Assalamualaikum wr wb...
Malam-malam, udara dingin dengan sisa gerimis masih menitik. Pohon-pohon tinggi pun ikutan basah mengitari rumah membentuk bayangan hitam seperti kanopi. Di ruang tamu Pak Kyai sedang merampungkan tadarus Quran yang dihadiri oleh Bapak-Bapak satu RT setelah sebelumnya sudah kenduri slametan pada sore harinya. Tinggal penutupan saja, nanti piring-piring berisi sate ambal dan soto hangat dalam mangkuk sudah harus disiapkan karena akan ada makan bersama sebelum pulang. Kemungkinan selesainya sampai pukul 22.00 WIB.
Malam di desa terasa demikian lambat, tapi entah kenapa aku begitu menikmatinya detik demi detik karena suasana yang nyaman sekali. Udara terasa sejuk meski tanpa AC. Dan struktur bangunan rumah masa kecil Tamas ini memang sengaja dibikin dengan banyak ventilasi. Langit-langitnya tidak ada plafond atau eternit, langsung genteng. Menjadikan angin bisa masuk kapan saja lewat celah-celahnya, sehingga ketika malam hari tiba, udara akan terasa lebih dingin dari biasanya. Apalagi bergerak menuju Subuh itu bisa lebih dingin lagi sampai membuat badan menggigil. AC alami, begitu Tamas biasa membercandaiku.
Sayup-sayup suara kodok di kejauhan timbul tenggelam diantara kecipak hujan yang membasahi bumi, mengantarkan hawa kantuk luar biasa karena bunyi 'tungtowt tungtowt'-nya yang merdu seperti menghipnotisku untuk segera rebahan. Sampai akhirnya badan ingin segera diajak ke peraduan, dengan suara sisa hujan di balik jendela yang tinggal sedikit.
Pagi harinya, wangi pete yang digoreng berikut kulit-kulitnya menguar tajam menggelitik penciuman, juga ikan sungai yang baru dientas dalam serok. Kedua jenis lauk sederhana yang menemani sisa lauk sehabis kenduri yang ditaruh dalam piring-piring. Juga ada kue apem merah jambu, sambal goreng krecek telur puyuh, mie goreng, dan ayam ingkung di balik tudung saji. Wah...tak sabar ingin segera mencicipi. Walau kali ini sarapan akan terasa sedikit lebih berat, apalagi Tamas juga masih menggodaku dengan iming-iming durian sebagai pencuci mulut. Wah...durian terlalu berat sebagai pencuci mulut hihihi. Tapi buat siang, okaylah...
Menikmati suasana desa di pagi hari adalah sebuah kenikmatan hakiki yang tak kudapati di kota. Ayam jantan di luar sana naik ke tanggul pembatas kali dan berkokok dengan riangnya di bawah pohon klandingan. Pohon yang tumbuh liar dan menjadi peneduh jalan setapakan desa yang bermuara pada sebuah terowongan berumpun bambu. Tempat itulah yang biasa kami sebut sebagai terbis, tempat dimana Tamas sering iseng mengajakku memetik buah markisa yang tumbuh di sela-selanya, dengan dedaunan yang melungker-lungker dan menjulur di antara markisa yang masak. Markisa agak kecut tapi jika dijadikan minuman dan diberi sedikit gula mengingatkanku pada sirop markisa dengan merek lumayan terkenal yang dulu biasa muncul di teve saat Bulan Ramadhan tiba. Atau panen buah pisang yang sudah masak dari pohonnya langsung. Kami punya beberapa jenis pisang, yang kadang tahu-tahu sudah menguning dan tak perlu diimbuh dengan tumpukan daun sengon.
Di ujung, akan ada hamparan sawah yang baru masuk masa tandur. Jadi lahan masih basah dipenuhi dengan air, tanaman padi baru saja disebar benihnya sehingga masih begitu hijau dan membutuhkan beberapa bulan lagi untuk bisa dipanen. Sebenarnya petakan-petakan sawah ini tak semua ditanami dengan tanaman padi. Beberapa space lain malah ditempati oleh beberapa tanaman lain seperti lumbu dan juga enceng gondok dengan bunganya yang berwarna ungu. Tempat capung-capung sawah hinggap berkelebatan lalu terbang lagi. Atau tempat kodok bermain ci luk ba. Sesekali tanaman putri malu yang bunganya merah jambu memenuhi pinggiran area yang lebih mirip kolam (sisaan sawah yang tak terpakai), dan ia begitu basah oleh titik-titik embun. Betapa pagi hari yang penuh dengan syukur.
Nanti, begitu siang menjelang, kami biasa main ke Kutoarjo, sekedar untuk jalan-jalan ke Pasar atau cari tempat makan yang enak secara random saja. Misalnya, es dawet hitam yang berada di depan pesareannya Alm Bapak Dlg, yang berbeda dari dawet hitam paling terkenal searea situ. Usai 'bersih', Tamas biasanya mengajakku nyruput ndawet dulu sambil ngadem dan menikmati pemandangan jalan raya tempat truk-truk lewat atau colt yang menuju ke terminal. Ah...angin sepoi-sepoi membuat sruputan dawet semakin syahdu...
Keesokan harinya, giliran rumah kulon yang kami inapi. Memang akan ada rencana ke Magelang sore itu untuk mengantarkan Bapak dan juga Ibuku untuk tilik sedulur yang ada di sana. Meski kami datangnya agak siang, tapi alhamdulilah lancar. Malah jadinya nda terlampau kesusu-susu karena aku masih sempat say hay dengan kucing-kucing Bapak dan mengamatinya bermain di area sumur. Ah, rumah masa kecilku....hihi. Selalu penuh kenangan manis, walau tetap saja rumah paling nyaman dan selalu ternyaman adalah rumah mungilku bersama Tamas yang ada di rantau, hihihi..
Bergerak selepas dzuhur, barulah kami jalan ke Magelang dengan melalui rute Mbener, Purworejo yang banyak sekali tanjakannya. Jadi nanti memang akan banyak melewati sisi-sisi lereng pegunungan dan pemandangan jembatan dengan sungai yang sangat besar juga berbatu, menghadap gunungan-gunungan biru. Lumayan macet dan mabuk jadi sebagian dari kami memutuskan untuk bobok, minus Tamas, Bapak dan juga Ibu yang masih asyik mengobrol. Baru setelah memasuki area Magelang Kota dan mata udah terbuka, rasanya jadi segar kembali. Apalagi ditambah dengan suasana perut yang sudah meronta-ronta minta untuk segera diisi, maka ke Secanglah kami akhirnya~memutuskan untuk makan siang yang sebenarnya sudah terlanjur kesorean.
Sambil maem, sambil Tamas cari penginapan di Traveloka buat kami nginap 3 hari 2 malam |
Pagi Hari di Pasar Papringan
Agenda terniat sekaligus ditunggu-tunggu sehari sebelum tiba di Temanggung usai sarapan yang super duper kilat di penginapan adalah goes to Pasar Papringan. Kami bergerak sekitar pukul 9 pagi dan harus melalui jalanan pegunungan yang meliuk-liuk naik turun. Beberapa kali kami harus melewati hamparan kebun mbako dan juga sayur mayur yang menyejukkan mata. Ada kol atau kubis, tomat, sawi, chilipadi, suku terung-terungan dan lainnya. Bunga-bunga gunung (bakung) berwarna kuning juga menghias halaman rumah warga menambah indah suasana. Dan jalanan yang naik turun lalu naik lagi membuatku ingin melukisnya dalam ingatan.
Begitu sampai Pasar Papringan, seketika itu juga ada perasaan takjub dalam kepala. Pasar Papringan begitu apik dan ikonik dengan alas pringnya sehingga banyak dikunjungi wisatawan tak hanya dari desa setempat, tapi juga dari desa lain bahkan luar kota atau provinsi. Untuk mencapai ke sana, kami harus melalui serangkaian jalan setapakan desa yang mengecil dan kanan kirinya adalah rumah bercat warna-warni milik warga. Banyak terdapat tanaman bunga dan juga buah di halaman rumah mereka. Juga kucing-kucing kampung jantan yang menggemaskan karena wajahnya bulat. Kami juga harus masuk-masuk ke dalam gang yang naik ke atas. Rumah-rumah di sekitarnya, sekali lagi tampak klasik dan bersahaja. Tapi justru dari situlah letak seninya.
Kendaraan kami parkir di lapangan yang memang sudah disiapkan warga setempat untuk parkir. Berjalan cukup lama sekitar 10 menit dan areanya menanjakat terus, baru setelah itu sampailah kami di sebuah hutan bambu yang cukup singub, sepi, namun cantik berbarengan dengan bebunyian gamelan yang ditabuh oleh Bapak-Bapak yang mengenakan busana adat dan juga blangkon. Wow....kami seperti disambut dengan kalimat Sugeng Rawuh meski tanpa aksara.
Kami berjalan terus sampai gapura selamat datang dan menukarkan uang yang dapat dibelanjakan di Pasar Papringan yaitu uang bambu. Ada beberapa macam stand yang bisa kami sambangi diantaranya stand hewan peliharaan seperti marmut dan juga kambing, permainan tradisional, sayur mayur pleus buah-buahan, juga jajanan tradisional dan wedang-wedangan atau es-es-an. Semuanya tampak begitu menarik karena banyak yang baru kulihat saat itu juga sehingga membuatku ingin untuk membelinya.
Praktis, dalam sesiangan, yang kami dapatkan lumayan banyak. Ada labu, sengkulun, gethuk pisang, gatot, ciwel, ketan enten-enten, dawet, dan juga wedhan telang. Tapi dikarenakan pasar sudah tutup jam 11 maka kami pun memutuskan untuk lanjut ke Gemawang ke tempat sedulur kami yang kerja di sana.
Romantic Forest in Gemawang
Gemawang adalah satu tempat yang membuatku jatuh hati akan hutannya. Lokasinya yang cukup jauh dari pusat kota sekitar 1 jam jika ditempuh dengan menggunakan sepeda motor . Nah, ketika membicarakan tentang Temanggung, maka yang terbersit dalam benakku adalah kotanya yang lumayan tenang. Maka dengan patokan itulah, bisa kukatakan Gemawang pun jauh lebih tenang karena berada di kota kecil yang ada di ada pinggir pegunungan. Tak heran jika jalanan alus yang kami lewati terkadang bersisihan dengan jurang.
Tapi membuang pandang ke arah jendela, aku merasakan di situlah letak indahnya. Pemandangan yang disajikan di depan sungguh sangat memanjakan mata. Pepohonan yang begitu rapat juga bebunyian tonggeret yang bersahut-sahutan dari arah pohon satu dengan lainnya. Bunyinya seperti menyatu dengan suara angin hingga siapa saja yang mendengarnya seperti sedang dininabobokan. Walau sayang tak bisa banyak mengambil gambar, cukup merekamnya dalam memori saja, bahwa kami pernah menjejakkan kaki ke sini.
Malam Melihat Suasana Imlek di Kelenteng
Sekembalinya dari Gemawang, kami pun menuju Magelang. Menuntaskan kewajiban dahulu seperti sholat, bersih-bersih badan, dan memejamkam mata walau sejenak. Paling tidak energi langsung tercharge full apalagi sebelumnya juga sudah wangi karena mandi dengan shower air hangat dan menanggalkan segala pakaian kotor dengan baju yang lebih tipis dan santai.
Malamnya, usai makan lauk yang dibungkus dari sebuah restoran yang kami sambangi siang, akhirnya malamnya ada kesempatan ngiter sebentar ke Alun-Alun kota walau ditemani dengan gerimis. Tujuan kami adalah kelenteng, sembari menikmati keindahan dan suasana Imlek serba merah di Klenteng Liong Hok Bio di Tahun Kelinci Air ini.
Keesokan harinya, sudah harus balik dari Magelang menuju rumah. Dalam perjalanan, kami sempat membeli oleh-oleh sirkaya yang di depannya persis menjulang sebuah gunung. Sekalian memotret, sekalian pula kami membeli sirkayanya. Meski yang dijual tak hanya sirkaya tapi ada juga legen nira kelapa fermentasi.
Mandeg bentar karena Tamas, Kakak A, dan Akung (Bapakku) hendak membeli sirkaya, aku memotret gunung dari jalan raya |
Perjalanan pulang kami harus tersendat oleh serangkaian kemacetan hingga lewat jam makan siang Bapak mengusulkan untuk ke Mbruno dan nyate kambing dulu di sana. Sate kambing jamannya Bapak masih ngajar di STM, dan sampai kini masih beroperasi. Rasanya begitu autentik dengan visual kedainya yang klasik.
Esoknya, sebelum betul-betul balik ngulon atau kembali ke perantauan, kami nginap sehari di rumah Ibu Dlg. Ada besekan kenduri sedulurnya Ibu (Pakdhe yang daleme nyebrang rel ke Selatan) yang akan ngunduh mantu jadi mampir sana sebentar. Ternyata sekalian panen rambutan.
Meski siangnya aku benar-benar menangin pohon rambutan berikut rambutannya yang tengah berbuah lebat usai makan siang di Warung Pojok Mbah Tinah Karangduwur Purworejo dengan iwak melem dan ayam kampung goreng plus sambal bawang dadakan yang nikmatnya Subhanalloh...
*Tulisan yang diketik saat hari hujan dan aku memandangi akuarium kecil di samping akuarium punya Tamas. Khusus akuarium kecilku diisi ikan-ikan requestku yang kata Tamas ikannya senyempluk pipiku, ikan warna oranye bersemu kemerah-merahan.......
ฅ(^・ω・^ฅ)(´✪ω✪`)♡