Oleh : G Nita
Blurb :
"Sial!", Larasati memberengut waktu ia berdiri seraya menepis-nepiskan butiran pasir dari roknya yang basah kuyup.
Seorang laki-laki muda bergegas mendatanginya.
"Mari kubantu," menawarkan jasa
"Terima kasih, Prana. Sudah bersih sekarang." Ekaprana menggeleng.
"Blousemu juga basah. Mengapa tidak kau buka saja. Nanti kau masuk angin..."
"Aku tak pakai behaa...." wanita itu bergumam malu.
"Apa salahnya? Tak ada orang lain di sekitar tempat ini,"
"Ada.."
"Siapa?"
"Kau!"
***
Pemuda itu adalah seorang pengarang atau penulis di beberapa majalah hit di Ibukota. Karya-karyanya begitu 'menggigit'. Baik cerpen, cerbung, maupun noveletnya banyak digandrungi oleh kaum hawa. Beberapa sudah diangkat ke layar kaca maupun perak. Kemampuan menulisnya memang juara. Berbanding terbalik dengan percintaannya. Begitu pula kantongnya. Tongpes. 3 Penerbit yang rajin ia kirimi naskah cerpen sering memangkas honorariumnya. Tak jarang pula ia tidak dibayar sama sekali Alasannya, ya atas dasar menambal kasbon. Memang kehidupannya sebagai penulis tidak begitu menjanjikan kesejahteraan.
Suatu kali ia sedang stuck dengan naskah dalam mesin tiknya. Praktis bakal dialog cerpen dengan tokoh utama Larasati dan Ekaprana ciptaannya berulang kali ia renggut dari rol mesin tik itu lalu ia robek dan ia buang ke tempat sampah. Puyeng rasanya memikirkanya. Sudah 4 bulan ini ia menunggak uang sewa rumah. Dan induk semangnya mencak-mencak. Tapi untuk mengisi perutnya saja rasanya sudah susah. Ia hanya bisa ngopi di warung pojok di pinggir jalan dan makan seadanya. Apa yang bisa dimakan ya itu yang dimakan. Tidak bisa sok mbois.
Di saat kehidupan seperti mengejeknya, tiba-tiba saja datang sebuah telegram dari kakeknya yang tinggal di sebuah kaki gunung. Isinya mengabarkan bahwa sang kakek minta dijenguk cucunya yang tidak tahu diri ini. Memang antara Kakek dan Cucu ini biarpun saling 'ceng-cengan' tapi aslinya akrab dan saling menyayangi. Ya, sudah 10 tahun sejak ia merantau di kota, tak sekalipun ia menengok sang kakek. Padahal kakeknya punya tanah dan perkebunan teh yang luas. Pabriknya adalah yang terbesar di sana. Juga beberapa roda bisnis lain yang dijalankan. Kalau boleh jujur sebenarnya ia tidak begitu berselera berurusan dengan bisnis kakeknya. Namun mengingat kantongnya sudah tongpes, maka tak butuh waktu lama baginya untuk segera mengemasi pakaian dan berangkat ke sana, melangkah pasti melewati gang becek dengan kepala penuh harapan. Walau kakeknya tentu saja tak mengundangnya seorang diri, melainkan masih ada 1 orang lagi yaitu M....adik sepupunya yang dulu saat masih berusia 8 tahun sering ia ledek sebagai gadis kecil belepotan ingus. Maka gadis itupun menangis kencang dan meminta perlindungan pada anak sulung Pak Dayat, tukang kebun Kakek. Memang anak itu cengeng. Tapi seperti apa rupanya sekarang, pemuda itu tidak tahu.
Setibanya di rumah Kakek, pemuda itu masih saja mendapatkan sisa-sisa humor receh yang mengocok perut. Meski beliau sudah nampak kuyu dan kurus, namun beliau tetap saja riang karena cucu yang dinanti-nanti akhirnya datang juga. Ia tak sabar ingin segera meninggal dalam keadaan tenang setelah tahu bahwa kekayaannya akan jatuh ke tangah ahli waris yang sah, tentunya setelah pemuda itu menikah dengan cucu perempuannya yang satu lagi.
Pada suatu sore, pemuda itu bercakap-cakap dengan Pak Hidayat tentang perubahan desa ini selama 10 tahun terakhir. Bernostalgia dengan kenangan masa itu, saat-saat Pak Hidayat muda sering naik kretek di jalanan yang belum beraspal hingga akhirnya naksir Bik Yayuk, tukang sayur bahenollll yang kini sudah belasan tahun diperistrinya. Ya cerita ngalor ngidul sebagai bumbu selamat datang. Namun karena lelah, pemuda itu akhirnya ingin beristirahat dulu tanpa mengindahkan tawaran air hangat yang akan dijerang Bik Yayuk untuknya mandi. Bik Yayuk memang telaten. Meski kini sudah menua bersama Pak Hidayat, tapi beliau tetap gape mengurus rumah.
Usai percakapannya dengan Pak Hidayat menuju rampung, tak lama kemudian mata pemuda itu menangkap arah jendela yang menghadap lembah di tepi telaga. Di sana pikirannya kembali menerawang. Bahwa bentuk telaga yang oval mengingatkannya pada seraut wajah manis yang pernah berenang di sana. Mereka saling bermain air, memerciki wajah dan bersenda gurau, lalu saat menuju ke tepian, dibantunya gadis itu naik ke atas, dan mereka saling berhadap-hadapan. Tubuh mereka merapat. Mata si gadis setengah pejam, dan bibirnya sedikit terbuka. Namun pemuda itu---yang kala itu masih remaja tanggung---hanya bisa gemetaran dan tak tahu harus berbuat apa. Ia ingin. Tapi hanya bisa diam saja. Sampai akhirnya gadis itu kecewa dan berjalan pergi tanpa menoleh lagi.
Pemuda itu pun kembali kepada realita. Saat berbincang dengan sang kakek, tiba-tiba beliau bilang apakah pemuda itu sudah bertemu dengan cucunya yang satu lagi. Jawabannya sih belum. Sampai akhirnya di ambang pintu kamar si kakek, berdiri seorang gadis cantik bermata bundar, dengan seulas senyum yang menikam jantung hati. Bukan itu saja, buah dadanya juga membusung lantang, menembus gaun malam tipis merah jambunya yang menutupi lekuk pinggangnya yang manis. Ah....gadis kecil yang dulunya belepotan ingus itu.
Review Gemas-Gemas Disayang, Abdullah Harahap
Tak kusangka dan tak kuduga, novel roman jaman dulu bisa sebagus ini. Ingin rasanya kuberikan standing applause. Karena gaya bahasanya yang aduhai sekali. Gemas-Gemas Disayang. Mendengar judulnya saja rasanya sudah membikin gemas bukan? Dan juga penasaran. Segemas apa sih ceritanya? Seromantis apa ia? Karena roman yang menggemaskan itulah yang aku cari. Gemas yang dalam artian romansa penuh dengan kisah-kisah manis yang mendebarkan.
Memang tak bisa dipungkiri, novel roman jaman dulu ada kekhasan tersendiri di bagian judulnya, selain juga covernya yang kebanyakan adalah potret seorang wanita cantik seperti yang terdapat dalam lukisan. Dan itulah yang kadang membuatku tergoda untuk membeli bukunya secara fisik. Karena jujur aku lebih suka mengoleksi buku fisik ketimbang e-book. Memang akhir-akhir ini, aku lagi rajin membaca novel lagi, sekedar untuk mencermati bagaimana gaya penulis zaman dulu dengan penulis zaman sekarang. Nah, salah satu yang kemarin berhasil kubeli adalah bukunya Motinggo Busye, Maria A Sardjono, La Rose, Mila Karmila, Barbara Cartland, dan Abdullah Harahap ini.
Abdullah Harahap dengan romannya yang khas. Gaya bahasanya ada sensasi-sensasi tersendirinya karena cara beliau menggambarkan 'bunga-bunga kalimat'nya sungguh tak biasa. Ada banyak majas yang digunakan. Dan itu menurutku asyik, mencerminkan penulisnya begitu lihai memainkan kata... memberikan nyawa pada setiap tulisannya. Terlebih yang aku tandai adalah bagaimana beliau dengan sangat lincah menggambarkan karakteristik tokoh wanita di setiap novelnya yang begitu menggoda khayal. Pokoknya menarik dan ada khasnya sendiri aku bilang.
Lalu khusus pada judul kali ini, bisa kukatakan alurnya seperti mengantarkanku pada modelan cerita pada film era-era sebelum aku lahir yaitu era 80-an, dimana ibuku mungkin kala itu baru menikah dengan bapak, hehe. Film roman yang penuh dengan bahasa mendayu-dayu, sedikit cengeng, tapi tetap menarik untuk dilihat. Ini terkesan pada bentuk dialognya yang banyak menggunakan kata sapaan 'aku' dan 'kau'. Begitu pula dengan Gemas-Gemas Disayang. Ada banyak lika-liku kehidupan yang dialami si tokoh 'aku' yang dalam hal ini berprofesi sebagai penulis hingga akhirnya banting setir menjadi calon pengusaha yang akan dikawinkan dengan wanita pilihan Kakeknya. Tokoh utama wanita yang bisa dikatakan sangat lovely dan cute. Sehingga untuk bisa menyukai ceritanya terasa mudah saja (bagiku), karena jujur untuk membaca satu cerita terlebih roman, aku sangat pilih-pilih saat memutuskan untuk menyukai bukunya atau tidak ya dengan menilik karaktetistik tokoh-tokohnya, terutama yang wanita. Akhir kata, buku ini bisa aku bilang cukup menggemaskan, sesuai dengan judulnya. Love !!!