya di sebuah turunan, dikayuhnya sepeda mininya itu hingga keranjangnya bergetar hebat karena angin yang bertiup dari arah berlawanan memperlambat laju sepedanya. Rambutnya yang tebal kian acak-acakan, sementara seragam sekolahnya untuk Hari Rabu ini sudah cukup bau matahari. Ia dan sepeda mini warna merahnya itu kini terpanggang siang jalanan desa yang kanan kirinya membentang sawah dengan padi yang telah menguning. Di sela-sela pematangnya, tumbuh subur daun keladi yang permukaannya seperti diayun-ayun angin. Ingin rasanya ia sampai rumah dalam hitungan menit.
Setibanya di rumah, hanya ada bunyi jam tua yang menyambut. Deriknya yang teratur kian mempertegas suasana sunyi di suatu siang menuju surup. Sunyinya terpantul-pantul diantara dinding-dinding tembok yang dilabur putih. Mbul kecil pun mengucap salam berulang kali. "Assalamualaikum!" Sambil dituntunnya sepedanya itu dan pagar ia katupkan selotnya sampai ujung paling pol. "Assalamualaikum!" Tidak ada jawaban. Rupanya Bapak ibunya belum pulang dari tempat kerja.
Ia pun berandai-andai, seandainya Bapaknya sudah kondur dari aktivitas mengajar di kota kabupaten sana, maka biasanya Bapak akan menyuruhnya untuk membeli rokok di warung sebelah, warung Prima yang sebenarnya tak bernama.
"Nduk, kono tumbaske Bapak Jarum 76 sebungkus neng gone Prima. Ngko jujule nggo kowe." Ujar Bapak sambil menyodorkan selembar kucel uang puluhan ribu bergambar wanita pemetik daun teh yang berwarna kehijau-hijauan.
Mbul kecil pun mengangguk. Ia langsung sigap menerima lembaran uang itu sambil menjawab, "Nggih Pak. Nek jarum 76 mboten wonten gantine nopo?"
"Yo gudang garem." jawab Bapak.
"Mangke, arto kembaliane kangge Nita nggeh. Nita bade tumbas jajan."
"Yo wes kono, budalo Cah Ayu." sahut Bapak yang seolah kalimatnya itu menjadi hal yang paling ditunggu karena sama halnya dengan ungkapan Mbul kecil bakal mendapatkan uang jajan ekstra di luar uang saku yang biasa diberikan selama ini. Kalau sudah begitu rasanya hari-hari menjadi semangat. Memang dengan Bapak semuanya menjadi asyik. Tidak seperti ibu. Terlampau hitung-hitungan seperti pembukuan akuntansi, hihihi. Di kepalanya pun langsung terbayang beberapa kandidat jajan yang ingin dibelinya. Apakah roti isi selai stroberi, anak mas, lidi-lidian, kenji, snack gulai ayam, balon tiup, atau mainan bongkar pasang.
Segera kakinya yang hanya beralaskan sandal jepit kebesaran itu ia bawa ke warung Prima yang hanya berjarak 10 meter dari rumah. Prima sebenarnya hanyalah nama seorang anak laki-laki dari pemilik warung yang bernama Lek Imron. Tapi memang yang paling sering melayani pembeli adalah Prima. Kalau tidak ya Sendi adiknya. Namun ia berharap bukan Mbahnya yang melayani. Sebab selain sudah sepuh dan agak cerewet, Beliau juga lama dalam hal menghitung total kembalian terutama ketika uang yang dibayarkan pembeli termasuk ke dalam nominal besar. "Jadi...mari kita putuskan mau jajan apa dengan sisa uangnya?"
Mbul kecil sangat menyukai roti isi selai yang tak ia ketahui apa mereknya. Rotinya slice 2, bentuknya bundar. Tengah-tengahnya itu ada layer selai stroberinya. Kental dan juga merah. Takarannya bisa dibilang tidak sedikit. Mungkin lebih dari 1 sendok makan penuh.
Pernah sebelum hits yang ini, selai stroberinya diganti dengan cream yang warnanya agak ngepink tapi juga banyak putihnya. Dan kalau sedang makan itu serasa mulut belepotan krim pencukur kumis. Mbul kecil tidak masalah akan hal itu. Selain karena rasanya manis, teksturnya juga sangat lembut dan cocok dengan 2 buah roti penangkupnya. Sementara untuk roti isi selai stroberi merah tanpa cream, rasanya pun seperti jackpot. Ketika digigit permukaan rotinya yang empuk, tahu-tahu bagian tengahnya seperti memenuhi rongga mulut. Selai yang merah dan kental itu seperti dijepit oleh rotinya dan rasanya betah saja untuk diemut-emut.
Yang jelas dagangan jajan di warung Prima memang musiman. Ada saatnya yang dijual model roti-rotian. Ada saatnya ciki-cikian. Snack gulai ayam yang bungkusnya legend kuning ada gambar paha ayam yang digulai, kenji dengan gambar koboinya, atau Anak Mas dengan bungkus merahnya. Jika teringat yang pedas berbumbu pasti jawabannya adalah lidi-lidian. Jajan lain dalam bentuk nonpenganan, masih iseng suka beli balon tiup dan juga bongkar pasang.
Ahhhh.. tiba-tiba semua bayangan itu sirna. Sebab nyatanya memang Bapak belum pulang dari tempat mengajar. Bayangan roti isi selai, anak mas, lidi-lidian, kenjie, snack gulai ayam, balon tiup atau mainan bongkar pasang tidak jadi ia beli dengan kembalian uang kucel seharga Rp 20 ribuan. Yang bisa ia lakukan hanya menengok isi tudung saji dengan malas. Ada apakah gerangan di baliknya?
Sisa nasi kenduri dengan 1 jenis lauk yang masih layak makan.
Telur rebus.
Mbul Kecil yang kelaparan akut segera mencari garam ke arah dapur. Ia berjalan tergopoh-gopoh hingga kucing yang ada di depannya berubah posisi tidur dengan bunyinya yang sember itu tidak mengaum duluan dan kucing tersebut pun berubah menjadi harimau benggala lalu mengagetkannya.
Setelah garamnya ia temukan, segera dikupasnya telur rebus itu dengan hati-hati supaya permukaannya yang mulus tidak rusak, dari situ ia tutul-tutulkan telur itu di atas garam untuk selanjutnya ia luncurkan ke dalam mulut. Nyammmm! Gurih bagian kuningnya berpadu dengan kenyal bagian putihnya menjelma menjadi satu snack pengganjal lapar dengan harga ekonomis. Sebab hanya ada itu yang terlihat di atas meja. Lainnya tidak ada. Maklum, jika ada stok kue biasanya langsung ibu sembunyikan dengan dalih untuk suguhan tamu. Praktis Mbul Kecil sering kelaparan.
Jikalau telur tidak ada, biasanya masih ada alternatif lain yang tak kalah ajaibnya, misalnya kopi bubuk yang disendokin dengan gula pasir. Merek yang biasa digunakan adalah Kopi Kapal Api. Nanti makannya dikremus-kremus saja serasa makan permen Kopiko dalam bentuk bubuk. Iya digado gitu. Atau kalau tidak ya ngemut gula jawa sebagai pengganti permen. Pernah pula ngemilin susu bubuk tanpa dibikin minuman. Jadi sama seperti kopi bubuk dengan gula pasir tadi, susunya disendokin lalu mendarat ke dalam mulut. Ow....Mbul Kecil sungguh kreatif bukan?
Telur rebus ditambah garam...itu hanya 1 dari sekian contoh...hehehe.