Kamis, 16 April 2020

Waroeng nDeso Mbantoel : Spesialis Ingkung Jowo, Ayamnya Sak 'Hoh-Hah' !



 

Pada suatu hari yang telah lampau, Aku, Pak Suami, serta anak-anak, ingin mengajak Kakung dan Uti untuk mencicipi  ingkung jawa yang menjadi primadona sebuah warung makan di daerah Bantul, Yogyakarta. Memang di Bantul ini ada satu kecamatan khusus yang terkenal dengan sentra ingkungnya. Kecamatan tersebut bernama Kecamatan Pajangan, yang berada sekitar 12 km dari Kota Yogya. Kalau kita melintas ke daerah sini nih, maka yang ada adalah setiap beberapa kilometer sekali ada warung makan yang menawarkan menu utamanya berupa ingkung.


Oh ya, kalian sendiri mungkin ada yang belum mudeng tentang apa itu ingkung ya. Khususnya bagi pembaca yang dari luar Jawa. Ingkung sendiri menurut informasi yang kudapat dari Wahyana Giri MC (2010), Sajen & Ritual Orang Jawa, Yogyakarta : Narasi. hlm. 25-26 adalah salah satu ubo rampe penting dalam kenduri adat Jawa. Biasanya dia diletakkan di atas nasi uduk dan ditempatkan pada wadah terpisah dibandingkan lauk dan sayuran lain dalam besekannya. 

Nah ingkung ini berasal dari ayam kampung jantan yang sudah tua dan dimasak utuh serta diberi bumbu opor, kelapa, juga daun salam. Dia ini kalau dalam istilah Jawanya melambangkan bayi yang belum dilahirkan sehingga masih suci, belum memiliki kesalahan apa-apa. Makna lainnya adalah sebagai sikap pasrah dan menyerah atas kekuasaan Tuhan YME. 

Nah, dimasukkannya ingkung ke dalam ubo rampe kenduri dalam sebuah hajatan atau selamatan adalah dimaksudkan agar dapat mensucikan orang yang mempunyai hajat sekaligus tamu yang menghadirinya. Lalu, apa jadinya jika ingkung ini dijadikan menu utama sebuah warung makan? Padahal kan biasanya menu utamanya kalau ga ayam goreng kan ayam bakar ya? Nah ini lain daripada lain, karena basiknya asyam yang direbus. Pastinya jadi lebih istimewa juga dong ya karena menonjolkan sisi tradisionalnya...




Nah, salah satu Warung Makan yang berbasis Ingkung dan paling terkenal di kecamatan Pajangan (sekaligus konon katanya menjadi pelopornya) adalah Waroeng nDeso. Lokasi persisnya ada di Dusun Karangkober, Guwosari, Pajangan, Bantul, DIY. Ancer-ancernya itu kalau dari Jalan Bantul, dia luruuuuuuuuus terus ke arah selatan sampai melewati Ring Road. Abis itu ketemu tuh ama Masjid Agung Bantul, lalu bisa belok kanan sampai ketemu tikungan. Selanjutnya ambil kiri dan ikuti jalan. Ntar kan ada perempatan tuh. Nah, dari situ silakan ambil kanan, sesudah jembatan dia akan belok kiri sampai ketemu papan nama bertuliskan Warung nDeso, Spesialis Ingkung Jawa. 

Fyi, Waroeng nDeso ini terkesan banget dengan suasana pedesaannya loh. Apalagi ditambah dengan sampingnya yang masih asli area persawahan dengan pemandangan burung kuntul yang sliwar-sliwer terbang kesana kemari atau turun ke sawah mencari ikan (mirip bangau atau kalau dibahasa jawakan jadi burung blekok). Jadi, asli masih terkesan banget alaminya.




Begitu tiba di tekape, kurang lebih jam menunjukkan pukul 13.30 WIB. Suasana siang itu lumayan ramai. Banyak pengunjung yang datang rombongan, entah itu keluarga besar atau kawan kerabat yang memilih makan di tempat, sehingga meja banyak yang fullbooked. 

Tapi ada pula yang beli untuk dibawa pulang. Uniknya, ingkungnya ini banyak dibeli sebagai oleh-oleh. Dibungkusnya pun lumayan unik dan masih mempertahankan kesan tradisionalnya seperti menggunakan besek yang terbuat dari ayaman bambu. Ini aku perhatikan pada saat melihat orang-orang yang belinya dibawa pulang tapi minta dibungkuskan agak cantikan karena akan digunakan sebagai buah tangan. Harapannya sih yang dibawakan buah tangan bisa turut marem menikmati kelezatan ingkung yang sudah lumayan tersohor di daerah Bantul ini. Keren banget ya, oleh-oleh, tapi bentuknya ingkung, bener-bener mbedani, hihihi...




Oh ya, Waroeng Ndeso ini memang masih mengusung bangunan yang berkonsep tradisional ya. Dindingnya dari bambu, sedangkan lantainya masih beralaskan kayu yang sebagian dilapisi karpet. Ada juga tirai yang berasal dari bambu yang bisa digulung  kapan saja, menjadikan udara bebas keluar masuk ke dalam ruangan sehingga tata udaranya bagus dan tidak terkesan pengab. Sementara itu, di bagian tengah ada kolam ikan yang menambah indahnya suasana. Suara gemericik pancuran yang ada do sekitar kolam tentu menjadi oase tersendiri terutama di siang hari saat cuaca sedang panas. Untuk bagian kasir serta dapur, letaknya ada di pojokan, terpisah dengan area makan. Musholanha sendiri ada di depan. Sedangkan toilet ada di bagian belakang.

Kami sendiri waktu itu memilih untuk makan di tempat dan segera menge-tag area lesehan paling pinggir supaya makannya lebih pewe dan bisa selonjoran. Maklum, bawa 2 bocil, jadi kalau ngegoler kan bisa lebih enakeun, hehe... tapi sebelum pesan makanan, Aku dan Uti sengaja curi waktu sebentar buat sholat dzuhur duluan, soalnya kan udah jam 2 siang, rakutnya kalau di jalan masih lama malah keburu ashar. Sholatnya juga ganti-gantian ama yang lain. Sementara kaum wanitanya dulu yang cabcus, ntar bapak-bapak baru nyusul belakangan. Kan ladies first katanya, hahaha... Sekalian numpang ke toilet juga biar pas di jalan ga ngempet pipis karena kan dari Yogya menuju ke rumah masih agak lama ya. 





Usai melaksanakan sholat dzuhur dan bergantian dengan yang lain, tibalah saatnya untuk memesan menu. Kebetulan Mbak Pelayannya juga sudah datang dengan membawa buku menu. Dan beliau cukup informatif ketika menjelaskan kepada kami yang aktif bertanya kira-kira menu apa saja yang sekiranya spesial atau patut kami coba. Akhirnya, setelah rembugan bersama, terutama karena menyesuaikan selera Kakung dan juga Uti yang udah sepuh, akhirnya kami pesan beberapa menu yang terbilang spesial. Menu tersebut diantaranya : 1 porsi ingkung jawa porsi medium, 2 porsi gudeg manggar, 2 porsi oseng godhong kates alias oseng daun pepaya, serta 1 porsi tumis kangkung. Tambahannya 1 porsi tempe goreng anget buat cemal-cemil dan tambahan lauk. Nasinya, 1 bakul nasi putih biasa dan 1 bakul nasi uduk. Minumannya, 1 soda gembira untuk Kakung (entah kenapa tiba-tiba Kakung pengen ngunjuk soda gembira), 1 teh panas manis untuk Pak Agus, 1 jeruk hangat untuk Uti, 1 es jeruk untuk Pak Suami, 1 es teh manis untuk aku, dan jus jambu untuk si kakak. Oh ya, ada tambahan satu lagi deng, yaitu wedang uwuh karena Pak Suami tiba-tiba penasaran pengen nyoba wedang uwuh. Padahal pas di Nasi Liwet Bu Wongso Lemu juga udah ngunjuk wedang uwuh juga. Ya, moga-moga aja sih sanggup ngabisin, jangan sampai ujung-ujungnya akoooh juga yang disuruh ngabisin, wakakak..





Proses mengolah menunya terbilang cukup cepat ya. Kurang lebih sekitar 10-15 menit menunggu, satu persatu menu yang kami pesan mulai berdatangan. Tampilannya pun menarik-menarik pula. Terutama bagian sayurnya yang menggunakan alas leyeh dengan dilapisi potongan daun pisang yang dibentuk melingkar. Porsinya juga menurutku lumayan banyak. Seporsi bisa untuk 3-4orang. Padahal harga perporsinya itu cukup murah loh. Pantaran belasan ribu aja (namun aku lupa ga mencatat strucknya). Malah semula aku pikir apa per sayurnya pesan 3 porsi-3 porsi aja ya, karena kan kami datang rombongan. Eh setelah dijelaskan ama Mbak Pelayannya yaitu meskipun per porsinya belasan ribu thok, tapi ternyata cukup banget loh buat 3-4 orang. Jadi, in the end of the day, kami yang berjumlah 6 orang ini, akhirnya deal pesan 5 porsi yang terdiri dari 2 porsi gudeg manggar, 2 porsi oseng-oseng godhong kates (daun pepaya muda), dan 1 porsi tumis kangkung.













Memang yang datang duluan adalah klub sayurnya sih. Sedangkan menu utamanya yaitu ingkung ayamnya belakangan. Pertama gudeg manggar. Pasti pada bingung kan ama gudeg yang satu ini karena bahan baku utamanya dari manggar. Kalau yang biasana kan dari nangka muda alias gori alias thewel. Nah, kalau yang di sini manggar. Itu loh bunga kelapa yang masih muda. Yang bentuknya kayak gagar mayang di hiasan kepala ondel-ondel. Tapi biarpun pakenya antimainstream, ternyata rasanya ga kalah oke dengan gudeg nangka. Gudeg manggar ini pun sama enaknya dengan gudeg nangka. Malah aku bilang sih manisnya ga over kemanisan yang menyebabkan gampang wareg. Manisnya itu tengah-tengah lah. Teksturnya juga lumayan amoh alias lembut. Pokoknya wuenak tenan loh Rek. Pas banget dimakan bareng nasi, baik itu yang biasa maupun yang uduk, juga ingkung serta tempe gorengnya.

Kedua, oseng-oseng godhong kates alias oseng-oseng daun pepaya. Rasanya ga pahit sama sekali. Kata orang tua jaman dulu sih untuk menghilangkan efek pahitnya ini pada saat proses memasaknya bisa menggunakan lempung. Teksturnya juga gampang dikunyah, tapi juga masih kranchy. Warnanya pun ga menghitam alias masih ijo cantik. Rasanya ? Ada pedes-pedes efek si rawit yang bagaikan ranjau di sana-sini. 




Ketiga tumis kangkung. Kalau yang ini sih standar ya. Ya rasa tumis kangkung pada umumnya. Tapi enak juga kok. Kangkungnya lemes, dan warnanya masih fresh. Seporsinya lumayan banyak.

Yang datang berikutnya lagi adalah tentu saja yang paling ditunggu-tunggu yaitu ingkung pitik alias ingkung ayamnya. Tau ga gengs begitu tu ayam nyampe di atas meja, yang ada semua pada melongo dong saking bentuknya itu sak-'hoh-hah' banget. Haaahhh ? Apaan tuh sak'hoh-hah' ? Sak-'hoh-hah' itu adalah pengandaian dalam bahasa Jawa yang menggambarkan sesuatu yang kesannya itu besar sekali. Wakakakk... istilah itu sering aku dengar dari Ibu sih ketika beliau lagi cerita tentang sesuatu yang berukuran besar banget. Ya, mungkin teman-teman yang berasal dari Jawa udah pada tahu lah ya tentang istilah ini kayak apa, hahaha.... Tapi serius itu ingkung ukurannya memang gede banget loh. Padahal kami pesen yang medium. Bukan yang porsi paling gedenya yaitu jumbo. Medium aja uda segede itu. Apalagi yang jumbo ya, pasti bakal mengguncang dunia #halah haha, maap gw lebe.





Ingkung ayam ini menggunakan bahan dasar ayam jago (dengan kualifikasi ayam jowo super atau biasa disebut joper). Ayam yang siap panen biasanya sudah mencapai bobot tertentu karena memang akan dimasak dalam bentuk utuhan. Nah, cita rasanya sendiri terkesan lembut karena sudah melalui proses presto yang sebelumnya sudah dimarinasi dengan bumbu khas ingkung. Arehnya itu loh yang bikin greget, yaitu santan yang mengental dan berwarna putih, menjadikan rasa di tiap bagian ingkungnya begitu tasty namun ringan, tidak menimbulkan efek langsung kenyang. Aku sendiri, tentu saja paling garcep ngambil yang bagian kulitnya haha....

Sementara itu, tempe gorengnya datangnya paling belakangan. Tempenya ini seporsi terdiri dari 3-4 buah. Pakenya bukan tempe potongan ya, melainkan tempe yang dibungkus daun pisang dan modelnya udah satuan. Kalau di rumah sih biasanya disebutnya tempe sodin. Soalnya yang jualan namanya itu. Tapi kalau yang di sini sih aku ga tau suppliernya siapa, cuma ya kok rasanya menurutku enakan tempe ginian ketimbang yang potongan. Apa yah....pokoknya lebih kerasa sensasi ndesonya yang dalam artian enak banget gitu loh. Tempenya digoreng sampe cokelat keemasan dan pada bagian badan tempenya digaris-garis, itu yang membuat bumbunya lebih kesara remesep. Lalu karena seporsi kami ngerasa kursng banyak, makanya kami pesan seporsi lagi buat cemilan, hahaha.... Maknyus soale.






Untuk minumannya sendiri, semuanya terasa segar. Apalagi es jeruknya. Manisnya pas. Kalau soda gembira, kebetulan karena Kakung ga abis, dan aku juga Uti kebagian ngicip dikit, rasanya lumayan bikin mata melek. Ngingetin aku pas makan di SBC Solo deh, hihihi. Warnanya pink terang sungguh sangat memanjakan mata. Sedangkan jus jambunya, punya si Kakak juga ga abis karena untuk ukurannya dia kan gelasnya agak kebesaran ya, jadi aku ngicip dikit dan rasanya enak. Wedang uwuhnya, saking kebanyakan ampe ga kelihatan dong, akhirnya minta dibungkus buat dibawa pulang walau kata Pak Su aku suruh ngabisin dikit #tuh kan Mamah juga yang suruh ngabisin wakakka....

Terakhir, pas lewat kasir, aku kan ngeliat jamu-jamuan tuh. Ada beras kencur juga kunyit asam. Akhirnya aku beli 2, per botolnya cuma dikenai harga Rp 10 ribu. Lumayan buat isi-isi kulkas rumah karena kan minum jamu dingin rasanya seger banget.




Pokoknya puas banget lah makan di Waroeng Ndeso, Spesialis Ingkung Jawa, di Mbantoel ini. Sensasi ndesonya itu loh yang paling kami cari. Rasa masakannya pas, apalagi harganya. Yah, walaupun strucknya udah ilang, tapi seingatku sih untuk 6-7 orang dengan porsi menu yang banyak (jika dilihat dari wadahnya), cuma menghabiskan sekitar Rp 200 ribuan saja. Murah banget asliiiik... aduh next time pengen visit back ke sana lagi. 

"Waroeng Ndeso, Spesial Ingkung Jawa, Mbantoel"
Karangber, Guwosari, Kecamatan Pajangan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 55751
Jam buka : 10.00-20.00 WIB