Senin, 30 Januari 2023

Gemerisik Rumpun Bambu Menemaniku di Pasar Papringan Temanggung



Hello Temanggung, pagi hari yang indah setelah sarapan kilat dari Atria Hotel Magelang, kami pun segera berangkat ke tempat yang direkomendasikan oleh saudaraku yaitu Pasar Papringan, Ngadiprono. Lokasinya ada di Dusun Ngadiprono, Ngadimulyo, Kedu, Temanggung, Jawa Tengah. Kenapa dikatakan unik? Karena bukanya ga setiap hari. Hanya pada hari tertentu saja yaitu Minggu Wage dan Minggu Pon.



Kebetulan saat kami ke sana memang ngepasi hari Minggu, dan itupun Minggunya Minggu Wage jadi kami bisa berkesempatan untuk melihat langsung aktivitas apa saja yang ada di sana, sekaligus mengetahui bahan pangan apa yang dijual, kue-kue tradisionil yang katanya menarik baik dari segi rasa, bentuk, maupun warna, juga mata uang yang digunakan yaitu pring (bambu).

Selain itu, aku juga penasaran dengan nama tempatnya yang menggunakan nama papringan sebagai taglinenya. Artinya pasarnya ini memang berada di hutan bambu. Belum begitu nggunung tapi areanya sudah menanjak. Terbayang dalam benakku bahwa suasananya bakal adem, sejuk, silir-silir angin, enak banget buat ngadem karena areanya memang berkanopikan bambu-bambu gunung.





Singkat kata, kami pun berangkat dari Magelang pukul 09.00 WIB walau menurut info saudaraku, pasarnya tutup sampai pukul 12.00 WIB. Ya, sambil berdoa aja semoga di jalan ga kena macet karena memang kami liburan ngepasi Hari Raya Imlek (22 Januari 2023). Tapi Tamas nyetirnya santai aja sih. Sebab kami jalan tanpa itinerary. Biar Akung Uti (Bapak Ibuku ga kemrungsung). Sebab kan Beliau-Beliau ini emang type yang panikan ya hihihi. Jadi biar kami yang lebih muda ini bisa ngguyubi supaya suasana terasa chills dan riang. Nyenengin orang tua, ngajakin halan-halan hihihi....

Selama perjalanan everything just fine. Formasi masih sama kayak perjalanan sebelumnya dimana Kakung dan Tamas pada bagian depan. Uti sama Mas Montogh pada bagian tengah. Sedang aku sama si Kakak bagian belakang. Nanti rencananya habis dari Pasar Papringan, kami akan ke Gemawang nengok saudaraku yang gawe di sana. Areanya indah banget. Memang agak terpencil. Karena untuk menuju ke sananya harus melalui hutan jati, tapi serius indah banget, meski harus hati-hati sekali karena sisi seberangnya sudah jurang dan dari kejauan nampak pegunungan yang gagah membiru dengan langit....MasyaAlloh.... 




Kira-kira kalau dari Magelang Kota sekitar 1 jam-an menuju Temanggung dengan medan jalan yang meliuk-liuk indah karena sudah masuk wilayah pegunungan. Bahkan sebenernya di banyak sudut yang kami lalui, aku serasa ingin berhenti sejenak untuk mengabadikan moment karena memang suasananya yang indah sekali. Banyak bunga-bunga gunung berwarna-warni yang merambat di pagar-pagar rumah warga desa. Ada bunga terompet kuning, mawar kayu merah jambu, juga bunga dengan kelopak tumpuk berwarna ungu muda semu putih. Aku baru tahu namanya Bunga Garlic Vine atau Stevanot Ungu....

Aku bilang ama Tamas, pengen kalau taman atas dah jadi mau kasih tanaman hias dan kembangan kayak gitu deh. Adem. Terus Beliau bilang : "Coba Dedek cari di Tordjo ntar kalau di bakul tanaman hias ada, tumbas. Apa Dedek minta bibitkan dari rumah warga desa, sana methil sedikit nyuwun distek-ke!" Geggegegk. Malu tapi pengen.... 🤭🤣 Tapi Tamas mah lebih gercep mau nanam sayuran dalam pot. Nanti bawahnya dikasih ikan. Ya untuk hobi sekaligus buat lauk maem kami hahhaha.


Tukang fotonya aka si admin Nita Mbul (aku sendiri), Blog Gembulnita, www.gembulnita.blogspot.com


Nanti begitu sudah mendekati lokasinya, akan ada hamparan sawah yang luas dengan komoditas sayuran gunung yang tumbuh subuh di sana, di bawah gagahnya Gunung Sindoro Sumbing. Di area sini banyak tanaman cabai tumbuh subur, selain tentu saja tembakau, dan kol.

Kiranya sejam perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda empat, akhirnya tibalah kami di Dusun Ngadiprono yang dimaksud. Sebelumnya kami sempat bertemu dengan beberapa kelokan dimana seorang warga desa akan menariki tiket masuk. Nanti kami juga akan diarahkan untuk parkir di sebuah lapangan yang cukup luas. Nah, jalan desa yang mengantarkan kami ke lapangan itulah yang menurutku menarik sekali. Rumah-rumah warga tampak semarak dan sekali lagi banyak bunga cantik yang menghiasi halamannya di samping pohon buah seperti rambutan dan naga merah.






Usai mendapatkan tempat parkir, meski areanya sedikit betjek, kami pun segera berjalan kaki menuju pintu masuk pasar yang agak naik-naik ke atas. Mulanya melewati gang rumah warga desa yang sebagian masih menggunakan batu bata asli, lalu setelah itu sampailah ke hutan bambunya. 

Sejenak aku berhenti karena terkesima melihat pemandangan indah yang ada di depan mata. Hutan bambu ini seperti bernyanyi jika rumpunnya bergesek dengan angin. Suaranya merdu sekali menina bobokan mata karena ya, memang sejuk dan rimbun. Walaupun setelah kuamat-amati pada tempat yang lebih tinggi lagi itu merupakan area pekuburan tua dengan nisan-nisan kayu dan batu yang menyembul dari balik tanah. Kakung Uti ga sadar. Begitu pula yang lain. Yang ngerti cuma aku dan sedulurku hahhaha. Kakak A dan Mas Montogh sendiri adem ayem karena dimomong Akung, Uti, dan juga ayahe. Hingga Mbul bisa eksplore beberapa foto menarik yang memanjakan mata.















Seperti yang kutulis di atas, papringan dalam bahasa jawa berarti hutan bambu atau kebon bambu. Karena letaknya biasanya di belakang rumah warga di banyak pedesaan di Indonesia, maka papringan identik dengan tempat untuk membuang uwuh. Jadi umumnya itu 'njembrung'. Dari sinilah Spedagi (Organisasi yang bergerak di bidang revitalisasi desa) ingin mengangkat hal ini menjadi suatu potensi yang bisa dikembangkan oleh masyarakat setempat. Bahkan Spedagi berharap bisa menjadikan tempat ini sebagai tempat konservasi kebon bambu, mengangkat kearifan lokal, serta memberdayakan warganya lewat menjual aneka makanan sehat, kerajinan tangan berkualitas baik, hasil tani lokal, dan lainnya. 

Pasar Papringan Ngadiprono ini menggunakan sistim bongkar pasang. Jadi warga desa bisa mempersiapkan gelaran pasar 1-2 minggu sebelumnya. Ada rapat rutin yang dilakukan, juga gotong royong membersihkan kebon bambunya, juga memasang lincak bambu dan keperluan gelaran pasar lainnya. Pelaksanaannya sengaja menggunakan penanggalan pasaran jawa dengan tujuan untuk mengenalkan kembali hari pasaran jawa yang kadang mulai terlupakan generasi muda. Pasar dibuka dari pukul 06.00-12.00 WIB.


























Rumpun bambu yang memiliki luas 2.500 meter persegi ini membawa pemandangan lain begitu kami memasuki pintu masuk yang menyerupai gapura dari bilah bambu yang dihias. Nah, di atasnya itu akan ada rule of the game sistem penukaran uangnya yang menggunakan bilah pring atau bambu. 1 pring dinilai Rp 2000. Nanti kisaran produk yang dijual diantaranya :

Makanan ringan : 1-2 pring
Makanan berat : 3-7 pring
Minuman : 2-9 pring
Hasil tani : 1-6 pring
Kerajinan : 2-15 pring

Tempat penukaran uangnya juga dibagi menjadi beberapa macam diantaranya penukaran kelipatan Rp 2000, Rp 20.000, sampai Rp 50.000. Tamas mencoba menukarkan pringnya sebanyak Rp 100.000 agar bisa puas mencicipi aneka hidangan yang dijual atau hasil tani yang ada sebagai buah tangan atau oleh-oleh. Nanti kami cari makanannya bareng-bareng sambil nyari tempat buat ngaso.








My mother saat sedang membeli waluh atau labu, diriku sebagai anak wedoknya disuruh memfoto beliau saat sedang membeli waluh sebagai oleh-oleh dari Pasar Papringan


Begitu masuk setelah tempat penukaran uangnya langsung disambut dengan ternak marmut dalam kandang, juga domba. Ada pula ayam hutan tapi aku ga tau apa itu ayam hutan atau ayam yang dijual soalnya dia ga ada kandangnya. Sedang yang lain adla kandangnya. Nah, layam jantan tersebut sedang menotoli biji-bijian yang tersebar di tanah. Cantik sekali bulunya yang blirik walaupun itu ayam jago ya hihihi.

Masuk ke area tengah, suara gamelan jawa langsung menyambut kami seperti ungkapan selamat datang dan kami pun dipersilakan untuk melihat-lihat lagi ke dalam karena jujur materi dagangan yang dijual menarik-menarik banget. Kebanyakan yang masih nyisa (di sisa penghujung waktu karena hari sudah bergerak semakin siang) tentu saja kue-kue basah tradisionalnya. Ada banyak yang belum familier di mataku dan rasanya pun aku masih belum tahu. Makanya penasaran banget karena kelihatannya enak-enak sekali. Ada kue mendut, nagasari, jenang pisang, gethuk kacang merah, ongol-ongol, cethil, iwel-iwel, ketan iris, ketan enten-enten, wajik, awug-awug pink, timus, wingko, arem-arem, onde-onde, endhog bulus, kemplang ketan, gatot, thiwul, combro, misro dan lainnya. 





























Sedangkan minumannya ada dawet, wedang tape, susu kedelai, jamu, wedang kembang telang, dan wedang pring. Wedang Pring ini yang paling ikonik karena menggunakan bahan daun pring muda yang dicacah dan diremas-remas kemudian diblender dengan takaran air tertentu. Setelah itu direbus dan ketika sudah matang bisa diseduh dengan cengkih atau gula batu. Makanan beratnya juga lumayan banyak diantaranya nasi megono, pecel, nasi kuning, ramesan, oseng-oseng sayuran, gudeg, dan lainnya. Ada pula snack-snack kiloan yang dimasukkan ke dalam toples yang biasa untuk kerupuk uyel (kerupuk warung), juga hasil tani seperti bumbu dapur, buah-buahan dan sayuran hijau. Ibuku sendiri minta tolong fotoin pas beliau lagi beli labu. Kata Beliau : "Lumayan Nduk buat dibawa pulang oleh-oleh hasil Pasar Papringan". 

Ya, agak lumayan ya beli makanan di sini walau uang pringnya masih nyisa, hahahha...Yang penting udah beli apa yang sekiranya enak dan menarik buat dimaem bareng-bareng. Oh ya, pada saat belanja, Ibuku udah cepalango bawa tas sendiri loh...soalnya di sini sistimnya ga pake kresek atau plastik. Kalau mau wadah misal ga bawa tas, ya beli keranjang hasil kerajinan tangan warga lokal yang terbuat dari bambu.  Untuk pembungkus makanan dan minumannya juga ga pake plastik, tapi pake daun pisang, batok kelapa, atau gerabah. Memang ga semua dalam bentuk makanan, dan akupun beli mainan dari bambu juga yang bisa diputer-puter seharga 7 pring kalau ga salah ingat. Semantara untuk yang dimaem di tempat kami semua nyoba beli es dawet, dimaem langsung di bawah rimbunan bambu ^______^


20 komentar:

Warisan Petani mengatakan...

Macam2 jualan ada terutamanya makanan

Angie's Recipes mengatakan...

Lots of delicious and exotic treats again...hopefully one day I get to taste some of them!

MRENEYOO mengatakan...

Semua kue"tradisional yg mbknMbul sebut dibatas enak"semua dan saya suka,tapi yg warna merah itu lupa namanya apa mbk...kyaknya dari tepung beras dan kelapa parut campurannya/adonannya..tapi manis rasanya..unik juga ya cara pembayarannya ...btw di tulisan yg di bawah sebelum yg ini gak bisa kasih komen mbk..🙏

Titydwijayanti mengatakan...

Masa Alloh kue tradisionalnya weeenak semua jadi ngiler aq mbak nit . Oh ya terus itu ada kue warna hitam apa namanya ?

Khanif mengatakan...

kue tradisionalnya macem-macem ya mbak mbul, aku paling suka kue wajik yang warna cokelat, kayaknya terbuat dari ketan kalo gak salah, gak tau deeh :D

Veronica Lee mengatakan...

Lots of yummy treats!
I'd love to try them all!

Khanif mengatakan...

kue wajik aku sering dapetnya kalo pas ada orang ada punya gawe mantenan mbak, itu selalu ada di meja-meha tamu, gw sukanya pas masih anget :)

Rezky Pratama mengatakan...

jadi pengen minum dawet,

Ainun mengatakan...

dateng ke Pasar ini yang dari dulu aku pengen, dari Magelang ya lumayan juga ya mbak. Hiks. Kalau motoran ya berasa juga, tapi kalau rame rame seru.
Unik juga cara jualannya, pengen ngerasain langsung
terus wedang pring, ehh unik juga ini, baru tahu dan perlu dicoba juga ini

Rudi Chandra mengatakan...

Seru juga, bisa nikmati aneka jajanan tradisional, terus alam sekitarnya juga sejuk. Mantul.

fanny Nila (dcatqueen.com) mengatakan...

Tempat kayak begini niih yg aku sukaa banget nit. Banyak kue2 tradisionalnya. Kdg suka kalap sih kalo udh Nemu yg begini 😅.

Sebenernya udah tau lama ttg pasar Papringan ini, cuma ya itu, ntah kapan2 bisa kesananya. Menarik juga yaaa pake alat pembayaran lain. Anak2 pasti seneng Krn kayak main dagang2 an 😄

Rivai Hidayat mengatakan...

Aku ke pasar papringan tahun 2016 silam. Lumayan lama juga..hahaha
Ternyata masih tetap sama, transaksi pakai uang pring. Benar banget disana tidak tersedia plastik sebagai tempat barang belanja dan alas jajanan.

Saat itu beli kopi dan meminumnya di bawah pohon bambu sekaligus menikmati sejuknya temanggung. Jajanan pasarnya enak-enak. Bisa kalap kalau ga sadar diri.kwkwk

Wak Lat mengatakan...

Kayaknya kampung ni nyaman dan aman makmur subur kelihatannya.. aminn

NA mengatakan...

Wah pasar Jawa! Bermacam-macam kuih dan hasil jualan.

Nasirullah Sitam mengatakan...

Beberapa bulan lalu, aku di Jogja sepedaan bareng Pak Singgih. Beliau yang ngonsep pasar papringan ini. Duh bikin kangen ke sana lagi

Vina Lamoren mengatakan...

Temanggung kesan paling mendalam yang saya rasakan saat berkunjung ke sana adalah keramahan masyarakatnya. Sekaligus ingatan tak terlupakan karena tim liga tiganya pernah kalahkan Persipura 😭

Soal tidak ada kresek atau plastik saat untuk menyimpan belanjaan itu artinya orang orang sana sudah melaksanakan instruksi presiden tentang sampah yang bisa diuraikan dan tidak, tindakan nyata dari masyarakat dalam melaksanakan himbauan pimpinan, itu patut diapresiasi mbak🙏🏽🙏🏽 menurut saya 🙏🏽🤝

Serius nanya. Minggu Wage maksudnya apa mbak?

Mbul Kecil mengatakan...

Iya Pak Guru, makanya ibuku bawa tas jinjing dari anyaman bambu buat belanja 😊

Hari Pasaran dalam kehidupan masyarakat Jawa yang masih tetap dipakai sampai sekarang, terutama di daerah pedesaan adalah hari-hari di mana pasar tradisional tersebut buka, yaitu pada hari: paing – pon – wage – kliwon – legi/manis, mengikuti siklus mingguan kalender Jawa yang terdiri dari 5 hari 😁

Yonal Regen mengatakan...

Unik banget konsep pasarnya, Mbul. Apalagi kue-kue yang dijajakannya kayanya termasuk udah langka banget ya atau mungkin tidak ada di kota-kota. Jadi tertarik banget pengen ke pasar Papringan, ngerasaain kue-kue tradisional yang antik

Naia Djunaedi mengatakan...

Enak banget tempatnya, Mbul. Btw itu yang ditusuk pakai tusukan sate bentuknya kayak perkedel itu apa ya? penasaran

Martin Ruma mengatakan...

Saat dalam proses pendidikan di Jogja, Maliboro bukan tempat terbaik untuk saya, tetapi blusukan ke desa-desa jadi tempat favoriat saya karena masyarakatnya sangat ramah. Bukan berarti di Maliboro masyarakatnya tidak ramah, tetapi kalau saat berjumpa dengan masyarakat di pedesaan saya merasakan ada ketulusan dan cinta yang hadir dari keramahan penduduknya, "monggo mas Martin..." sapaaan demikian buat hati adem. hehehe