Selalu ada sepersekian detik untuk manyun ketika Ibu mengagendakan aku dan kakak untuk menginap di rumah nenek kala kami masih SD dulu. Pasalnya, aku sebel banget kalau udah disuruh nginap di sana.
Hal tersebut lebih ke karena kami ga gitu sering kumpul selain sama keluarga inti, tak terkecuali nenek. Apalagi kami nantinya akan tidur bareng nenek sementara ibu ga ikut dan hanya ngedrop kami saja. Huuuft rasanya agak angot-angotan akutuw kalau udah ada agenda itu, haha... Tapi herannya, ibu selalu saja mengagendakan itu tanpa mempertanyakan terlebih dulu persetujuanku, mau atau ga. Ya, harap maklum...waktu kecil aku kan anaknya biyungen banget. Jadi, opo-opo ibuk, opo-opo ibuk. Pokoknya aleman banget deh aku sama ibuk. Pisah bentar aja ga mau. Apalagi dititip ke rumah nenek wkwk... Tatud.
Tapi kalau agenda itu udah ada, maka ibu akan mengantarkan aku dan kakak dengan menggunakan sepeda motornya. Setelah ngobrol bentar dengan nenek, biasanya ibu langsung pulang, sedangkan kami ditinggal. Entah karena mau pacaran saja dengan bapak--menikmati moment sekali-kali tanpa diriweuhin anak--istilahnya me time kalau kata orang jaman sekarang, atau memang karena keesokan harinya ada penataran atau dinas keluar kota.
Pernah nih, (waktu aku masih keciiiiiiiil banget), di suatu malam yang sedang berhujan lengkap dengan petirnya yang menyambar-nyambar, ibu dan bapak mengantarkanku ke rumah nenek setelah menembus jalanan dengan menggunakan mantol tapi habis itu aku ditinggal karena memang besokannya ibu mau penataran ke luar kota, sementara bapak harus ngajar di seperti biasa. Jadi daycare dadakannya ya rumah nenek, hihihi...
Lalu apakah yang terprogram dalam ingatanku dan masih terbayang-bayang hingga kini ? Begitu menjelang tidur, kami kan udah kumpul semua tuh di kamar nenek. Ada nenek (atau biasa kami sebut sebagai mbah putri), mbah kakung, aku, kakak, juga tante paling bontot. Ya ibu sama bapak mah ngobrol sebentar tapi abis itu langsung pulang. Nah, itu tuh dalam hatiku serasa pengen teriak "Jangan dinggaaaallll !" Hahaaa. Mana teringatnya pas malem-malem itu TV di kamar nenek masih nyala lagi. Dan kebetulan yang disetel adalah film horror Suzzana yang ceritanya tentang Nyi Roro Kidul. Jadi aku teringatnya malah bagian itunya. Pokoknya yang di salah satu adegan ada yang bilang kalau main ke segara kidul jangan pake baju ijo. Ntar takutnya bisa kendang alias keseret ombak, padahal aku ga tau juga itu bener atau ga #ampun deh kemakan film kan akunya hahahaha..
Naik Motor via Jalan Desa yang Beberapa Kali Harus Melintasi Kuburan Kampung
Tapi ga memungkiri juga bahwa agenda menginap ini cuma untuk latihan aja biar aku dan kakak semakin akrab dengan nenek. Ya, soalnya kami disuruh ngancani nenek barang 1-2 malam aja di rumahnya yang berbeda kabupaten, walaupun jaraknya hanya beberapa kilo saja dari rumah.
Sabtu siang sekitar jam 2-an, ibu akan membonceng aku dan kakak untuk melewati jalan desa yang menuju ke rumah nenek. Naiknya motor alpha butut yang kalau mau riting itu bunyinya khas "tilut tilut tilut"...kurang lebih seperti itu bunyinya. Aku di posisi tengah, kakak di belakangku, ibu nyetir motor pelan-pelan. Beberapa kali kami harus menerobos perkampungan lain yang jaraknya lumayan jauh dan antar rumahnya disekat kebon juga pekarangan. Mana pohonnya tinggi-tinggi lagi. Jadi yang kuhapal dari jalanan desa itu ya langitnya yang gelap karena pohonnya tinggi. Walaupun uda ada yang diaspal alus tapi ada pula yang masih berupa jalan tanah yang kalau hujan becek banget penuh dengan kubangan lumpur. Jangan lupa, setapakan dengan kombinasi batu-batu kerikil yang batas pinggirannya agak jeru alias dalem jadi kalau simpangan ama kendaraan lain musti ati-ati bener biar nggak njeglong alias ngglimpang ke arah semak-semak.
Tapi itu belum seberapa dibandingkan dengan harus melewati kuburan yang jumlahnya ga cuma satu. Sebab ada beberapa titik kuburan yang harus kami lewati dan kesemuanya secara visual tampak M-E-N-Y-E-R-A-M-K-AN.
Kuburan pertama yang kami lewati masih dalam satu desa walaupun letaknya sudah nun jauh di perbatasan sana, dekat dengan desa tetanga. Kompleknya cukup luas dan benar-benar singub. Keberadaannya sudah terendus dari radius sekian kilometer berkat lambaian pohon kamboja yang ranting serta bunganya udah kelihatan dari jauh. Dia cuma dipagerin pake semen dengan ornamen tertentu yang teralisnya berbentuk mblenduk-mblenduk....dan ketika lewat, walaupun bisa dibilang mata cuma dalam posisi mengintip, tapi rasanya tuh bener-bener serem. Dalam fantasiku sebagai bocah kala itu, rasa-rasanya kok itu kuburan ngedark banget. Gelaaapnya minta ampun...bikin ku pengen merapal doa dalam hati dan buru-buru memposisikan jari jangan sampai dalam keadaan menunjuk. Soalnya waktu kecil aku sempat kepikiran kata-kata temen yang suka cerita horror, yaitu kalau jari sampai menunjuk area pekuburan, itu artinya jari akan langsung membusuk.....astaga temenku itu yah, sakses membuatku terbuai takhayul... Ditambah pula kata-katanya yang menakutiku andai bertemu dengan kunang-kunang, itu artinya aku bertemu kukune wong lanang eh maksudnya kukune wong mati...wakakak...(heran, kadang di umur-umur SD, ada saja teman yang hobi cerita horror, dan aku pun percaya-percaya aja saking pikiran masih lugu banget, wakakak).
Nah, itu baru kuburan pertama, kuburan selanjutnya udah masuk desa yang berbeda. Posisinya nyeberang sawah yang tetep aja areanya dipenuhi dengan pepohonan tinggi yang didominasi oleh kamboja dan juga jati belanda. Kalau yang ini masih agak jauhan dikit dari jalan raya, walaupun kijingnya tetep aja kelihatan. Ngomong-ngomong kijing itu bahasa jawanya dari nisan gengs, itu loh yang biasanya udah bentuk keramik...hehe...
Kuburan selanjutnya kelihatan jelas dari jalan aspal alus yang kami lewati. Posisinya persis di samping tempat penggilingan padi yang kalau siang masih oke lah kelihatan banyak orang, tapi kalau malem, udahlah mamam seremnya, hahaha... Pernah ya, kami lewat sore-sore eh lah da lah malah ada iring-iringan orang menggotong keranda sambil menyebutkan lafaz la ilaha illalloh dengan derap kaki cepat. Sontak aja aku langsung ngeh bahwa itu rombongan pengantar jenazah. Dan karena takut, otomatis ya aku merem aja sembari bilang pada ibu supaya ngebut ngendarain motornya.
Tapi ibu selalu menasihatiku supaya ga usah takut. Yang penting tiap lewat jangan lupa bilang : "Assalamualaikum !" supaya selamat sampai tujuan. Jadi bisa dibayangkan ya, karena rutenya melewati ga cuma 1 kuburan, jadi beberapa kali itu pula aku harus mengucapkan salam walaupun kulakukan sambil merem atau menghadap ke punggung ibu.
Terintimidasi Lukisan di Tempat Nenek
Setibanya di rumah nenek, pasti yang kulakukan pertama kali adalah melakukan serangkaian tur alias penjelajahan mulai dari area depan sampai belakang. Dari jembatan kecil yang dibawahnya kali dengan tambahan tempat duduk yang terbuat dari semen berlapis tegel dengan posisi menyerong yang sering kami sebut sebagai brug. Lalu setelah itu ada pagar dari semen juga yang di sela-selanya ditanami bunga sepatu (baik yang biasa ataupun yang mekrok alias bunga sepatu susun, bunga soka, kembang kertas, kembang pacar yang biasa buat kutekan kuku, dll). Lalu ada setapak panjang yang di pinggir-pinggirnya masih berupa tanah dengan satu pohon rambutan besar berdiri di tengah-tengahnya. Kalau sedang musimnya, berbuahnya lebat sekali loh (sampai kadang dijual-jualin). Pohon rambutan lainnya ada juga sih di halaman samping, tapi yang paling gede ya yang ada di depan itu. Baru abis itu ada teras yang pinggir lantainya dibikin berundak dengan jajaran pot pada lantai terbawah. Potnya ditanami berbagai macam tanaman hias macam suplir, lidah mertua, kuping gajah, krokot, dll.
Sebenernya aku lumayan hapal sih dengan type rumah nenek yang dulunya merupakan rumah jadul era-era tahun 90-an mulai dari yang awalnya bercat ijo dan pintunya dari papan kayu yang bisa dilepas satu-satu kayak pinto toko/ warung itu loh....sampai kemudian mengalami pemugaran beberapa kali jadi tembok yang pada beberapa sisinya dipasang batu alam hitam putih dan yang terakhir setelah nenek meninggal lalu rumah berpindah tangan ke tante paling bungsu sudah dalam bentuk dinding keramik putih. Tapi yang paling kuingat sih pada saat rumahnya masih bercat ijo, lantainya tegel hitam, depannya ada teras berundak serta di depan pintunya pas ada papan kayu yang biasa digunakan untuk jalan motor ketika akan masuk rumah.
Penjelajahan selanjutnya adalah berpindah ke ruang tamu. Ruang tamunya model memanjang ke samping jadi sanggup menampung aneka perabot furnitur walaupun ga semuanya setipe. Ada kursi kayu khas jawa yang dudukannya dari ayaman rotan, tapi kerangka kursinya beneran kayu yang ada ornamen-ornamennya itu loh. Lalu ada kursi yang stylenya lebih santai lagi dengan dudukan menyerupai karet yang bisa dibenggang-benggang. Tapi paling nyaman sih kursi kayu yang dudukannya anget karena pake busa dengan cover orens semi kecokelat-cokelatan. Nah, karena kursinya itu banyak, jadi mejanya juga banyak. Dan kalau lebaran tuh toples yang dipajang mengikuti kapasitas mejanya juga, wkwkwk...
Sudut-sudut penting ruang tamu sebenarnya ga cuma bertumpu pada meja kursinya aja. Tapi juga buffet yang terletak di belakang kursi dan satu akuarium ikan berlampu terang yang ditaruh di pojokan.
Pertama, buffetnya dulu deh. Buffet kayunya ini terdiri dari beberapa bagian. Ada yang berupa rak-rak yang isinya terlihat dari luar, ada pula yang berdaun pintu. Yang berdaun pintu sih paling-paling isinya gelas atau piring hias yang biasa dijadikan kado nikahan. Tapi, yang lebih menarik perhatianku adalah rak yang isinya kelihatan dari luar itu. Yaitu beberapa cinderamata dari hasil pencariannya Mbah kakung waktu dines keluar kota semasa menjabat sebagai kepala sekolah di sebuah sd negeri di desanya. Cinderamatanya macem-macem. Ada yang dari kerang-kerangan, ada pula yang dari kayu-kayuan. Yang dari kerang-kerangan aku ingat banget ada yang bentuknya menyerupai merak, ada yang menyerupai kuda laut. Meraknya sepasang. Kuda lautnya 4. Terus yang dari kayu ada yang bentuknya diorama penari, wayang, kuda, burung garuda, dsb...
Habis itu mata selanjutnya tertuju pada akuarium yang ada di pojokan. Akuariumnya kecil. Tapi terang banget lampu-lampunya. Mengingatkanku pada akuarium yang ada di kartun finding nemo. Tapi serius yang ini kecil kok. Hiasannya aja yang banyak. Ada pasirnya, rumput-rumputannya, karang-karangnya, bahkah satu yang menarik perhatianku adalah kerang-kerangan yang terhubung dengan lampu dan bisa membuka sendiri dimana di dalamnya ada patung putri duyung beserta sebutir mutiara. Seneng deh ngamatinnya, apalagi kalau lihat sela-sela hiasannya itu jadi tempat ikan koki sliwar-sliwer dengan jambulnya yang lucu....
Nah, yang paling membekas dalam ingatanku adalah lukisan besar yang letaknya di atas buffet dan juga akuarium itu. Lukisannya sih biasa aja sebenernya. Tapi entah kenapa gambarnya itu terasa magis buatku. Lukisannya tentang rawa-rawa atau hutan gitu lah tapi ada ranting pohonnya gede banget. Mana warnanya surem lagi. Hijau lumut dominan orens langit sore.
Marathon Ngliatin Album Pengantin
Tak ada yang lebih istimewa ketika nginep di rumah nenek tanpa ngeliatin foto album pengantin. Ya apa lagi kalau bukan foto pengantinnya anak-anak nenek yang jumlahnya ada 5 cewek semua, termasuk ibu.
Rampung eksplore ruang tamu, biasanya aku dan kakak langsung menuju ruang tengah dan berebut album pengantin Tante (plus ibu) yang numpuk di lemari. Memang dulu kan fotonya dicetak dan disimpan dalam album ya, beda dengan foto jaman sekarang yang pakenya soft copy dan kalau mau lihat tinggal dicolok ke komputer atau leptop flash disknya, bahkan banyak juga yang disimpan di media sosial, hehe. Ya nama pun foto pengantin jadoel ya, jadilah tempat penyimpanannya masih dalam bentuk album.
Jadi di lemari itu ada bertumpuk album yang kebanyakan isinya foto resepsi pengantinnya anak-anak Mbah dari anak pertama hingga anak terakhir. Dari foto pengantinnya ibuk sampai foto pengantinnya tante yang paling bontot. Walaupun hampir kesemuanya pake adat nganten jawa paes surakarta, tapi yang kulakukan adalah membandingkan antara rias pengantin tante 1 dengan tante lainnya. Termasuk paesnya ibu. Kira-kira paling cantik riasannya siapa. Foto yang paling manglingin dan banyak senyum fotonya siapa. Soalnya ada juga yang hampir semua fotonya ga senyum hahaha... mungkin tegang kali jadi pengantin anyar. Terus kebaya ganti setelah beludru item bersepuh emasnya warna apa aja, patah (pengipas pengantin) serta domasnya cantik-cantik atau ga, plusss kukomentarin juga tuh masalah kipasnya. Apakah mekrok berbulu indah atau ga, hahaha...
Sampai pada suatu ketika, kami nemu beberapa pose foto pengantin yang kelihatan lumayan mesra dibandingkan pose di foto lainnya. Ya, namapun pikiran bocah yang serba polos ya, jadi waktu itu secara otomatis masa aku tereak : "Ih tante kok saru ya, cium-ciuman ama Om segala !" Ugh la la... haha padahal yang kulihat cuma pose foto pengantin yang sedang mencium kening pasangannya, wkwkkw...
Pagoda Pastilesnya Mbah Kakung
Selain hobi marathonan album pengantin Tante (dan juga ibu), aku juga suka ngacak-ngacak isi kabinet kamarnya nenek yang penuh dengan make up punya Tante yang kebanyakan uda expired... Ada lipstik yang udah ceprol ujungnya, eye shadow yang udah cowel di sana sini, perona pipi yang tinggal separuh, bedak yang bisa dipastikan udah dari jaman baheula, dll (tapi kok ya herannya masih dibiarin njogrog aja dalam lemari, ga ada yang dibuang). Alhasil dibikinlah jadi bahan eksperimen para cucunya ini hahaha...
Selain nemu beragam alat make up, yang paling sering kutemui adalah kaleng tempat permen pagoda pastiles yang bentuknya bulat dan permennya segitiga dengan aroma semriwing itu. Permen kesukaan Mbah Kakung. Sering betul Beliau beli sehingga bekas kalengnya pun bertebaran di mana-mana. Tapi aku sendiri paling suka sama yang rasa buah ketimbang yang semriwing pedes alias yang rasa original.
Majalah Kartini Jadoel
Ada satu hal yang membuatku lumayan berkompromi ketika diajak menginap di rumah nenek. Tak lain dan tak bukan karena keberadaan tumpukan tabloid dan majalah wanita kayak Nova, Kartini, dan juga Femina yang semula adalah koleksinya Tante.
Padahal waktu itu aku masih kecil, tapi kok yo iso-isone takbaca semua meski itu berisi cerpen dewasa, kasus artis era tahun itu, juga profil-profilnya. Ga heran, meskipun aku besar di era 90-an tapi aku tetep tahu loh deretan artis lawas karena emang dari kecil udah doyan baca majalah, meskipun harusnya diperuntukkan untuk dewasa ya. Bahkan ada satu cerbung yang masih aku ingat sampai sekarang. Isinya kurang lebih tentang kisah cinta penuh intrik yang judulnya Setangkai Mawar Kuning, oh myyyy....hahaha... Pernah suatu kali karena saking inginnya aku bernostalgia, maka kuhuntinglah Majalah Kartini jadoel sampai area Blok M Square dan alhamdulilahnya sih dapat walaupun cuma 1 edisi.
Jengkol Goreng
Pertama kalinya aku rasan jengkol ya di tempatnya nenek ini. Kala itu keadaan perut sedang 'ngelih-ngelihnya', ya udah aku geratakan aja nyari apa yang sekiranya bisa dimakan. Siapa nyana, di bawah tudung saji cuma ada sepiring jengkol mentah, sambal dadak, serta ikan peda goreng. Karena penasaran dengan si bulat yang berwarna kuning meling-meling itu, kucobalah untuk mencicip barang segigit-dua gigit dulu. Elahdalah, pas terasa dalam kecapan lidah, kok ya saat itu juga aku pengen nyengir kuda. Saking rasa tu jengkol mentah kok sepet amat ya bikin lidahku kebas. Beruntung di pawon, aku lihat ada yang udah digoreng dan masih nangkring di atas serog. Penasaran dengan rasanya, akhirnya kucomotlah satu dan kurasa-rasa dengan seksama. Ternyata yang ini lumayan enak. Rasanya mirip emping, tapi kenyil-kenyil gitu deh karena dagingnya padat. Ya demikianlah kenanganku waktu icip jengkol pertama kali karena selama ini sosoan ogah nyicip gegara waktu itu terintimidasi karena baunya yang aduhai semerbak.
Jamban Cemplung yang Bawahnya Blumbang Buat Piara Ikan
Ini sih sebenernya nyanggupin kakak yang kalau lagi kebelet 'hajat' pasti pengennya nongkrong di jamban cemplung yang bawahnya merupakan blumbang tempat miara ikan. Lokasinya ada di area belakang dekat kebon nanas dan juga durian. Bahkan ga jarang kami nemu taneman yang menyerupai pakan ular. Kadang tuh ya, aku mikir dalam hati, kok ya bisa kakak betah amat nongkrong di situ sembari menikmati semilir angin dari atas area bilik bambu yang terbuka. Sementara aku nunggu di luar sambil nangkapin capung pake plastik tapi abis itu ya diterbangin lagi. Ah ngaku aja luh suka nongkrong juga di situ Mbul...hahhaha, ya pernah sih satu-dua kali, tapi tetep aja menurutku ga sepewe kamar mandi dalem, wakakka. Soalnya takut ada ular.
Main Masak-Masakan Pake Bunga Sepatu dkk, Ceplok Piring, Teh-tehan, dan Mie-Miean
"Nduk ojo main ning pinggir kali ya, ngko ono ulo...", ujar ibu berkali-kali mengingatkanku dan kakak yang selalu terpesona pada kali yang ada di depan rumah nenek. Memang bukan sekedar peringatan belaka kata-kata itu, sebab satu-dua kali kami pernah menyaksikan sendiri ada ular yang melintas di area kali. Itu loh ular yang coraknya lorek-lorek hitam putih.
Jadi, sebagai gantinya ya kami main masak-masakan aja. Atas nama membaur dengan alam, kami masak-masakan sambil kotor-kotoran karena pakainya tanah sebagai nasinya, daun ceplok piring yang diiris-iris sebagai sayurannya, tumbuhan tali putri sebagai mie-mie-annya, juga bunga-bunga sepatu plus kembang soka sebagai cabainya. Nanti kalau ada transaksi jual beli, duitnya pake daun teh-tehan. Semakin gede bentuk daunnya, ceritanya semakin tinggi nilai nominalnya, katakanlah ibarat duit 100 ribuan kalau jaman sekarang.
Nanti kalau lagi kumat centilnya, biasanya kami pura-pura bergaya ala wanita dewasa sambil nempelin kelopak bunga kertas atau kembang ganyong yang warna-warni di atas kuku-kuku kami.
Rujakan Jambu Wer sama Tetangga Tempat Mbah
Ga lengkap rasanya kalau masa kecil ga diwarnai dengan main dengan yang sepantaran, ada pula yang lebih gede dari kami. Kami biasanya rujakan jambu wer yang bumbunya pedes banget. Jambu wer itu jambu air tapi yang bentuknya kecil-kecil. Warnanya merah terang, beda sama jambu bol yang bentuknya memanjang ya. Kalau ga diajakin makan ke rumahnya dan disayurin oseng kangkung hasil masak sendiri plus lauk ikan pindang, wuh syedap.
Senangnya ketika Dijemput Kembali oleh Ibu
Ga terasa, jika sudah melewati siang dan sore dengan segala macam agenda kanak-kanaknya, rasa hatiku lumayan lega juga. Sebab sebentar lagi bakal malam dan kami pengen cepet-cepet merem walaupun kenyataannya ga bisa.... mungkin karena faktor bukan di kamar sendiri kali ya, jadi susah bobok. Jadilah meski nenek udah tidur dengan pulasnya, tapi aku masih merem-merem doang, ga dalam kondisi tidur sama sekali. Bahkan di gendang telingaku ini rasanya bunyi irama jam dinding yang tik-tik-tik terasa mengganggu sekali saking aku susah tidurnya... Barulah ketika keesokan harinya suara deru sepeda motor ibu udah kedengaran dari jalan raya, maka hati ini langsung gembira karena itu artinya 'kewajiban' menginap di rumah nenek ini usai sudah..
Ya walaupun pulangnya harus on repeat sama rute 3 kuburan yang kuceritakan di awal... Tapi biasanya aku langsung ngantuk sih jadi ga merhatiin lagi suasana jalannya kayak apa. Jadi untuk menghindari aku jatoh dari boncengan, akhirnya aku diiket aja pake jarik yang dihubungkan ke pinggang ibu, hehe...
Demikianlah sepenggal kenanganku akan rumah nenek. Kadang-kadang aku kangen juga pengen merasakan suasana yang sama kayak yang kuceritakan di atas. Sayangnya rumah nenek yang sekarang ditinggali Tante sudah banyak berubah. Majalah Kartini dan Tabloid Nova jadoelnya entah pada ilang kemana