Senin, 03 Oktober 2022

Review Only Yesterday



Review Only Yesterday



Film yang diadaptasi dari manga Omoide Poro-Poro karya Hotaro Okamoto dan Yuko Tone ini memang menawarkan sesuatu yang lain dari biasanya untuk kelas production house animasi kenamaan-Ghibli. Kalau biasanya kita disuguhkan film-film ajaib yang penuh dengan dunia khayal beserta tokoh-tokohnya, maka kali ini tidak untuk Only Yesterday. Film ini murni tentang pencarian makna hidup. Sebuah drama realis, cakupan umur dewasa.


Sutradara : Isao Takahata
Produser : Toshio Suzuki
Penulis : Isao Takahata
Berdadarkan : Omoide Poro-Poro karya Hotaru Okamoto dan Yuko Tone
Cast : Miki Imai, Toshiro Yanagiba, Yoko Honna
Musik : Katz Hoshi
Sinematografi : Hisao Shiraisi
Produksi : Studio Ghibli
Tanggal rilis : 20 Juli 1991
Durasi : 118 menit

Bercerita tentang Taeko Okajima (disulihsuarakan oleh Miki Imai), film ini memberikan warna baru dengan mengawinkan langsung 2 tokoh yang sama namun berbeda usia dalam slot per slot adegan yang nyaris berbarengan. Satu, Taeko pada saat usia 10 tahun (tahun 1966). Dua, Taeko pada saat pada usia 27 tahun (tahun 1982), dimana dirinya telah menjadi wanita karier yang matang. Sengaja alur dibuat maju mundur oleh Takahata demi mendapatkan chemistry yang kuat antara Taeko dewasa dengan Taeko kecil. Karena sejatinya tokoh utama dari film ini masih dibayang-bayangi kejadian masa lalu, bahkan dengan kadar yang lumayan ekstrem karena pada usianya yang sekarang tak ada satu gairahpun yang terpancar dalam dirinya meski sudah mapan sekalipun. Belum menikah? Bisa jadi, karena pada beberapa scene terlihat raut frustasi (yang dibalut dengan kepura-puraan tameng--saya baik-baik saja) ketika mendapat berondongan pertanyaan dari sanak family yang memaksanya untuk segera melepas masa lajang. 

Untuk melupakan semua beban yang ada, Taeko pun mengajukan cuti selama 10 hari untuk berlibur ke Desa Yamagata (dimana tempat tinggal keluarga kakak iparnya berada). Berlibur di desa ini rupanya telah menjadi semacam goals karena sedari kecil ia selalu iri tiap kali melihat teman-temannya pergi berlibur di rumah nenek yang ada di desa. Sedangkan ia sendiri memang sudah hidup seatap sepenanggungan dengan sang nenek yang notabene bermukim di pusat Kota Tokyo. Jadi desa ini ibaratnya sudah menjadi satu kebutuhan mewah bagi Taeko.

Selama perjalanan menggunakan sleeping train (kereta dengan fasilitas tempat tidur), pikiran Taeko mengawang ke beberapa tahun silam dimana ia masih menjejakkan kaki di bangku SD kelas 5. Dalam benaknya, rasa-rasanya baru kemarin saat ia untuk pertama kalinya makan nanas--oleh-oleh dari sang ayah saat mampir di Ginza, lalu pingsan di pemandian air panas saat berlibur ke Atami, serta ditembak oleh teman lelaki dari lain kelas yang jago baseball. Ia juga ingat dengan detail bagaimana bocah perempuan di kelasnya sedang meributkan peristiwa datang bulan untuk pertama kalinya sehingga berbondong-bondong membeli celana ganti khusus datang bulan yang jadi bagian dari program sekolah, namun pada akhirnya malah bocor ke telinga anak lelaki karena kecerobohan seorang teman. Dikatakan pada masa itu---tentunya dengan pemikiran bodoh ala anak-anak, bahwa haid adalah sesuatu yang memalukan bahkan menular sehingga bagi siapa saja yang ketahuan haid bakal jadi sasaran olok-olok. Sialnya, Taeko yang pada suatu ketika terserang pilek (sehingga diperintahkan ibunya untuk libur kegiatan olahraga) malah disangka haid oleh teman-teman cowoknya. Hal tersebut dipertegas dengan adanya satu teman yang absen olahraga juga mengingat ia sedang benar-benar haid. Alhasil, dari situlah keduanya menjadi bulan-bulanan anak cowok sebagai pasangan yang sedang datang bulan.

Part-part kemalangan juga ditampilkan dengan sangat menyentuh pada film ini. Lebih tepatnya ketika Taeko harus berhadapan dengan sikap keras orang tuanya, pun demikian dengan kedua kakaknya yang bawel. Misalnya, saat ia sedang antusias menceritakan karangannya yang berhasil dipajang di muka kelas dan mendapat pertimbangan oleh Pak Guru untuk diikutkan kompetisi, sang ibu malah memfokuskan diri pada sisa asinan bawang yang tidak ia habiskan di selipan roti tawar sisa makan siangnya. Beliau lantas mengomel dan mengeluarkan perkataan yang cukup menusuk bahwa Beliau lebih senang putrinya jadi tukang makan yang baik ketimbang pintar pelajaran mengarang. Di lain waktu, saat nilai matematikanya anjlok (hanya mendapatkan nilai 25 dari rentang 100--padahal nilai sains sudah mendapatkan nilai B), sang ibu pun tercetus kalimat yang agak menyakitkan hati karena menilai otak Taeko tidak normal mengingat pembagian dalam bentuk pecahan saja tidak becus ia kerjakan. Di sini, Taeko pun harus membuang gengsi untuk diajari oleh kakak nomor duanya yang bawelnya setengah mati dan malah membuatnya semakin frustasi pada pelajaran matematika.

Tokoh ayah juga diceritakan sedikit otoriter karena membelenggu passion utama dari sang putri, meski pada tahap dewasa hal tersebut pada akhirnya cukup dimaklumi. Kisah sedih pertama terjadi saat Taeko ingin sekali dibelikan tas baru seperti yang didapat teman-temannya. Pasalnya, selama ini ia selalu mendapatkan barang bekas dari kakak-kakaknya. Saat keinginan tersebut tidak dituruti, iapun merajuk karena kesal dengan perlakuan menyebalkan kakaknya yang nomor 2--Yaeko, akhirnya sang Ayah malah menamparnya walau dalam keadaan reflek karena menganggap putri bungsunya ini sangat egois. Di lain hal, otoritas tersebut juga dikendalikan oleh sang ayah manakala ia berhasil unjuk kebolehan di drama sekolah hingga nyaris ditawari untuk berlakon di tingkat drama yang lebih tinggi, namun pada akhirnya (lagi-lagi) gagal karena tidak diperbolehkan oleh sang ayah. Kata ayah : “Tidak ada masa depan untuk bisnis drama kelak.” Nah, mungkin memori-memori sedih itulah yang membentuk pribadi Taeko dewasa menjadi lumayan keras (juga sedikit memberontak dari pakem-pakem ketimuran).

Cerita terus bergulir sampai kereta Taeko tiba di stasiun tempat ia berlibur. Di sana sudah ada Toshio, sepupu dari kakak iparnya yang ditugaskan untuk menjemput. Pagi-pagi buta mereka bertolak dari stasiun dengan mengendarai mobil tua kuning untuk menuju rumah nenek Toshio setelah sebelumnya memetik bunga safflower (bunga yang digunakan sebagai bahan dasar perona pipi), meraciknya dari proses fermentasi hingga pengeringan, bertani, memerah susu sapi, dsb. Di sini, penggambaran setting pedesaan yang diciptakan sangat sukses memanjakan mata karena begitu warna-warninya bagai goresan cat air pada selembar kanvas. Takahata rupanya cerdas betul dalam mengeksplore area Desa Yamagata dalam wujud 2 dimensi yang pada tahun 1991-pun terdeskripsikan dengan sangat elok. Bagaimana hijaunya padi yang baru ditanam, rindangnya pohon-pohon di hutan, tanah-tanah desa begitu gembur dan becek berkat guyuran hujan, lautan bunga safflower yang kuning dengan bulir-bulirnya yang demikian indah hingga mengundang para tawon untuk mengecup satu-satu, bahkan sayur-mayur yang digambarkan selintasan nampak begitu cerah seperti tomat, ketimun, dsb. Film ini rupanya tidak melulu soal cerita, tapi bagaimana mengemasnya jauh lebih menarik dari segi visual meski dialog yang tidak begitu banyak cing-cong.

Taeko juga diceritakan makin bersahabat dengan keadaan setelah hampir sepekan berada di desa, khususnya setelah mengenal Toshio yang digambarkan sebagai pemuda desa yang hangat dan mengayomi. Toshio yang lebih muda, nyatanya mampu mengademkan hati Taeko yang cenderung childish, galau, penyendiri, tidak percaya diri, dan selalu berbalik pada kejayaan masa kecil. 

Konflik baru muncul di 38 menit menjelang penghabisan, saat nenek Toshio menyarankan agar Taeko (yang kelihatannya sudah betah di desa) untuk menikah dengan cucunya Toshio. Seperti yang sudah-sudah, (meski jauh dalam lubuk hati yang paling dalam ia mulai tertarik pada Toshio), namun bibir seperti berkata jangan. Taeko masih berusaha mengelak bahwa pernikahan akan membuatnya terbebas dari beban-beban masa lalu. Nah, di sini saya rasa film sudah mulai menunjukkan tanda-tanda 'gregetnya' dimana. Meski sialnya, di detik-detik terakhir Taeko masih saja menyimpan rapat perbincangan dengan sang nenek dari Toshio hingga diantarkan kembali ke kereta terakhir menuju Tokyo. Yah walau sebelumnya sudah sempat curhat juga tentang satu part masa kecilnya yang lain tentang seorang kawan yang ia duga begitu membencinya, namun sebenarnya tidak (berdasarkan analisa Toshio yang lagi-lagi sukses membesarkan hati). Yah, karakter Toshio ini memang disetting sebagai penyeimbang pribadi sang tokoh utama yang rapuh dan butuh perlindungan (sebenarnya namun gengsi untuk mengakui). Bersyukurlah, karena endingnya ditutup dengan manis tatkala Taeko berubah pikiran setelah mendapat pengaruh dari bayang-bayang kanak-kanaknya saat masih SD untuk lebih membuka hati pada sesuatu yang sifatnya menyenangkan di kemudian hari. Bahkan pada lagu penutup digambarkan pula bahwa Taeko akhirnya berlibur ke desa kembali, namun kali ini dengan misi khusus untuk menemui Toshio (meski tidak diceritakan secara detail akan seperti apa rencana-rencana mereka ke depan). Yang jelas film ini penuh dengan makna hidup yang sering pula kejadiannya terjadi di sekitar kita. Benar bukan? 

Adegan yang saya suka dari Only Yesterday :

Saat keluarga Taeko untuk pertama kalinya makan buah nanas. Sekeluarga tampak terlihat bingung karena memang sebelumnya belum pernah menyantap buah tropis ini, sampai-sampai perlu waktu beberapa hari untuk bisa tahu bagaimana cara memakannya. Setelah sukses mengupas, barulah mereka harus menelan kekecewaan akibat rasanya yang kurang bersahabat dengan lidah, sehingga pada akhirnya raja buah tetaplah mereka sematkan pada buah pisang (Saya pikir ini part yang lumayan lucu untuk direnungi, karena meskipun sederhana toh sejatinya memperlihatkan satu nilai culture tertentu pada keluarga Jepang yang membiasakan diri untuk makan bersama, meski hanya makan buah sekalipun. Sangat kekeluargaan sekali bukan? Pesan moral lainnya adalah, jangan mudah terbuai oleh sesuatu yang dari luar kelihatan menarik, tapi ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi. Begitu pula dengan kehidupan. Silakan artikan sendiri jika ditautkan dengan perumpamaan tadi.

Adegan saat Taeko kecil dijodoh-jodohkan dengan teman dari kelas lain. Kadang semburat merah langsung terpancar pada pipi keduanya hingga bisa dipastikan cinta monyet ini susah sekali untuk dilupakan. Taeko merasa saat-saat itulah dirinya menjadi pribadi yang sangat manis meski dengan kemampuan akademis yang rata-rata air. Taeko dengan rambut pendek dan kulit putihnya yang bak pualam seolah tergerus usia karena menurut pengamatan saya, beda sekali ya antara dia saat masih kecil dengan saat usia 27 tahun. Taeko dewasa ketika tertawa atau tersipu, gurat-gurat di otot pipinya langsung terbentuk dengan sendirinya sehingga membuat karakternya terlihat jauh lebih tua jika dibandingkan dengan kakak-kakaknya bahkan ibunya pada saat ia masih bocah. Entahlah...

Adegan saat sore-sore sepulang dari pertandingan baseball, dimana anak lelaki yang menaksirnya memanggil dari kejauhan, lalu dengan kode-kode kecil mengisyaratkan bahwa ia suka Taeko. Di sinilah perasaan Taeko langsung melambung setinggi awan dengan digambarkan betulan sedang terbang-terbang diiringi arian dengan ekspresi yang sangat cute. Model penggambaran ini berlaku juga saat Taeko membayangkan dirinya sukses bermain drama dan menjadi bintang meski pada akhirnya harus kandas karena tak mengantongi restu dari sang ayah.

Adegan paling menyentuh sekaligus bikin nyesek adalah saat ia ingin tas baru seperti kakaknya, namun diabaikan oleh orang tuanya, lalu pada akhirnya ditampar karena dianggap egois. Di sini, Taeko seakan meledak emosinya hingga menangis beberapa hari dan sempat membuat saya yang menontonnya ikut teraduk-aduk. Menjadi Taeko dengan latar belakang orang tua yang tak begitu mengerti potensi anak memang kadang menyebalkan, walau tak selamanya hal tersebut salah. Karena bisa jadi itu bukan yang terbaik untuk masa depan sang buah hati.

Terakhir, adegan saat matahari menampakkan batang hidungnya di pertanian bunga safflower yang membuat para petani segera mengheningkan cipta untuk berdoa pada yang Kuasa. Di sini Takahata memperlihatkan adat budaya masyarakat lokal Jepang yang begitu agamis dan sangat arif dalam mengelola alam yang bakal menjadi penghidupannya. 

Source pict : Only Yesterday imdb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

I'm Mbul. Thanks for visiting here and dropping by. Your comments are always appreciated. Happy blogging ฅ(^・ω・^ฅ)