Hello Temanggung, pagi hari yang indah setelah sarapan kilat dari Atria Hotel Magelang, kami pun segera berangkat ke tempat yang direkomendasikan oleh saudaraku yaitu Pasar Papringan, Ngadiprono. Lokasinya ada di Dusun Ngadiprono, Ngadimulyo, Kedu, Temanggung, Jawa Tengah. Kenapa dikatakan unik? Karena bukanya ga setiap hari. Hanya pada hari tertentu saja yaitu Minggu Wage dan Minggu Pon.
Kebetulan saat kami ke sana memang ngepasi hari Minggu, dan itupun Minggunya Minggu Wage jadi kami bisa berkesempatan untuk melihat langsung aktivitas apa saja yang ada di sana, sekaligus mengetahui bahan pangan apa yang dijual, kue-kue tradisionil yang katanya menarik baik dari segi rasa, bentuk, maupun warna, juga mata uang yang digunakan yaitu pring (bambu).
Selain itu, aku juga penasaran dengan nama tempatnya yang menggunakan nama papringan sebagai taglinenya. Artinya pasarnya ini memang berada di hutan bambu. Belum begitu nggunung tapi areanya sudah menanjak. Terbayang dalam benakku bahwa suasananya bakal adem, sejuk, silir-silir angin, enak banget buat ngadem karena areanya memang berkanopikan bambu-bambu gunung.
Kira-kira kalau dari Magelang Kota sekitar 1 jam-an menuju Temanggung dengan medan jalan yang meliuk-liuk indah karena sudah masuk wilayah pegunungan. Bahkan sebenernya di banyak sudut yang kami lalui, aku serasa ingin berhenti sejenak untuk mengabadikan moment karena memang suasananya yang indah sekali. Banyak bunga-bunga gunung berwarna-warni yang merambat di pagar-pagar rumah warga desa. Ada bunga terompet kuning, mawar kayu merah jambu, juga bunga dengan kelopak tumpuk berwarna ungu muda semu putih. Aku baru tahu namanya Bunga Garlic Vine atau Stevanot Ungu....
Aku bilang ama Tamas, pengen kalau taman atas dah jadi mau kasih tanaman hias dan kembangan kayak gitu deh. Adem. Terus Beliau bilang : "Coba Dedek cari di Tordjo ntar kalau di bakul tanaman hias ada, tumbas. Apa Dedek minta bibitkan dari rumah warga desa, sana methil sedikit nyuwun distek-ke!" Geggegegk. Malu tapi pengen.... 🤭🤣 Tapi Tamas mah lebih gercep mau nanam sayuran dalam pot. Nanti bawahnya dikasih ikan. Ya untuk hobi sekaligus buat lauk maem kami hahhaha.
Tukang fotonya aka si admin Nita Mbul (aku sendiri), Blog Gembulnita, www.gembulnita.blogspot.com |
Nanti begitu sudah mendekati lokasinya, akan ada hamparan sawah yang luas dengan komoditas sayuran gunung yang tumbuh subuh di sana, di bawah gagahnya Gunung Sindoro Sumbing. Di area sini banyak tanaman cabai tumbuh subur, selain tentu saja tembakau, dan kol.
Kiranya sejam perjalanan dengan menggunakan kendaraan roda empat, akhirnya tibalah kami di Dusun Ngadiprono yang dimaksud. Sebelumnya kami sempat bertemu dengan beberapa kelokan dimana seorang warga desa akan menariki tiket masuk. Nanti kami juga akan diarahkan untuk parkir di sebuah lapangan yang cukup luas. Nah, jalan desa yang mengantarkan kami ke lapangan itulah yang menurutku menarik sekali. Rumah-rumah warga tampak semarak dan sekali lagi banyak bunga cantik yang menghiasi halamannya di samping pohon buah seperti rambutan dan naga merah.
Usai mendapatkan tempat parkir, meski areanya sedikit betjek, kami pun segera berjalan kaki menuju pintu masuk pasar yang agak naik-naik ke atas. Mulanya melewati gang rumah warga desa yang sebagian masih menggunakan batu bata asli, lalu setelah itu sampailah ke hutan bambunya.
Sejenak aku berhenti karena terkesima melihat pemandangan indah yang ada di depan mata. Hutan bambu ini seperti bernyanyi jika rumpunnya bergesek dengan angin. Suaranya merdu sekali menina bobokan mata karena ya, memang sejuk dan rimbun. Walaupun setelah kuamat-amati pada tempat yang lebih tinggi lagi itu merupakan area pekuburan tua dengan nisan-nisan kayu dan batu yang menyembul dari balik tanah. Kakung Uti ga sadar. Begitu pula yang lain. Yang ngerti cuma aku dan sedulurku hahhaha. Kakak A dan Mas Montogh sendiri adem ayem karena dimomong Akung, Uti, dan juga ayahe. Hingga Mbul bisa eksplore beberapa foto menarik yang memanjakan mata.
Rumpun bambu yang memiliki luas 2.500 meter persegi ini membawa pemandangan lain begitu kami memasuki pintu masuk yang menyerupai gapura dari bilah bambu yang dihias. Nah, di atasnya itu akan ada rule of the game sistem penukaran uangnya yang menggunakan bilah pring atau bambu. 1 pring dinilai Rp 2000. Nanti kisaran produk yang dijual diantaranya :
Tempat penukaran uangnya juga dibagi menjadi beberapa macam diantaranya penukaran kelipatan Rp 2000, Rp 20.000, sampai Rp 50.000. Tamas mencoba menukarkan pringnya sebanyak Rp 100.000 agar bisa puas mencicipi aneka hidangan yang dijual atau hasil tani yang ada sebagai buah tangan atau oleh-oleh. Nanti kami cari makanannya bareng-bareng sambil nyari tempat buat ngaso.
My mother saat sedang membeli waluh atau labu, diriku sebagai anak wedoknya disuruh memfoto beliau saat sedang membeli waluh sebagai oleh-oleh dari Pasar Papringan |
Begitu masuk setelah tempat penukaran uangnya langsung disambut dengan ternak marmut dalam kandang, juga domba. Ada pula ayam hutan tapi aku ga tau apa itu ayam hutan atau ayam yang dijual soalnya dia ga ada kandangnya. Sedang yang lain adla kandangnya. Nah, layam jantan tersebut sedang menotoli biji-bijian yang tersebar di tanah. Cantik sekali bulunya yang blirik walaupun itu ayam jago ya hihihi.
20 komentar:
Macam2 jualan ada terutamanya makanan
Lots of delicious and exotic treats again...hopefully one day I get to taste some of them!
Semua kue"tradisional yg mbknMbul sebut dibatas enak"semua dan saya suka,tapi yg warna merah itu lupa namanya apa mbk...kyaknya dari tepung beras dan kelapa parut campurannya/adonannya..tapi manis rasanya..unik juga ya cara pembayarannya ...btw di tulisan yg di bawah sebelum yg ini gak bisa kasih komen mbk..🙏
Masa Alloh kue tradisionalnya weeenak semua jadi ngiler aq mbak nit . Oh ya terus itu ada kue warna hitam apa namanya ?
kue tradisionalnya macem-macem ya mbak mbul, aku paling suka kue wajik yang warna cokelat, kayaknya terbuat dari ketan kalo gak salah, gak tau deeh :D
Lots of yummy treats!
I'd love to try them all!
kue wajik aku sering dapetnya kalo pas ada orang ada punya gawe mantenan mbak, itu selalu ada di meja-meha tamu, gw sukanya pas masih anget :)
jadi pengen minum dawet,
dateng ke Pasar ini yang dari dulu aku pengen, dari Magelang ya lumayan juga ya mbak. Hiks. Kalau motoran ya berasa juga, tapi kalau rame rame seru.
Unik juga cara jualannya, pengen ngerasain langsung
terus wedang pring, ehh unik juga ini, baru tahu dan perlu dicoba juga ini
Seru juga, bisa nikmati aneka jajanan tradisional, terus alam sekitarnya juga sejuk. Mantul.
Tempat kayak begini niih yg aku sukaa banget nit. Banyak kue2 tradisionalnya. Kdg suka kalap sih kalo udh Nemu yg begini 😅.
Sebenernya udah tau lama ttg pasar Papringan ini, cuma ya itu, ntah kapan2 bisa kesananya. Menarik juga yaaa pake alat pembayaran lain. Anak2 pasti seneng Krn kayak main dagang2 an 😄
Aku ke pasar papringan tahun 2016 silam. Lumayan lama juga..hahaha
Ternyata masih tetap sama, transaksi pakai uang pring. Benar banget disana tidak tersedia plastik sebagai tempat barang belanja dan alas jajanan.
Saat itu beli kopi dan meminumnya di bawah pohon bambu sekaligus menikmati sejuknya temanggung. Jajanan pasarnya enak-enak. Bisa kalap kalau ga sadar diri.kwkwk
Kayaknya kampung ni nyaman dan aman makmur subur kelihatannya.. aminn
Wah pasar Jawa! Bermacam-macam kuih dan hasil jualan.
Beberapa bulan lalu, aku di Jogja sepedaan bareng Pak Singgih. Beliau yang ngonsep pasar papringan ini. Duh bikin kangen ke sana lagi
Temanggung kesan paling mendalam yang saya rasakan saat berkunjung ke sana adalah keramahan masyarakatnya. Sekaligus ingatan tak terlupakan karena tim liga tiganya pernah kalahkan Persipura 😭
Soal tidak ada kresek atau plastik saat untuk menyimpan belanjaan itu artinya orang orang sana sudah melaksanakan instruksi presiden tentang sampah yang bisa diuraikan dan tidak, tindakan nyata dari masyarakat dalam melaksanakan himbauan pimpinan, itu patut diapresiasi mbak🙏🏽🙏🏽 menurut saya 🙏🏽🤝
Serius nanya. Minggu Wage maksudnya apa mbak?
Iya Pak Guru, makanya ibuku bawa tas jinjing dari anyaman bambu buat belanja 😊
Hari Pasaran dalam kehidupan masyarakat Jawa yang masih tetap dipakai sampai sekarang, terutama di daerah pedesaan adalah hari-hari di mana pasar tradisional tersebut buka, yaitu pada hari: paing – pon – wage – kliwon – legi/manis, mengikuti siklus mingguan kalender Jawa yang terdiri dari 5 hari 😁
Unik banget konsep pasarnya, Mbul. Apalagi kue-kue yang dijajakannya kayanya termasuk udah langka banget ya atau mungkin tidak ada di kota-kota. Jadi tertarik banget pengen ke pasar Papringan, ngerasaain kue-kue tradisional yang antik
Enak banget tempatnya, Mbul. Btw itu yang ditusuk pakai tusukan sate bentuknya kayak perkedel itu apa ya? penasaran
Saat dalam proses pendidikan di Jogja, Maliboro bukan tempat terbaik untuk saya, tetapi blusukan ke desa-desa jadi tempat favoriat saya karena masyarakatnya sangat ramah. Bukan berarti di Maliboro masyarakatnya tidak ramah, tetapi kalau saat berjumpa dengan masyarakat di pedesaan saya merasakan ada ketulusan dan cinta yang hadir dari keramahan penduduknya, "monggo mas Martin..." sapaaan demikian buat hati adem. hehehe
Komentar baru tidak diizinkan.